Kisruh Impor Beras, Bukti Sistem Kapitalisme yang Mengganas

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mutiah Raihana, S.TP, MP ( Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Gaduh, soal kebijakan impor beras. Ditengah ancaman krisis pangan sebagaimana prediski FAO akibat pandemi. Terkuak ditahun 2021 Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi akan mengimpor 1 Juta Ton Beras Thailand yang telah diteken akhir 2020 pada Nota kesepahaman (MoU) berupa kesepakatan antar-pemerintah (G2G) (kompas.com/18/03/21).

Indonesia negeri yang memiliki kekayaan potensi alamnya tidak pernah absen dan sudah kecanduan impor beras. Negara langgananya adalah Thailand dan Vietnam, yang diklaim lebih bagus mutu berasnya dibanding beras lokal milik petani Indonesia.

Lihat saja riwayatnya. Di 2017 Indonesia mengimpor 16.599 ton beras Vietnam dan 108.944 ton beras Thailand dari total impor beras 305.274 ton beras. Pada tahun 2018 indonesia mengimpor 767.180 ton beras Vietnam, dan Thailand sebanyak 795.600 ton dari total impor 2.253.824 ton beras. Di 2019 impor beras sebanyak 33.133 ton dari Vietnam dan 53.278 ton dari Thailand dari total impor 444.508 ton beras (bps.go.id).

Impor beras terpaksa dilakukan dengan dalih untuk menjaga stok beras nasional. “ 1 juta ton itu sesuai kebutuhan bulog dan untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP)”, ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto (money.kompas.com/06/03/2021).

Apakah stok bulog habis?, tidak. Bulog masih punya sisa beras impor dari tahun 2018 lalu yang sudah mulai turun mutu, jumlahnya 300 ribu ton dari stok yang ada 800 ribu ton dalam Gudang seluruh Indonesia (cnbcindonesia.com/19/03/2021). Tetapi tetap harus mengambil kebijakan impor. Karena kadar air beras hasil panen petani terlalu tinggi dan tidak bisa dibeli bulog.

Kebijakan impor ini diklaim sebagai Iron stock, yang mengharuskan ada cadangan barang, dan tidak dipengaruhi oleh panen atau apapun. Jadi meski kondisi beras aman tanpa gejolak harga,tetap harus ada. Bisa dibilang, Wong sudah terlanjur kontraknya.

Banyak pihak yang menolak. Seharusnya tidak perlu ada wacana impor, sebagaimana pendapat Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Karena produksi dan luas tanam padu meningkat signifikan. Pada April tahun ini potensi luas panen sekitar 4.86 juta ha, meningkat 26.53 persen, sedangkan produksi beras mencapai 14.54 juta ton, meningkat 26.84 persen dari tahun sebelumnya.

Nyatanya impor terus dijalankan. Sementara ada Riwayat, justru RI juga sukses mengekspor 20 ton beras kes Singapura ditengah corona. Disisi lain Perum Bulog pernah membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka pada tahun 2019. Ditaksi Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Padahal laporan ADB masih ada sekitar 22 juta warga Indonesia yang mengalami kelaparan kronis (news.detik.com).

Padahal sama-sama kita ketahui bahwa impor beras jika terus terjadi sama saja bunuh diri petani. Karena harga yang dijual lebih murah disbanding beras milik petani. Hal ini sebagaimana ungkapan ketua PP Muhammadiyah Pak Busyro Muqoddas menilai, petani sebagai penyumpang suara terbesar dipemilu yang apes. Karena kebijakan yang dikeluarkan tidak pro rakyat. Bahkan beliau menuturkan perlindungan nasib petani dan nelayan dipusaran korupsi sistematik, masif dan terstruktur. Buktinya kasus impor beras ini. cermin sekarat demokrasi.

Ketidakjelasan jaminan pemerintah terhadap aspek pangan ini yaitu beras adalah cermin abainya negara.Kelalaian dan kegagalan negara membangun ketahanan dan kedaulatan pangan, tidak bisa lepas dari sistem neoliberal kapitalime yang kian mengganas.

Sistem ini telah melegalkan kapitalisasi pengelolaan pangan sehingga korporasi menguasai mayoritas rantai pasok pangan. Sementara pemerintah hanya sebagai regulator, fasilitator, yaitu pembuat aturan dan kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi.

Seharusnya pangan yang menjadi kebutuhan pokok rakyat tersedia dengan mudah dan murah. Pertanian harus dikelola dengan baik yang menguntungkan para petani. Harus ada upaya dari negara mencari solusi untuk meningkatkan kualitas pertanian. Mensuport dengan berbagai subsidi yang dibutuhkan berupa modal, saprotan, atau teknologi pendukung yang mutakhir. Termasuk penggunaan drone, sensor dsb untuk meminimalisasi dampak buruk hasil pertanian.

Apabila yang terkendala adalah kurangnya lahan yang sesuai karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan agar lahan yang cocok bisa ditanami padi. Juga harus ada kebijakan menyokong pertanian dan menghentikan impor.

Sebab negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurusi hajat rakyat yaitu sebagai ra’in (pelayan /pengurus) dan junnah (pelindung). Yang bertanggungjawab menyediakan kebutuhan pokok untuk rakyatnya, sampai tingkat sejahtera. Hal ini dicontohkan khalifah Umar bin Khaththab ketika menghadapi krisis beliau membangun pos-pos penyedia pangan di berbagai tempat, bahkan mengantarkan sendiri makanan ke setiap rumah, memastikan rakyatnya tak ada yang kelaparan. Wallahu a’lam bi showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *