Komisaris BUMN : Kompetensi atau Balas Budi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Roesdiana (Ibu Rumah Tangga)

 

Beberapa waktu yang lalu penunjukkan beberapa Komisaris BUMN mendapat sorotan publik. Pasalnya jabatan tersebut diduduki oleh sejumlah nama yang pernah mendukung pencalonan dalam Pilpres sebelumnya.

Dilansir dari CCN Indonesia (29/5/2021) ada 13 nama yang mendapatkan Kursi Komisaris di Perusahaan Pelat Merah. Pengangkatan itu dilakukan melalui Menteri BUMN Erick Thohir yang juga sempat menjabat sebagai ketua Tim Pemenangan Jokowi – Ma’ruf di Pilpres 2019 lalu. Diantara 13 nama itu adalah salah satu personil band Legendaris yang diangkat menjadi Komisaris TELKOM.

Ketua DPP PKS Bukhori Yusuf menyebut penempatan salah satu personil band Legendaris ini hanya akan merugikan Telkom, karena latar belakang profesi yang tidak sesuai.
“Ini jelas merugikan Telkom, karena tidak sesuai dengan profesi yang dijabatnya sebagai komisaris dan jika Telkom dirugikan, Negara yang akan dirugikan.”kata Bukhori kepada wartawan. (Detik News, 29/05/2021)

Bagi-bagi kursi jabatan adalah fenomena yang umum dalam perpolitikan saat ini. Sebab model perpolitikan saat ini memang meniscayakan terjadi politik balas budi. Pasalnya di sistem politik ini sebuah jabatan pemimpin akan legal jika paslon memiliki suara mayoritas dari masyarakat.

Agar dapat suara mayoritas dibutuhkan corong-corong dari pihak tertentu yang dapat memberikan pengaruh kepada masyarakat. Jika para pejabat dalam tatanan pemerintah diangkat dari mekanisme diatas yaitu “sebagai balas budi” jasa. Bukan tidak mungkin pemerintah yang terwujud adalah pemerintah yang korup dan merugikan kepentingan publik. Karena kemampuan dan profesionalitas pejabat dijadikan syarat kesekian dalam menduduki jabatan.

Dari Abu Hurairah berkata : “bersabda Rasulullah SAW, “jika (telah) disia-siakan (yakni) amanat, maka tunggulah waktunya kehancuran.”
“Bagaimana (maksud) disia-siakan padanya Ya Rasulullah?” (beliau) menjawab : “jika ditetapkan suatu urusan kepada selain ahlinya, maka tunggulah waktunya (menuju kehancuran).” HR. Shahih Al – Bukhori No.6015.

Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani
Seorang pejabat Negara harus memiliki tiga kriteria penting yaitu :
1. Al-quwwah (kekuatan) berupa kekuatan aqliyah (akal) dan Nafsiyah (kejiwaan)
Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu menelurkan kebijakan-kebijakan cerdas & bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Pempimpin juga harus memiliki kekuatan Nafsiyah (kejiwaan) seperti sabar, tidak tergesa-gesa dan tidak emosional dalam mengambil tindakan.

2. At-Taqwa (Ketakwaan)
Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengurus urusan rakyatnya, pemimpin seperti ini akan cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan ALLAH SWT. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban kelak pada hari akhir. Untuk itu ia srlalu menjaga tindakan dan perkataannya.

3. Ar-rifq (lemah lembut)
Dengan sifat ini maka pemimpin akan dicintai dan ditakuti oleh rakyatnya. Sebuah Riwayat dikisahkan bahwa Aisyah R.A berkata : Saya mendengar Rasulullah berdoa dirumah ini, “Ya Allah siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi umatku kemudian ia membebaninya maka bebanilah dirinya. Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan umatku kemudian ia berlaku lemah lembut maka bersikap lemah lembutlah kepada dirinya”.

Inilah kriteria untuk mengangkat pejabat dalam mengurus umat. Kriteria ini hanya ada disistem politik yang tidak menjadikan asas “balas budi” sebagai tolak ukurnya seperti sistem Demokrasi. Melainkan dalam sistem Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar pemerintahannya.

Wallahu a’lam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *