Komersialisasi Alat Kesehatan, Buah Diterapkannya Sistem Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Sriyanti (Ibu Rumah Tangga)

Di masa New normal yang merupakan kebijkan pemerintah saat pandemi, hasil rapid test dan swab test menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Bagaimana tidak bagi masyarakat yang hendak bepergian ke luar kota, masuk atau daftar sekolah bahkan untuk berobat ke rumah sakit pun, memerlukan hasil rapid test. Hal ini dilakukan sebagai pencegahan penyebaran virus. Efektifkah kebijakan ini? Sementara harga untuk melakukan rapid test dan swab test demikian mahal.

Jumlah pasien positif Covid-19 di negeri ini masih meningkat. Namun Kebijakan New normal telah direalisasikan. Oleh karena itu sebagai upaya pencegahan, pemerintah mendorong agar dilakukan rapid test di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Bandung.

Sebagaimana dilansir dari zonapriangan.com pada 08/07/2020. Bahwa, tim gabungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bandung, mengadakan rapid test di Pasar Sehat Cileunyi (PSC) Desa Cileunyi Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Dari 100 orang pedagang, pengunjung dan pengelola PSC yang melakukan rapid test, 3 orang pengunjung diketahui reaktif. Namun belum tentu jika ditindaklanjuti dengan swab test, positif Covid-19.

Hal itu diungkapkan dr. Elfi Kepala Puskesmas Cinunuk Kecamatan Cileunyi, menanggapi soal 3 pengunjung PSC yang diketahui reaktif pasca dilakukan rapid test.

Rapid test dan swab test merupakan upaya pemerintah dalam mengetahui masyarakat yang terpapar Covid-19. Untuk itu pemerintah menjadikan hasil dari test tersebut sebagai syarat bagi masyarakat yang hendak bepergian ke luar kota, untuk daftar dan masuk instansi pendidikan, bahkan bagi yang hendak berobat ke rumah sakit. Masyarakat pun banyak yang melakukan rapid test secara mandiri. Selain karena khawatir terpapar virus juga karena kebutuhan untuk aktivitas di atas. Walaupun untuk itu masyarakat banyak yang mengeluh terkait harga rapid dan swab test yang cukup mahal. Selain itu efektivitas dan masa berlaku dari rapid test tak sebanding dengan harganya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Akademisi Universitas Gajah Mada, bahwa rapid test hanya digunakan sebagai langkah skrining awal dalam mendeteksi Covid-19, bukan untuk mendiagnosis terinfeksi Covid-19. (kompas.com, 05/07/2020)

Melambungnya harga rapid dan swab test, menjadi beban tambahan baru bagi masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang kian melemah. Untuk memenuhi kebutuhan perut saja sudah demikian sulit, apalagi harus ditambah dengan beban penunjang kegiatan lainnya, bisa saja bepergiannya masyarakat ke luar kota itu untuk mencari nafkah. Bagi mereka yang berobat ke rumah sakit pun tentu sudah memerlukan biaya banyak. Begitu pula khususnya bagi anak-anak yang akan memasuki dunia pendidikan, hal ini akan menambah beban bagi orangtuanya. Seharusnya pemerintah bisa memfasilitasi layanan ini, walaupun tidak sampai gratis setidaknya murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

Hal ini terjadi karena lemahnya pemerintah dalam mengatur urusan rakyatnya, termasuk dalam melayani tes uji kesehatan di masa pandemi. Pihak layanan kesehatan, Dirut RSA UGM dr. Arif Budianto PHD. Sp. Kk menjelaskan, banyaknya reagen dan perangkat penunjang rapid test yang beredar di pasaran membuat harga dari rapid test bervariasi. Ia juga berharap agar pemerintah bisa menyediakan reagen yang ekonomis namun berkualitas. (ugm.ac.id, 10/07/2020)

Ada upaya terselubung di balik semua ini. Seharusnya pemerintah memberikan kebijakan khusus terkait pengaturan rapid dan swab test, hingga tidak terjadi komersilisasi kesehatan di tengah keterpurukan. Namun sayang, sistem kapitalisme yang dianut pemerintah negeri ini, membuat negara enggan melakukan itu semua. Dalam sistem ini negara tidak bisa memberikan jaminan apa-apa bagi masyarakat. Ia hanya menjadi regulator antara kepentingan rakyat dan pengusaha. Bahkan faktanya pemerintah lebih condong menjadi pelayan pengusaha dibanding pelayan rakyatnya. Hal ini terjadi karena yang menjadi tolak ukur mereka adalah untung-rugi.

Sistem ini pun sungguh telah membuat rakyat hidup dalam kesengsaraan yang tak berujung. Betapa tidak, di tengah kondisi wabah berbahaya yang belum mereda, pemerintah justru mengambil kebijakan New normal. Hal ini menunjukkan adanya pembiaran masyarakat untuk hidup bersama virus yang membahayakan walaupun mereka senantiasa dihimbau agar menjalankan protokoler kesehatan. Lagi-lagi materi menjadi alasan diambilnya kebijakan ini. Pemerintah berdalih semua ini demi kepentingan ekonomi masyarakat dan negeri ini, agar segera bangkit dari keterpurukan. Namun bagaimana dengan kesehatan dan nyawa rakyatnya?

Lain halnya dengan sistem Islam, jaminan kesehatan wajib diberikan negara tanpa membebani rakyat. Sebab layanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat. Pada saat terjadi pandemi, daulah akan segera memisahkan antara yang sehat dan yang sakit, sehingga yang sehat masih bisa beraktivitas dengan normal. Sementara yang sakit akan dikarantina dan diberikan pengobatan terbaik oleh daulah. Hal ini pernah terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Kala bencana wabah Tha’un melanda daerah Syam. Umar segera mengambil kebijakan karantina wilayah atau lockdown dengan merujuk pada hukum syara yaitu hadis Rasulullah saw.,

“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.” (HR. al-Bukhari)

Karantina bagi wilayah yang terdampak dilakukan agar wabah tidak menyebar ke daerah lain. Kebijakan ini pun dibarengi dengan jaminan seluruh kebutuhan pokok yang berada di wilayah tersebut oleh daulah.

Dengan konsep jaminan kesehatan dari negara, maka akses tes kesehatan termasuk rapid dan swab test akan diberikan secara gratis. Negara juga akan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas demi memutuskan penyebaran wabah seperti, melakukan berbagai penelitian untuk menemukan obat, menyediakan rumah sakit, apotik, dokter dan lain sebagainya. Semua itu bisa dilakukan karena kas daulah yang tersimpan dalam baitulmal tak pernah kosong. Dana tersebut salah satunya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh daulah hingga mampu menyejahterakan umat walaupun di kondisi pandemi. Maka dari itu komersialisasi terhadap kebutuhan rakyat termasuk kesehatan, mustahil terjadi.

Begitu mulianya Islam dan seperangkat aturannya yang sesuai dengan fitrah manusia, karena ia datang dari Sang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan. Oleh karena itu sudah saatnya kita meninggalkan sistem kufur kapitalisme, yang sudah terbukti tidak bisa menyelesaikan permasalahan dan hanya menimbulkan berbagai kerusakan. Kemudian kembali pada sistem Islam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, dalam naungan khilafah yang mengikuti metode kenabian.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *