Oleh: Zawanah Filzatun Nafisah (Aktivis Muslimah Ideologis Khatulistiwa)
Berangkat dari keprihatinan terhadap banyaknya kasus pelanggaran hak-hak anggota keluarga dan terjadinya banyak kasus kriminalitas di tengah institusi keluarga. Lima legislator termasuk yang perempuan yakni Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetiyani (PKS) dan Endang Maria Astuti (Golkar), menginisiasi pembahasan RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK). Karena kuatnya arus deras penolakan, belakangan beberapa inisiator perlahan melunak bahkan menarik kembali ucapannya.
Netty Prasetyani bersikukuh perlu membuat pemetaan yang jelas kepada 62 juta lebih kepala keluarga di Indonesia. RUU KK menjadi sebuah harapan akan adanya proses edukasi di dalam keluarga Indonesia, berawal dari membangun relasi harmonis antara suami dan istri. Inisiator lainnya mengatakan RUU KK ini memberikan aturan yang banyak tidak tersedia pada UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga menurutnya RUU KK sekaligus menjadi solusi atas problem sosial yang kerap didapati terjadi pada keluarga inti di Indonesia.
RUU KK ini didukung oleh organisasi perempuan Persaudaraan Muslimah (Salimah) atas harapan agar negara hadir dalam penguatan ketahanan keluarga yang menjadi basis pembentukan generasi bangsa. Dukungan juga datang dari Tim Hukum Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang menilai bahwa RUU Ketahanan Keluarga merupakan produk hukum yang sangat diperlukan untuk melindungi ketahanan keluarga dan mempertahankan konsep keluarga beradab. Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) juga seiya sekata bahkan berhasil merangkul dukungan dari Wanita Islam, PII Wati, Muslimat DD, Muslimat Hidayatullah, Forsap, Forhati, PP Muslimat Al Ittihadiyah, GPII Putri, WI, Muslimat Al Washliyah, Musma, Wanita Perti, W PUI, Wanita Guppi, dan KOHATI.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara yang menyatakan RUU ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Diantara pasal yang dianggap berpotensi melanggar HAM adalah pengaturan LGBT dan kehidupan berumah tangga. Karena bukan rahasia bahwa Indonesia masuk pada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maka kebijakannya harus sesuai dengan program PBB, menjadikan hak identitas gender sangat dibela. Lebih detail lagi, ICJR (International for Criminal Justice Reform) menganggap bahwa RUU Ketahanan Keluarga bisa mereduksi peran agama, adanya diskriminasi gender dan dinilai menghina kelompok tertentu. Hingga pada puncaknya pada long march menuju istana negara pada International Woman Day (IWD) di Indonesia 8 Maret 2020, dimotori oleh Gerak Perempuan, menyampaikan tuntutan yang salah satunya adalah menolak RUU KK dan meminta segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU KK yang sudah diharmonisasi di Baleg DPR tersebut memang masuk pada Prolegnas Prioritas di Tahun 2020. Digagas oleh legislator Muslim dan diantaranya dari Partai Muslim. Namun begitu ditililk dalam draf RUU ini, tidak nampak ada kaitan langsung dengan penerapan syariat Islam. Ketahanan keluarga didefinisikan secara umum sebagai kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan ketahanan nasional.
Beratnya perjuangan muslimah melindungi keluarga Indonesia bukanlah karena kurangnya kemampuan dan pengalaman. Namun dikarenakan sistem demokrasi tidak akan pernah menyuburkan bahkan sebait idepun yang menyangkut nilai-nilai Islam, untuk masuk regulasi negara. Sistem demokrasi mempersulit sampai kapanpun keberadaan muslim dan gerakan kecil sekalipun untuk menjadikan nilai Islam hadir pada produk perundang-undangan di negeri ini. Demokrasi hanya memberikan kebebasan berpendapat dan memfasilitasi keberpihakan pada nilai-nilai kebebasan, yang bersebrangan langsung dengan nilai-nilai Islam.
Problem ketahanan keluarga, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan anak, perlindungan buruh migran dan banyak lagi problem sosial di negeri ini, tidak akan berakhir dengan ada banyaknya regulasi yang mengatur. Karena pada kenyataannya, keberadaan regulasi yang ada, tidak mengurangi angka kriminalitas dan problem sosial keluarga Indonesia. Parahnya lagi tidak terukur dengan jelas pencapaian regulasi selama ini jika mau dikatakan berhasil. Karena pada kenyataannya, bertambahnya regulasi berbanding lurus dengan pertambahan kasus pelanggaran hak-hak dalam keluarga.
Ketika yang diperjuangkan adalah hak asasi manusia, akan menjadi perjuangan yang sia-sia. Karena HAM itu sendiri bersumber dari sekulerisme yang memberi jaminan kebebasan dalam bertingkah laku. Maka sepanjang ada pembahasan produk perundang-undangan yang menyangkut ruang privasi apalagi jika dikait-kaitkan dengan agama tertentu dan nampak ada upaya homogenisasi, maka akan dilawan oleh pembela HAM, agar mereka tetap bisa bebas dalam bertingkah laku baik kepada dirinya sendiri maupun kepada keluarga dan orang lain. Negara dilarang hadir disana, walaupun akan memberi excess negatif pada dirinya, keluarganya, lingkungannya dan negaranya sendiri. Jelas HAM ini adalah senjata untuk mensekulerisasi dunia.
Maka dari itu, perlu mengembalikan energi muslimah yang luar biasa ini pada problem utama yakni ketiadaan Khilafah. Jika Khilafah ada maka demokrasi, sekulerisme juga HAM tidak akan dibiarkan menguasai pemikiran kaum muslimin. Tidak ada harapan penyelesaian problem keluarga negeri ini jika berharap dari mekanisme pengambilan keputusan sistem demokrasi. Suara rakyat yang dijadikan suara Tuhan, sementara Tuhan tidak meridhoi apa yang disuarakan. Karena kehendak Allah SWT hanya bisa kita ketahui dari apa yang tertera pada Al Qur’an Al Furqan, pembeda kebenaran dan kebatilan.
Tidakkah indah bagi kita semua, jika generasi yang tumbuh berangkat dari keluarga yang taat pada agama, sejahtera dengan ekonomi Islam, cerdas dengan pendidikan Islam, berdaya guna karena sehat berkat mekanisme pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas, maju membangun dengan pemerintahan Islam, wibawa di dalam dan luar negeri dengan keunggulan dalam keamanan dan Jihad Islam dan lain-lain. Yang kesemua itu tidak bisa parsial diterapkan, namun harus keseluruhan sistemnya hanya berbasis Islam, dijalankan oleh Kekhalifahan, sebagaimana sejarah pernah menuliskannya. Hanya Khilafah yang layak menjadi perjuangan muslimah kekinian. Wallahu A’lam Bi As Showab.