Kontroversi Seragam Jilbab, Celah Gugat Perda Syariat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

Kasus “jilbab Padang” mengurai dengan terang posisi syariat di negeri ini. Bagaimana tidak? Semua pihak dari level rakyat biasa hingga jajaran penguasa tak ketinggalan beri komentar. Bahkan parahnya, menyejajarkan kasus ini dengan sebutan “kasus intoleransi di sekolah”.

 

Salah satunya ialah pernyataan dari Mendikbud. Beliau mengatakan bahwa kasus “jilbab Padang” merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman, sehingga bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan. Pihaknya akan segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan. (antaranews.com)

 

Kasus “jilbab Padang” mencuat tatkala ada orangtua salah satu siswi nonmuslim yang keberatan putrinya “dipaksa” mengenakan jilbab. Hal ini ditentang oleh Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, Rusmiadi. Bahwasanya tidak ada kewajiban bagi siswi non-muslim untuk menggunakan jilbab, atau dengan kata lain pihak sekolah tidak memaksa siswi nonmuslim untuk berjilbab. Pernyataan Rusmadi selaras dengan ungkapan salah seorang siswi nonmuslim di SMKN 2 Padang, EAZ (17). “Tidak ada unsur paksaan. Saya juga sudah dari SMP memakai jilbab”. (Kompas.com, 25/1/2021).

 

Menurut Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, penyebab utama terjadinya kasus ini adalah adanya Peraturan Daerah (Perda) yang bermuatan intoleransi. Yaitu adanya aturan berbusana di sekolah yang termuat dalam Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005.

 

Ya, jika dialurkan kasus ini, maka akan menghasilkan sebuah pernyataan yang menyudutkan umat Islam. Yaitu, Perda syariat menumbuhsuburkan intoleransi, khususnya di sekolah. Begitulah, para pembenci Islam akan selalu lantang memojokkan kaum muslim sebagai pelaku intoleran.

 

Dari kasus “jilbab Padang”, tampak bahwa sistem demokrasi tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual semata layaknya agama lain. Padahal sejatinya, Islam mencakup seluruh aspek kehidupan.

 

Di dalam sistem demokrasi, manusia bebas membuat peraturan untuk diberlakukan dalam kehidupan. Padahal secara sadar mengakui adanya kelemahan pada diri manusia. Maka, lihatlah hari ini, aturan-aturan yang lahir dari sistem demokrasi membawa petaka luar biasa pun tak pernah usai.

 

Sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan pun tak ketinggalan memainkan perannya. Tampak nyata pada hari ini. Merupakan hal yang tabu, memecah belah bangsa, tak sesuai aturan negara, bentuk intoleransi, pun sematan lainnya tatkala bahkan hanya satu aturan Islam yang diterapkan dalam kehidupan publik.

 

Penguasa tentu saja mendukung itu semua. Mereka adalah kaki tangan para kafir penjajah, pendukung para pembenci Islam. Penguasa hari ini anti sebagian syariat Islam dan cinta dengan sebagiannya yang lain. Tentu saja, cinta syariat yang membawa pundi-pundi rupiah, misalnya wakaf, dana haji, dan zakat. Padahal sejatinya, dengan penerapan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh, kesejahteraan diraih.

 

Dari (salah satu) fakta, kasus “jilbab Padang” yang menjadi pintu masuk tergugatnya Perda syariat, maka menjadi sebuah keniscayaan, bahwa tak bisa diterapkan syariat Islam secara kafah di bawah sistem yang memisahkan aturan Islam dari kehidupan. Tak akan pernah bisa! Oleh sebab itu, kita mesti kembali pada sistem yang dengannya bisa diterapkan aturan Islam secara kafah tanpa gugat-menggugat, tanpa kontroversi.

 

Di dalam Islam, menutup aurat merupakan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan muslim yang telah menginjak usia dewasa. Khusus terkait muslimah, tak boleh tampak darinya seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan tatkala masuk pada kehidupan umum, yaitu dengan mengenakan kerudung dan jilbab. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah kepada para wanita mukmin, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada diri­nya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka…” (QS. an-Nur [24]: 31).

 

Allah Swt. juga berfirman dalam QS. al-Ahzab ayat 59, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perem­puanmu dan para wanita Mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…”

 

Lalu, bagaimana dengan wanita nonmuslim? Dalam sistem Islam, nonmuslim dibiarkan menjalankan keyakinannya masing-masing. Terkait makanan, minuman, dan pakaian pun diberlakukan sesuai aturan agama mereka. Tetapi, ada batasan-batasan tertentu yang mesti mereka ikuti.

 

Batasan pertama, menurut agama mereka. Pakaian sesuai aturan agama mereka adalah pakaian agamawan dan agamawati mereka. Laki-laki dan perempuan non-muslim boleh mengenakan pakaian ini. Batasan kedua, yang ditetapkan oleh syariah, yaitu aturan kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat. Sehingga, pada dasarnya, kaum muslim dan nonmuslim mengenakan pakaian yang sama.

 

Begitulah yang terjadi dalam sistem Islam. Tak akan ditemukan kontroversi berpakaian dalam lingkup kehidupan umum. Tak ada lagi gugatan, celaaan, dan hardikan pada syariat Islam.

 

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *