Konser Virtual Dan Kenaikan BPJS di tengah Pandemi, Nihil Empati

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Alfiyah Kharomah (Revowriter Jawa Tengah)

Sudah jatuh, tertimpa tangga, tertabrak truk pula. Begitu mungkin gambaran warga +62 di tengah wabah corona. Bagaimana tidak, rakyat dibiarkan melawan corona sendirian, bantuan negara tak merata, kelaparan merajalela, ekonomi ambruk, dimintai bantuan dana pula. Di sisi lain tenaga medis dibiarkan bertarung tanpa APD standar, berperang di garda terdepan, tapi tak diberi senjata maupun perindungan. Hingga akhirnya banyak dari pahlawan medis berguguran.

Babak belur rakyat di masa pagebluk ini, masih juga dihadiahi palu godam kenaikan BPJS di tengah pandemi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sebelumnya Perpres serupa Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan telah dibatalkan Mahkamah Agung.

Rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000
2. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp. 100.000, dari saat ini sebesar 51.000.
3. Iuaran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp. 25.500 menjadi Rp. 42.000. Namun pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021 mendatang, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000.

Perpres tersebut menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikan iuran BPJS. Sungguh sangat disayangkan, pemerintah yang harusnya menjadi pelindung kesehatan rakyat di tengah wabah, justru absen dari mengurusi kesehatan rakyat. Bahkan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono/ AHY turut menyayangkan kebijakan Presiden yang bersikukuh menaikan iuran BPJS Kesehatan.

Tentu saja, kebijakan nihil empati ini menuai banyak protes dari masyarakat. Sudahlah kebijakan pemerintah soal pandemi yang karut marut berimbas kepada rakyat kecil dan tenaga medis, tak membuat angka pandemi turun, Pemerintah justru menaikan iuran BPJS.

Beberapa hari kemudian malah muncul konser virtual Berbagi Kasih Bersama Bimbo, Bersatu Lawan Corona yang digagas oleh Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI. Alih-alih ingin mengobati luka rakyat Indonesia yang habis jatuh tertimpa tangga, namun rupanya konser virtual tersebut justru melukai hati rakyat Indonesia. Apa yang dilakukan oleh jajaran para pejabat dalam konser tersebut, tak ubahnya seperti menggarami luka dan salah tempat karena dilakukan saat umat sedang memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Dikala seharusnya Indonesia banyak bermuhasabah, mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla, pejabat malah bernyanyi dengan gegap gempita tanpa rasa bersalah.

Apalagi setelah diketahui, bahwa konser tersebut sepenuhnya diserahkan kepada para seniman dan pekerja seni yang terdampak Covid-19. Donasi ini disalurkan melalui Yayasan Generasi Lintas Budaya yang dipimpin Olivia Zalianty (medcom.id). Lalu yang bukan seniman dan pekerja seni cuma gigit jari?

Dislike yang diperoleh mencapai ribuan lebih banyak dari like yang hanya ratusan di konser virtual yang diposting oleh BNPB di akun Youtubenya per tanggal 23 Mei 2020 memberi bukti rakyat tersakiti oleh konser tersebut.

Patut digarisbawahi, keputusan pemerintah kembali menaikan iuran BPJS di masa pandemi tidak hanya melanggar keputusan MA, tapi juga menegaskan ketidakpedulian terhadap kondisi rakyat. Bahkan tagar #IndonesiaTerserah yang viral adalah sikap masyarakat dan tenaga medis yang sudah judeg dan kesal dengan kebijakan pemerintah yang dinilai mengambyarkan kerja keras mereka yang telah bertahan dengan tetap stay at home, work from home, dan melakukan pencegahan skala individu selama 3 bulan lamanya. Juga kerja keras tenaga medis di garda terakhir untuk berperang melawan corona dinilai sia-sia.

Padahal, di tengah pandemi ini, rakyat justru membutukan layanan kesehatan grtis dan berkualitas. Namun, sebaliknya mereka dibebani dengan kenaikan iuran BPJS.

Berbicara soal kesehatan rakyat, itu adalah aset negara. Kesehatan bukanlah komoditas yang diperjual belikan. Kesehatan adalah jaminan dari negara yang harus diperoleh secara gratis untuk semua warganya tanpa dibedakan kelasnya. Kesehatan adalah hak asasi yang harus diperoleh setiap manusia yang hidup di dunia. Sehingga negara bagaimana caranya harus memenuhinya tanpa membebani rakyatnya.

Ini bukan sebuah egoisitas rakyat terhadap negaranya. Karena tak mau membayar kesehatannya. Negara harus mengakomodir dana yang diperoleh dari APBN atau keuntungan mengelola kekayaan alam yang melimpah. Indonesia punya emas, tembaga, nikel dan batu bara yang melimpah ruah. Indonesia punya gas alam yang menguap tak pernah putus. Indonesia punyak minyak yang mengalir terus di bawah bumi. Indonesia mempunyai potensi hutan dan laut yang luar biasa tak tertandingi.
Bila kita menengok sejarah dunia, bukan tidak pernah, bagaimana sejarah dunia mencatat kehebatan sebuah bangsa mengelola kesehataannya, bahkan diberikan secara gratis dan mewah. Tanpa memandang kaya atau papa. Kesehatan dalam mindset Islam telah membuktikannya.

Berbagai fakta historis kebijakan di bidang kesehatan menunjukan taraf yang sungguh luar biasa. Hal itu pernah dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak masa Rasul SAW. Pelayanan kesehatan gratis oleh negara yang dibiayai dari kas Baitul Mal.

Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun.”

Di era Abbasiyah, perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar. Perhatian itu bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada masa itu, ada kebijakan rumah sakit keliling. Rumah sakit ini masuk dari desa ke desa.

Di era Ustmani, Sultan Muhammad Al Fatih menetapkan beberapa kebijakan untuk rumah sakit. Rumah sakit tidak boleh memungut bayaran sedikitpun dari pasien. Hal ini berlaku bagi siapa saja tanpa melihat latar belakang bangsa, etnis, strata sosial dam agama.

Kilau sejarah tentang sistem kesehatan sebuah bangsa tercatat dengan tinta emas. Islam telah berhasil menerapkannya. Islam memberikan paradigma kesehatan yang manusiawi. Islam menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan asasi masyarakat (community primary needs), disamping pendidikan dan keamanan. Sistem pelayanan kesehatan di dalam Islam menjadikan negara sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi warganya. Negara tidak boleh menyerahkan urusan ini kepada pihak swasta apalagi membebankannya kepada individu-individu semata. Meskipun boleh bagi pihak individu atau swasta menjalankan praktek pelayanan kesehatan, namun peranan mereka sebagai pendukung saja. Seperti dalam hadits Rasulullah SAW:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Mindset kemanusiaan dan melayani ini yang harus dimiliki oleh pemangku kebijakan di Indonesia. Terutama kesehatan di masa pandemi ini. Sudah saatnya para pemangku kebijakan negara melirik kesehatan Islam yang telah berjaya berabad-abad lamanya karena mindset melayani dan empati yang besar terhadap ummat, bukan malah bikin konser virtual yang hanya menyakiti hati umat.
Wallahu ‘alam Bisshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *