Oleh: Ummik Rayyan (Member Pena Muslimah Cilacap)
Jakarta – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Sumatera Utara (Sumut), yang dianggap ilegal dan inkonstitusional, menetapkan Kepala KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat. Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD pun angkat bicara mengenai KLB tersebut.
Sebagai informasi, KLB Demokrat digelar di The Hill Hotel and Resort, Sibolangit, Deli Serdang, Sumut. Kegiatannya dibuka pada Jumat (5/3/2021) pukul 14.44 WIB yang ditandai dengan mengetuk palu sebanyak 3 kali. Sejumlah tokoh hadir dalam KLB Demokrat ini. Mereka di antaranya, Marzuki Alie, Hencky Luntungan, Max Sopacua, Darmizal dan Jhoni Allen Marbun.
Pelaksanaan KLB versi Sumut itu kemudian ditentang oleh DPP Partai Demokrat dibawah kepemimpinan Ketum PD AHY. Partai Demokrat pun menyurati Menko Polhukam Mahfud MD, Menkum HAM Yasonna Laoly, hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar mereka menghentikan KLB yang disebut ilegal.
“Menyikapi perkembangan situasi yang makin memburuk, ditandai oleh upaya penyelenggaraan KLB ilegal, pada hari Kamis, 4 Maret 2021, Partai Demokrat mengirimkan surat permohonan perlindungan hukum dan pencegahan tindakan inkonstitusional kepada Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, serta Menko Polhukam,” kata Kepala Bamkostra Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Jumat (5/3).
Usai Moeldoko ditetapkan sebagai Ketum PD versi KLB, Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan pemerintah tidak bisa ikut campur melarang atau mendorong adanya kegiatan yang diklaim sebagai KLB PD di Deli Serdang, Sumut. Mahfud mengatakan hal itu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Sesuai UU 9/98 Pemerintah tak bisa melarang atau mendorong kegiatan yang mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deli Serdang,” kata Mahfud melalui akun Twitter resminya, @mohmahfudmd, seperti dilihat detikcom, Sabtu (6/3).
Mahfud MD kemudian menyatakan, pemerintah saat ini masih menganggap peristiwa KLB Sumut sebagai persoalan internal PD. Sebab, belum ada laporan atau permintaan legalitas hukum baru kepada pemerintah dari Partai Demokrat.
Menurut Mahfud, KLB PD baru akan menjadi masalah hukum jika hasil KLB sudah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM). Jika hasil itu didaftarkan, pemerintah baru akan bertindak dengan meneliti keabsahan hukum dari KLB PD di Sumut.
“Kasus KLB PD baru akan jd masalah hukum jika hasil KLB itu didaftarkan ke Kemenkum HAM. Saat itu pemerintah akan meneliti keabsahannya berdasarkan UU dan AD/ART parpol. Keputusan Pemerintah bisa digugat ke pengadilan. Jadi pengadilanlah pemutusnya. Dus, skrng tdk/blm ada mslh hukum di PD,” kata Mahfud.
Mahfud MD juga menyampaikan hal senada ketika dihubungi detikcom untuk mendapatkan konfirmasi lebih jauh terkait cuitannya tersebut.
“Itu kan internal mereka. Nanti kalau hasil KLB itu dilaporkan kepada pemerintah, baru kita periksa keabsahannya. Masalahnya, kalau penyelenggara KLB tidak melaporkan hasilnya ke pemerintah, kan berarti tidak ada KLB,” ujarnya.
Lebih jauh, Mahfud kemudian mencontohkan persoalan internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pernah terjadi saat era kepemimpinan Megawati Soekarno Putri. Saat itu, kata Mahfud, pemerintah tidak mencampuri perebutan PKB oleh Matori Abdul Jalil dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena hal tersebut merupakan permasalahan internal partai.
“Sama dengan yang menjadi sikap pemerintahan Bu Mega pada saat Matori Abdul Jalil (2020) mengambil PKB dari Gus Dur yang kemudian Matori kalah di pengadilan (2003). Saat itu Bu Mega tak melarang ataupun mendorong karena secara hukum hal itu masalah internal PKB,” tuturnya.
Mahfud juga mencontohkan persoalan internal PKB versi Parung dan Ancol saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mahfud menyampaikan pemerintah saat itu juga tidak dapat melarang karena persoalan itu menyangkut urusan internal PKB.
“Sama juga dengan sikap Pemerintahan Pak SBY ketika (2008) tidak melakukan pelarangan saat ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin). Alasannya, itu urusan internal parpol,” ujarnya.
Sistem politik demokrasi menghasilkan kisruh pada parpol yang seharusnya fokus melakukan fungsi nasihat dan kritik. Konflik-konflik yang terjadi di dalam partai politik di Indonesia selalu diawali dengan konflik elite. Kenyataan ini menunjukkan bahwa elite politik di republik ini belum dewasa dan masih labil dalam berpolitik, dan dari sinilah makin terlihat jelas bahwa praktik demokrasi di negeri kita ini begitu buruk.
Sudah seharusnya pemerintah mampu menyelesaikan konflik, tetapi pada kenyataannya pemerintah justru menjadi pihak yang berkepentingan mengambil untung dari kisruh tersebut. Suatu hal yang mengecewakan jika dibayangkan, inilah akibat apabila sistem kapitalis yang dianut. Selagi ada yang menguntungkan, kenapa harus disia-siakan, tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan.
Dinamika pergerakan parpol dalam demokrasi adalah wajar. Sebab, konflik yang terjadi pada internal partai biasanya lebih karena alasan perbedaan pandangan dan berbagai kepentingan yang turut mewarnai perjalanan partai politik.
Sementara Islam punya pandangan yang berbeda terkait partai politik. Keberadaan partai politik dalam Negara Islam adalah wajib. Kewajiban ini untuk memenuhi seruan Allah SWT dalam QS. Ali Imran: 104.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Dengan tegas, Allah memerintahkan adanya ummat, yang berarti kelompok yang terorganisasi. Tujuannya untuk menyerukan Islam, baik dalam konteks menerapkan Islam secara kaffah, maupun mengajak orang non Muslim agar bersedia memeluk Islam dengan sukarela. Selain itu, juga menyerukan pada yang makruf, dan mencegah dari tindak kemungkaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara.
Karena itu, partai politik ini harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah Islam harus dijadikan sebagai kaidah berpikirnya, sekaligus ikatan yang mengikat anggota partai politik ini. Visi, misi, tujuan, metode dan aktivitasnya sama sekali tidak boleh menyimpang dari Islam yang menjadi dasarnya. Visi partai politik ini adalah melangsungkan kehidupan Islam dibawah naungan Khilafah. Ketika Khilafah belum ada, misinya menegakkan Khilafah. Ketika Khilafah telah ada, misinya menjaga dan mempertahankan Khilafah agar tidak melanggar sedikit pun dari visi dan tujuannya, melangsungkan kehidupan Islam.
Negara Khilafah tidak akan memberi toleransi adanya partai politik yang tidak berdasarkan akidah Islam, seperti partai komunis, partai sosialis, partai liberal, partai demokrasi, partai nasionalis, dan sebagainya. Karena semua partai ini tidak dibangun berdasarkan akidah Islam. Dengan begitu berdirinya partai politik adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus. Bukan sekadar sebagai wadah menampung aspirasi dan suara rakyat. Telah banyak berdiri organisasi atau partai politik di negeri ini. Baik yang bercorak nasionalis maupun Islam.
Itulah cara kerja partai politik yang diajarkan dalam Islam. Dalam Islam, berpolitik direalisasikan dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Oleh karenanya, tugas partai politik Islam yang shahih adalah mengembalikan kehidupan Islam dengan mewujudkan kebangkitan pemikiran Islam di tengah umat dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia.
Wallahu a’lam bish-showab.