Oleh : Ana Mujianah, S.Sos.I
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2020/2021 menuai kritik. Persoalan zonasi kembali menjadi polemik. Khususnya di wilayah DKI Jakarta. Proses PPDB tak berjalan mulus.
Para orang tua mengeluhkan adanya faktor usia dalam seleksi penerimaan siswa baru di DKI Jakarta. Mereka khawatir jika anaknya tidak lolos di sekolah negeri lantaran usianya kurang, sedangkan dari segi nilai akademis cukup bagus. Sementara untuk sekolah di swasta, selain fasilitas kurang memadai, juga persoalan biaya.
Menilik polemik PPDB di DKI Jakarta terkait usia, berdasar Keputusan Kadisdik DKI No. 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021, telah diatur soal urutan faktor pertimbangan seleksi tiap jalur. Pada jalur zonasi dan afirmasi, usia tertua menjadi pertimbangan utama kelulusan dengan catatan sekolah sudah melebihi daya tampung. Urutan berikutnya baru urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar (CNN Indonesia.com, 30/06/2020).
Menurut Kemendikbud, PPDB 2020 jalur zonasi di DKI sebenarnya sudah sesuai dengan Peraturan Kemendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Mekanisme PPDB pada TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Adapun polemik PPDB yang terjadi disebabkan kurangnya komunikasi dari pihak Pemprov DKI untuk menyampaikan isi dari SK Kadisdik Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Jakarta tersebut.
Jika dicermati, masalah utama penyebab kisruh PPDB di DKI Jakarta bukan sekadar faktor usia peserta didik, akan tetapi karena daya tampung sekolah yang terbatas. Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, bahwa masalah kuota dalam PPDB jalur zonasi ini sebagai upaya menyesuaikan daya tampung sekolah negeri di Jakarta.
Beliau mencontohkan untuk tingkat SMP daya tampungnya hanya 46,7 persen, sementara tingkat SMA dan SMK daya tampungnya kisaran 32,9 persen. Sehingga hal tersebut tidak memungkinkan seluruh siswa ditampung di sekolah negeri (CNN Indonesia, 06/07/2020).
Sementara itu, mengenai daya tampung sekolah negeri di daerah, dilansir dari CNN Indonesia.com, 24/06/2020, Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikn Dasar, dan Menengah Kemendikbud, Muhammad Hamid menekankan bahwa pemenuhan daya tampung siswa merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Dalam hal ini pemda harus memperhitungkan jumlah lulusan siswa dan daya tampung sekolah negeri, swasta, pendidikan kesetaraan, hingga madrasah.
Kisruh PPDB yang selalu berulang setiap tahun ajaran baru, menunjukkan karut marutnya sistem pendidikan di negeri ini. Kebijakan zonasi yang katanya untuk pemerataan pendidikan, nyatanya justru menimbulkan banyak persoalan.
Pasalnya, kebijakan tersebut tidak dibarengi dengan ketersediaan fasilitas sekolah yang memadai di tiap daerah. Seperti daya tampung sekolah negeri tingkat SMP dan SMA/SMK yang tidak sebanding dengan jumlah kelulusan di tingkat sebelumnya. Walhasil, banyak calon siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri.
Kebijakan tambal sulam pun akhirnya diberlakukan untuk menutupi kekurangan tersebut. Di antaranya adalah penetapan faktor usia sebagai syarat kedua setelah zonasi dalam penerimaan siswa baru.
Alasan Kadisdik DKI Jakarta, Nahdiana, yang menilai bahwa pola usia untuk memberi kesempatan bagi siswa dari keluarga kurang mampu pun menuai protes para orang tua. Mereka pun mengeluhkan, jika pendaftaran dilakukan online, siswa dari keluarga mampu akan bisa diterima jika usianya memenuhi syarat. Sementara bagi mereka yang tidak mampu tetap tidak bisa masuk jika usianya kurang.
Maka, syarat usia ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak pendidikan bagi seluruh warga. Hal tersebut karena menyebabkan banyak calon peserta didik baru yang terpaksa menunda sekolah setahun lagi atau mencari sekolah swasta dengan konsekuensi biaya mahal. Padahal, pendidikan sejatinya adalah hak mereka untuk mendapatkanya secara mudah.
Negara seakan berlepas tangan. Dengan memberikan wacana bagi mereka yang tidak lolos di sekolah negeri untuk beralih ke sekolah swasta. Hal ini disinyalir akan memberi peluang komersialisasi pendidikan oleh pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam penyelenggaraan sekolah swasta.
Jaminan Pendidikan dalam Islam
Islam memandang bahwa pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap individu. Tidak melihat usia, status sosial kaya atau miskin, laki-laki, ataupun perempuan. Seluruh warga negara dalam sistem Islam berhak mendapatkan pendidikan yang sama tanpa adanya diskriminasi.
Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bebas biaya kepada seluruh warganya. Karena negara menganggap bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar yang mereka butuhkan terutama yang bertujuan untuk membangun pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).
Dalam perkara usia, sejatinya tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu atau belajar. Bahwa menuntut ilmu wajib dari buaian hingga ke liang lahat. Namun, terkait usia wajib belajar maka negara memang harus memberi batasan usia yang tepat untuk anak-anak masuk sekolah yaitu usia tujuh tahun. Dimana anak-anak sudah siap untuk belajar serius membaca dan menulis.
Rasulullah saw bersabda : “Perintahkanlah anak-anak mengerjakan salat dikala mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan salat pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (pada usia tersebut pula).” (HR. al Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin Ash)
Abdurahman Al Baghdadi dalam bukunya Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam juga menyebutkan bahwa pada masa abad-abad permulaan Islam, kaum Muslimin senantiasa mengirimkan anak-anaknya ke sekolah rendah (Kuttaab) apabila telah berusia tujuh tahun.
Adapun dari segi ketersediaan fasilitas pendidikan, maka negara berkewajiban menyediakanya secara gratis khususnya untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan diprioritaskan untuk bidang-bidang yang merupakan kebutuhan pokok seperti kedokteran dan pengetahuan industri tambang. Sementara untuk bidang yang bukan kebutuhan pokok, seperti sastra, maka negara akan mengusahakannya apabila tersedia cukup dana untuk keperluan itu.
Semua mekanisme jaminan pendidikan tersebut akan berjalan lancar apabila negara mengambil peran penuh. Negara juga harus hadir dalam memberikan pemahaman terhadap para orang tua terkait usia wajib sekolah. Bahwa ketika anak-anak dibawah usia tujuh tahun bukan berarti mereka tidak belajar. Namun kewajiban orang tualah sebagai pendidik utama untuk mengajari. Terutama dalam penanaman aqidah dan pembiasaan akhlak yang baik sejak kecil.
Dengan demikian, ketika negara mengambil peran penuh dalam memberikan jaminan pendidikan, persoalan-persoalan semisal kisruh PPDB akan bisa diminimalisir bahkan tidak akan terjadi. Hal itu akan bisa terlaksana dengan sempurna ketika Islam diterapkan sebagai pengatur kehidupan. Yaitu dalam bingkai Khilafah Islamiyyah sebagaimana yang pernah di contohkan oleh Rasulullah saw dan para Khulafaur Rasyidin.
Wallahu a’lam bish shawab