KKB KIAN BERINGAS, NEGARA HARUS BERANTAS TUNTAS

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, kembali berulah dengan melakukan penyanderaan terhadap pilot dan tiga penumpang pesawat perintis milik Susi Air jenis Pilatus PC-6 S1-9364 PK BVY di Lapangan Terbang Wangbe, Distrik Wangbe, Kabupaten Puncak, Papua.

Dari keterangan yang didapat dari pilot tersebut, kata dia, saat melakukan penyanderaan itu KKB mengancam agar pesawat tidak membawa penumpang dari aparat TNI-Polri.

Selain itu, mereka juga menyampaikan kekecewaannya karena tidak mendapat jatah dana desa dari kepala kampung.

Ternyata setelah diselidiki, terkuak fakta mengejutkan yaitu sumber pemasukan keuangan KKB berasal dari rampasan anggaran dana desa. Yang mereka gunakan untuk pembelian senjata dan amunisi.

Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Budi Arie Setiadi, mengatakan KKB tidak berhak mendapatkan dana desa. Dana Desa digunakan untuk pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan warga desa.

Pemanfaatan dana desa, lanjutnya, digunakan untuk tugas prioritas nasional, ketahanan pangan, penanggulangan COVID-19, serta infrastruktur desa. Ia membeberkan contoh penggunaan dana desa di Desa Ilambet, Ilaga, Kab Puncak, Papua antara lain untuk posyandu Rp 64 juta, pemeliharaan jalan Rp 50 juta, rehabilitasi rumah Rp 168 juta. (indoglobe.co.id, 13/3/2021)

Beruntung dalam insiden itu tidak memakan korban jiwa. Para korban akhirnya dilepaskan KKB setelah berhasil melakukan negosiasi selama dua jam.

Ini adalah bukti kegagalan negara dalam mengatasi gerakan separatis ini. Kurang tegasnya pemerintah dalam menindak para pelaku  kelompok separatis ini hingga mereka dengan beraninya melakukan aksi penyanderaan tersebut. Bahkan dalam menjalankan aksinya mereka tak segan-segan melukai warga sipil maupun aparat keamanan.

Bukan hanya keamanan dan ketenteraman warga yang terganggu namun persatuan dan kesatuan negara juga dipertaruhkan. Dalam Islam menjaga kesatuan dan persatuan di tengah-tengah umat hukumnya wajib. Hukum ini pun sudah termasuk perkara yang sudah ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah (diketahui urgensinya dalam ajaran Islam).

Allah berfirman: “Dan berpegang taruhlah kamu semunya kepada tali (agama) Allah. Dan janganlah kamu bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan (ingatlah ketika) berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Imran [3]:103)

Ayat ini bukan hanya berisi perintah menjaga persatuan dan kesatuan, tapi juga melarang bercerai -berai. Menjaga kesatuan dan persatuan di sini bukan hanya terkait dengan individu, tetapi juga kesatuan dan persatuan wilayah. Ini ditegaskan oleh nabi SAW, “Jika telah dibaiat dua khalifah, maka bunuhlah yang terakhir  diantara keduanya.”(HR. Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri, no. 3444)

Dalam Islam ada beberapa tindakan kuratif yang dilakukan negara dalam mengatasi gerakan separatis yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa di antaranya:

Satu Akidah, Satu UUD dan UU

Di satu sisi Islam menjaga kesatuan dan persatuan juga melarang bercerai-berai, pada saat yang sama Islam tidak mengacuhkan potensi perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan persatuan. Karena itu, Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk menyelenggarakan negara di bangun.

Dalam penyusunan UUD dan UU, Islam menetapkan sebagai hak Khalifah. Hukum Syara’ yang diadopsi oleh Khalifah ini sekaligus untuk menghilangkan perselisihan yang berpotensi merusak kesatuan dan persatuan. Kaidah fiqih menyatakan, “Perintah imam (Khalifah) bisa menghilangkan perselisihan. Karena itu, dengan adanya tangani Khalifah dalam penyusunan UUD  dan UU ini, berarti potensi perselisihan, akibat perbedaan pendapat, dengan sendirinya bisa diselesaikan.

Selain itu, Islam juga menetapkan, “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisaa'[4]:59). Ketetapan ini berlaku jika terjadi perselisihan antara rakyat dan Khalifah (negara), dan diantara rakyat dengan rakyat. Semuanya ini dikembalikan kepada  Allah dan Rasul, atau Al-Qur’an dan As-Sunnah. Teknisnya kembali kepada hukum Syara’. Untuk kembali kepada hukum Syara’ butuh institusi, yaitu mahkamah, baik itu Khusumat maupun Madzalim.

Untuk menjaga keberlangsungan dalam pelaksanaan UUD dan UU agenda tetap dalam rel syariah, maka Khalifah dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunah Rasulullah  (hukum syara’). Inilah yang menjadi dasar ketaatan rakyat kepada Khalifah. Ubadah bin Shanti menuturkan, “Kami dibaiat oleh Rasulullah untuk taat dan mendengar (titan baginda)…” (HR. Muslim). Nabi juga menegaskan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah).” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad)

Larangan Bughat dan Merebut Kekuasaan

Persatuan dan kesatuan negara dijaga oleh Islam, antara lain dengan ditetapkannya larangan melakukan makar (bughat) dan memisahkan  diri dari kekhilafahan. Nabi bersabda, “Siapa saja mencabut ketaatan (kepada imam/khalifah), maka dia akan menghadap Allah tanpa hujjah  (yang bisa mendukungnya).” (HR. Muslim)

Jika larangan tersebut dilanggar, maka Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara  (bughat). Al-Muhami al-Alim Syeikh ‘Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya Nidzam al-Uqubat, menjelaskan  bahwa sanksi bagi  mereka adalah had. Sanksi hadahl al-baghy adalah diperangi, sebagai pelajaran (qital ta’dib) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (si tak harb). (al-Maliki Nidzam al-Uqubat, hal 69).

Jika mereka adalah non-Muslim (ahli dzimmah), maka mereka akan diperangi untuk dihabisi (qital harb). Hukum memerangi mereka ini pun statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahli dzimmah. Dengan tindakan mereka ini, dengan sendirinya, mereka juga telah kehilangan dzimmah-nya dari kaum Muslim (negara Khilafah).

Qadhiyyah Mashiriyyah

Menjaga persatuan dan kesatuan Khilafah adalah kewajiban, dan memisahkan diri dari Khilafah adalah jajaran yang telah dinyatakan dengan tegas dalam Islam. Karena itu, tidak hanya sanksi yang tegas, Islam bahkan menetapkan masalah ini sebagai Qadhiyyah Mashiriyyah bagi negara dan kaum Muslim.

Qadhiyyah Mashiriyyah yang dimaksud di sini adalah permasalahan yang harus diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati (ijra’ al-hayah awal-maut). Inilah menjadi alasan terjadinya Perang Shiffin, ketika Khalifah yang sah, yaitu Sayyidina Ali r.a. mengerahkan pasukannya untuk memerangi Mu’awiyah, yang ketika itu berstatus sebagai Wali Syam.

Khalifah al-Mu’tashim, pada zaman Khilafah Abbassiyah, juga melakukan hal yang sama. Setelah menaklukan Syuriyah, al-Mu’tashim mengerahkan pasukannya untuk memerangi Abdurrahman ad-Dakhil di Spanyol. Karena dianggap memisahkan Spanyol dari wilayah Khilafah  Abbassiyah.

Hanya saja, tindakan militer dalam menjaga keutuhan wilayah Khilafah ini bukan satu- satunya tindakan yang harus diambil oleh negara. Karena itu, Khalifah harus memperhatikan aspek lain, yaitu pendekatan politik. Tindakan tegas negara memang diperlukan, tetapi jika tidak disertai pendekatan politik, maka justru yang terjadi bisa sebaliknya. Contohnya wilayah Balkan pada zaman Khilafah Utsmaniyyah.

Gerakan separatisme di Balkan saat itu terjadi karena provokasi dari negara-negara kadir Eropa. Menghadapi tindakan tersebut, Khilafah Utsmaniyyah menindaknya dengan tindakan militer. Padahal, seharusnya saat itu negara bisa membongkar rencana jahat kaum kafir terhadap penduduk setempat, dan mempropagandakan bahasa separatisme.  Tetapi itu tidak dilakukan, karena lemahnya pemikiran penyelenggara negara saat itu. Karena itu, begitu diambil tindakan militer, bukannya api separatisme padam, justru semakin berkobar.

Menutup Pintu

Semuanya tadi terkait dengan tindakan kuratif yang bisa dilakukan oleh negara. Namun selain tindakan kuratif, Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan separatisme ini, diantaranya:

1. Memata-matai. Mereka adalah warga negara kafir yang terlibat peperangan atau memusuhi kaum Muslim. Keberadaan mereka di negeri kaum Muslim hanya diperbolehkan dengan visa khusus, meski tidak menutup kemungkinan mereka memanfaatkan izin tinggalnya untuk melakukan berbagai kontak dan melakukan provokasi penduduk setempat. Mereka wajib dipantau, bahkan dimata-matai.

2. Memata-matai Ahli ar-Raib. Mereka adalah warga negara Khilafah yang berinteraksi dengan warga negara Kafir Harbi Fi’lan, dan diduga melakukan tindakan yang bisa membahayakan negara, seperti separatisme.

3. Menutup kedutaan Kafir Harbi Hukman yang dijadikan untuk memata-matai Khilafah. Adapun kedutaan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan, seperti AS, Inggris, Perancis, Rusia, Israel, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh ada. Karena status mereka yang sedang berperang dengan kaum Muslim.

4. Menutup kontak, hubungan dan kerja sama warga negara Khilafah dengan pihak luar negeri. Dalam hal ini, Khilafah akan menerapkan kebijakan satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri.

Inilah beberapa ketentuan Islam yang bersifat preventif terhadap berbagai gerakan separatisme.

 

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *