Oleh: Faghfiruu ilallah
Seperti yang tertuang dalam UU Ciptaker yang penuh kontroversial, sistem penerbitan sertifikasi halal kini dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dahulu hanya menjadi wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Berikut dalam pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Sedangkan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujan terhadap kehalalan produk.
Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:
(a) Warga negara Indonesia
(b) Beragama Islam
(c) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi
(d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam
(e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan
(f) Memperoleh sertifikat dari MUI.
Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.
Cara Memperoleh Sertifikat Halal.
Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.
Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.
Kemudian, Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.
Tetapi, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.
Waktu Penerbitan
Selain itu, pada Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.
Namun, pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.
Sementara itu, ada pasal yang disisipkan antara Pasal 35 dan Pasal 36, yakni Pasal 35A pada UU Cipta Kerja.
Pasal 35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.
Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal. (https://rri.co.id/nasional/peristiwa/912619/uu-ciptaker-soal-sertifikat-halal-berbahaya-kenapa)
Beberapa permasalahan yang menjadi sorotan dari UU Ciptaker berkaitan langsung dengan Sertifikat Halal antara lain :
Pertama, UU Cipta Kerja menambahkan pasal 4A yang memuat ketentuan, Sertifikasi halal bagi pelaku UMKM didasarkan pada pernyataan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan proses produk halal (PPH). Pernyataan pelaku usaha yang tanpa disertai proses uji kehalalan atau bahkan pernyataan pelaku usaha yang bersifat manipulatif tentu akan menimbulkan krisis stock produk halal yang beredar di masyarakat.
Kedua, UU Ciptaker juga mengkooptasi peran Ulama. Peran Ulama disepelekan oleh kekuasaan negara.
Bukan hanya menyepelekan tapi juga membuat para Ulama celaka. UU Ciptaker hanya memanfaatkan Ulama tak lebih untuk kepentingan penguasa dan kapitalis, ini menjadi pintu kerusakan Ulama yang melahirkan Ulama-ulama yang su’.
“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan Ulama, dan kerusakan Ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allahlah tempat meminta segala persoalan.” (Imam AlGhazaly, Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Ketiga, Menyepelekan Ajaran Islam tentang Makanan Halal.
Dalam UU Ciptaker, MUI bukan lagi pemain tunggal sertifikasi halal. MUI jika tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan fatwa maka BPJPH dapat langsung menerbitkan serifikat halal. Hal ini berdampak sertifikat halal akan diberikan serampangan dan sembarangan termasuk kepada produk yang memerlukan penelitian laborat yang cukup lama seperti vaksin atau obat-obatan.
Selain itu justru akan menimbulkan ketidakpastian, umat jadi ragu terkait putusan halal dari MUI atau BPJPH. Karena ketika ada masalah mengenai hasil halal-haram yang dibuat BPJPH, MUI tidak bertanggung jawab yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan umat tentang produk halal. Pemerintah memang mengeluarkan aturan yang membingungkan. Terkesan asal-asalan dan menyepelekan dalam proses penentuan halal-haram. Padahal, butuh pihak yang berkompeten untuk menentukan suatu produk yang dikonsumsi umat Islam.
Islam memerintahkan umatnya untuk makan makanan halal lagi thayyib dan tidak berlebihan mengkonsumsinya. Selain itu, halal-haram bukan sebatas label tapi juga wujud keimanan dan ketaatan kepada Allah ta’ala.
Menyerahkan sertifikasi halal pada kelompok, lembaga, atau pelaku usaha yang dilegitimasi pemerintah berpotensi terjebak kepentingan bisnis kapitalis. Persoalan halal-haram tidak boleh dianggap remeh. Menyerahkan suatu urusan bukan kepada ahlinya hanya akan mengantarkan pada kehancuran.
Kenapa tidak kembali pada aturan Islam yang jelas mencakup seluruh aspek kehidupan dan terbukti mampu membawa kemaslahatan serta kesejahteraan.
Hilangkan kesombongan agar hidayah Allah datang hingga dapat menjadi hambaNya yang di sayang dan JannahNya pun akan diberikan.
Wallahu ta’ala a’lam