Konflik Agraria di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Kiki Zaskia (Pemerhati Sosial)

Tak dimungkiri wabah corona laiknya perang dunia ketiga. Dengan tentara musuh yang tak terlihat. Roda kehidupan seketika hampir lumpuh sempurna. Memberikan kabar pada manusia terkhusus pada pemimpin setiap negeri sebagai panglima perang apabila diumpakan, untuk memiliki strategi yang berkali-kali lipat pada kondisi diluar kebiasaan untuk saat ini. Kemudian menjadi sebuah evaluasi akbar blue print selama kepemimpinan dengan ide-ide yang menjadi standar pengambilan kebijakan. Apakah negerinya telah mampu berdaulat atau hanya berjalan ditempat.

Wabah corona telah turut menguraikan kondisi real negeri ini, misalnya saja persoalan pangan di Indonesia. Pangan yang menjadi kebutuhan dasar rakyat pada kenyataannya negeri ini berada pada jalan ketahanan pangan bukan pada jalan kedaulatan pangan. Sebab impor pangan pada beberapa komoditas masih ada. Padahal siapa yang tak mengenal Indonesia dengan julukan gemah ripah loh jinawi yang artinya kekayaan alam yang melimpah?. Hal yang wajar untuk disayangkan ketika negeri yang kekayaan alamnya melimpah namun belum produktif menuju swaswembada pangan.

Kepiluan Petani : Pemaksaan Alih Fungsi Lahan

Tatkala kondisi yang tak tentu arah di masa pandemi petani mengalami kepiluan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya ada sembilan peristiwa penggusuran dan kriminalisasi, “Penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi terhadap masyarakat di pedesaan masih berjalan di tengah situasi pandemi Covid-19” kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melalui keterangan tertulis (Dikutip tempo.com, 12/4/2020).

Nahasnya, pemerintah belum mampu secara total melindungi hak-hak petani. Ada regulasi UU yang mendukung kawasan pertanian yakni UU No. 41 tahun 2009 namun penjabarannya belum mampu disinkronkan antara investasi dan lahan pertanian berkelanjutan. Berbagai konflik agraria dan kondisi pangan kini tentu berkelindan satu sama lain. Jika tak ada lagi lahan untuk menanam tentu tak ada harapan bagi petani. Kalaupun ada pencetakan sawah baru yang membutuhkan lahan pertanian baru, infrastruktur pengairan, distribusi, pemukiman buruh, dan petani. Skema tersebut tentu menyedot budget yang tak sedikit.

Alih fungsi lahan sebab rakyat ditekan oleh industri dan investasi. Investor lokal maupun asing hingga pemerintah yang ambisi destruktifnya tak bisa direm. Selain itu, pemerintah yang gencar dalam membangun infrastruktur transportasi memaksakan petani untuk menyubstitusi kegiatan penggarapan lahan produktif telah sangat menyusahkan rakyat kecil. Apatah lagi petani penggarap. Sebab tak diikuti dengan alternatif-alternatif yang memumpuni skenarionya dalam hak petani agar mata pencariannya tak terganggu. Pada akhirnya kondisi sosial menjadi karut-marut. Masyarakat menjadi berorientasi menjadi buruh, minat menjadi petani menjadi berkurang. Disisi lain, apabila tidak mampu bersaing dalam dunia kerja berakibat menjadi pengangguran. Bahkan angka kriminalitas yang meningkat.

Pada kondisi extraordinary kini dengan wabah corona, koreksi konflik agraria demi ketahanan pangan perlu menjadi perhatian yang seharusnya sejak awal perlu dimitigasi. Pemerintah seyogianya mengimbangi dengan kajian akademis teknoktratis bersama ahli-hali terkait yang pro-rakyat. Tidak memanjakan investor dengan pilih mana suka lahan. Juga mengangkat posisi petani dengan regulasi tuntas atas hak-hak petani.

Amat jauh panggang dari api, saat kampanye politisi dengan wacana swasembada pangan dengan realitas konflik agraria yang tragis. Inilah buah kegagalan blue print dengan menjadikan sistem kapitalisme-neokolonialisme sebagai standar pengambilan kebijakan. Untung-rugi menjadi asas pertimbangan utama yang diistimewakan para kaum oligarki. Semakin memperlihatkan inkonsistensi dalam atmosfer demokrasi. Adagium vox populy vox dei hanyalah sebatas bahasa komersial. Suara rakyat yang dirampas tanahnya tidak berlaku bagi mereka. Ya, semata-mata untuk segelintir kepentingan kaum konglomerat nakal saja adagium itu. Parahnya, tentu ini semua akan terus berlanjut apabila roda sistem yang rusak ini masih menjadi opsi segala kebijakan.

Lalu apabila kapitalisme tidak menjadi opsi, lantas opsi sistem apa yang menjadi penggantinya? . Apakah komunisme yang juga tak jauh berbeda parahnya, yang membunuh kreatifitas untuk berinovasi?. Tentu tidak keduanya. Syariah Islam mampu mengatasi permasalahan umat. Islam tidak hanya sebatas agama ritual semata.

Produktifitas Lahan dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut adalah miliknya (HR. Imam Bukhari, dari Umar Bin Khattab)”
Dalam Islam, negara melarang ada tanah yang tak produktif. Islam mengancam bagi pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut, maka akan diambil oleh negara dan akan diberikan kepada orang yang mampu memanfaatkannya. Hal ini telah diwujudkan dalam masa kekhalifahan Umar Bin Khattab yang menjadi ijma’ shahabat.

Umar Bin Khattab berkata: “ Siapa saja yang mengabaikan tanah selama tiga tahun, tidak dia kelola, lalu ada orang lain yang mengelolanya, maka tanah tersebut menjadi miliknya”
Olehnya itu, dengan ijma’shahabat ini yang mana menjadi salah satu sumber hukum Islam selain Al-Qur’an, As-Sunnah dan Qiyas juga diterapkan pada masa kekhilafahan berikutnya yakni dalam masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam kesuksesannya sebab swasembada pangan dalam 2 tahun kepemimpinannya, tak ada yang kelaparan dan tak ada penerima zakat. Kebijakan Umar Bin Abdul Aziz yaitu “tanamlah di tanah-tanah kalian. Setengahnya, sepertiganya, seperempatnya, atau bahkan sepersepuluhnya, yang terpenting jangan biarkan tanah kalian hancur.”

Hal ini juga dideskripsikan oleh Dr. Ahmad Mukhtar Al Ibadi dalam buku Al Hayah Al Iqthishadiyah menggambarkan kejayaan kaum muslimin di era keemasannya, “tanah-tanah di bumi muslimin tumbuh subur, ada kemakmuran dan kesejahteraan pangan sepanjang dunia Islam yang membentang dari Asia Tengah di timur, sampai samudra Atlantik di Barat; yang mana pandanganmu hanya akan melihat dua warna seluas mata memandang; biru langit dan hijaunya kebun-kebun.”

Apabila masyarakat hingga pejabat di Indonesia mampu mengembalikan ingatan bahwa Indonesia sangat potensial menjadi negeri agraris. Produktifitas lahan tentu akan memberikan masyarakat lapangan pekerjaan serta menjadi sumber pendapatan negara apabila negara berhasil mewujudkan swasembada pangan. Apatah lagi, kini resesi ekonomi sedang didepan mata sebab pandemi. Namun, kini yang terjadi justru perampasan lahan pertanian yang sedang digarap dan tentu ini menjadi sebuah kezaliman dalam pandangan Islam.

Dengan demikian menjadikan Syariat Islam sebagai sumber hukum segala kebijakan niscaya akan memberikan keberkahan rahmat bagi semesta dan seluruh alam. Wallahu ‘alam Bisshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *