Khilafah, Sistem Pemerintahan Islam Nan Agung

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ika Nur Wahyuni (Aktivis Muslimah dari Karawang)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Kabinet Indonesia Maju, Prof Mahfud MD mengatakan tidak ada yang namanya sistem Khilafah dalam Islam. Yang ada itu adalah prinsip khilafah yang tertuang dalam Alquran. Masih menurutnya, Indonesia dan Islam adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan sehingga upaya memecah belah Indonesia dengan cara radikal tidak bisa dibenarkan.

“Dalam Alquran disebutkan tentang Khilafah yang maksudnya adalah negara yang memiliki pemerintahan, namun sistemnya seperti apa, Islam tidak mengajarkan soal itu. Artinya setiap negara bisa menentukan sendiri sistem pemerintahannya”, katanya saat memberikan sambutan pada Dialog Kebangsaan Korps Alumni HMI di Kalimantan Barat, pada Sabtu malam (27/10/2019). Seperti yang diberitakan Bisnis.com.

Stigma Negatif Khilafah

“Selama lima ratus tahun, Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi”. (Jacques C. Reister)

“Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamonya”, Barat bukanlah apa-apa”. (Montgomery Watt)

Pernyataan dua orang cendekiawan Barat menunjukkan bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk Barat. Meski banyak yang ditutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap kemajuan Barat adalah nyata.

Hingga hari ini, di masjid atau museum terkenal bernama Hagia Sophia (Aya Sofya dalam pelafalan Turki) berlokasi di Istanbul, Turki tepatnya di Ayasofya Meydani kawasan Sultanahmet dan Istana Topkapi dipamerkan surat-surat Khalifah (Usman Fermans) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kemakmuran warganya maupun kepada orang asing pencari suaka tanpa memandang agama mereka.

Pengaruh peradaban Islam juga mewarnai Nusantara. Salah satunya Aceh yang terkenal dengan julukan “Serambi Mekkah”. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari Arab yakni Syaikh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Selain itu, di Aceh sendiri lahir ulama besar seperti Syamsuddin Al Sumatrani dan Abdul Rauf Al Singkeli.

Bahkan Abdul Rauf Al Singkeli atau yang lebih dikenal dengan nama Teungku Syiah Kuala menulis sebuah buku Miratuth Thullab yang dijadikan patokan hukum (qanun) penerapan syariah Islam di Kesultanan Aceh. Dan banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan erat antara Kesultanan Aceh dan Khilafah Turki Utsmani yang pada saat itu merupakan pusat peradaban Islam.

Satu hal yang tidak pernah diakui secara terbuka dan masih sering ditutupi adalah peradaban Islam yang memberikan sumbangan besar bagi dunia terjadi di masa Kekhilafahan Islam. Boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan peradaban Islam tidak lepas dari peran sentral Khilafah. Kegemilangan sejarah terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem Islam dalam bingkai negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara dan syariah menjadi landasan hukum yang mengatur setiap lini kehidupan.

Inilah hal penting yang diingat dan dicatat untuk membantah pandangan buruk yang terus dihembuskan Barat yang kini menjangkiti sebagian pihak bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Sebuah kepicikan dan kedustaan yang fatal apabila mengagungkan peradaban Islam dan berlepas diri dari peran sentral Khilafah sebagai institusi negara yang paling menentukan kemunculan peradaban Islam.

Bahkan Khilafah ditutupi peranannya dan menjadi obyek penyesatan dengan membangun stigma negatif yang menimbulkan Islamophobia akut. Stigma negatif terus dilancarkan oleh para tokoh dunia seperti pernyataan mantan presiden AS George W. Bush pada tanggal 5 September 2006 yang menyebut Khilafah sebagai utopia politik kekerasan dimana semua diatur berdasarkan pada ideologi yang penuh kebencian.

Senada dengan sekutunya mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair menyatakan bahwa salah satu ciri dari “ideologi iblis” (evil ideology) adalah keinginan menegakkan syariah dan khilafah. Kebencian ini pun menjangkiti umat Islam. Tak terkecuali sang Professor yang menyatakan Khilafah akan memecah belah Indonesia. Bahkan ketua PBNU menyatakan bahwa Khilafah sudah basi tidak perlu dibahas lagi terkait dengan Kementrian Agama yang akan merombak buku bermuatan Khilafah.

Sungguh menggelikan bagaimana sebuah sistem utopis, penuh kekerasan, pemecahbelah cenderung radikal bahkan ada yang menyebutkan sistem kadaluarsa atau basi mampu menghasilkan peradaban agung. Bahkan satu-satunya sistem yang mampu menyatukan 2/3 dunia tanpa memandang bangsa, warna kulit, dan ras. Dan bagaimana mungkin ideologi setan bisa diyakini bahkan diperjuangkan selama 13 abad oleh para pemeluknya.

Kewajiban Penegakkan Khilafah

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat/pahala) Allah dan (kedatangan/keselamatan) hari kiamat dan banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab : 21)

Rasulullah adalah uswatun hasanah (teladan) yang wajib kita contoh baik perbuatan, perkataan, bahkan diamnya. Beliau saw bukan semata teladan dalam akhlak dan ibadah, karena Beliau juga memberikan tuntunan dalam politik dan pemerintahan seperti yang Beliau lakukan ketika hijrah ke Madinah.

Dengan mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin, menata Negara Islam di Madinah dengan menyusun Piagam Madinah (Watsiqah al Madinah) yang dengan itu seluruh elemen masyarakat selain kaum muslimin yaitu kaum Yahudi tunduk di bawah kepemimpinan Beliau. Mengangkat beberapa sahabat menjadi pejabat pemerintahan, gubernur, amil, juga panglima perang.

Ini bisa dilihat dari diangkatnya Abu Bakar dan Umar bin Khaththab ra sebagai muawin yang membantunya dalam urusan pemerintahan. Ada Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris dan pemegang stempel Rasulullah. Beliau juga pernah mengangkat Abdurrahman bin Auf, Bilal bin Rabbah, Muhmiyah bin Jaza yang membantunya dalam bidang ekonomi yaitu dengan mengelola zakat unta, buah-buahan dan khumus.

Beliau juga pernah mengangkat beberapa sahabat sebagai pimpinan perang yang biasa disebut suraya seperti di perang Mu’tah. Dimana beliau mengangkat Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah yang ketiganya syahid kemudian digantikan oleh Khalid bin Walid ra. Inilah yang dilakukan Rasulullah dalam menjalankan pemerintahannya di Madinah dan sebagai peletak dasar kepemimpinan dalam Islam.

Ini pula yang diakui oleh Raymond Leruge (seorang tokoh Katolik terkemuka) dalam bukunya, La Vie de Mohamet, ia menulis : “Dalam kenyataannya, ia (Muhammad SAW) adalah promotor revolusi sosial dan revolusi internasional yang pertama. Ia meletakkan dasar-dasar suatu negara yang disiarkan ke seluruh dunia, yang semata-mata menjalankan hukum keadilan dan kasih sayang. Ia mengajarkan persamaan diantara seluruh manusia serta kewajiban untuk saling menolong dan persaudaraan dunia”.

Bentuk pemerintahan dan kenegaraan yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya dalam bingkai Khilafah Islamiyah wajib dan kenegaraan yang dipraktekkan oleh Nabi SAW yang dilanjutkan oleh para khalifah dalam bingkai Khilafah wajib diambil sebagaimana kaum muslim berkewajiban melaksanakan shalat.

Karenanya adalah sebuah keironisan jika ada keinginan meneladani Rasulullah namun menolak dengan keras sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang menerapkan syariah secara kaffah dengan alasan melanggar atau bertentangan dengan kesepakatan. Padahal seperti yang kita pahami sebagai seorang muslim bahwa hukum syara diatas semua hukum buatan manusia.

Para imam empat madzhab pun sepakat dalam hal pentingnya imamah (kepemimpinan) dalam Islam. Dalam kitab Al Fiqh Al Manhaji ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i (juz 8, hal 277-278), Beliau rahimahullah menyebutkan :

“ Pengangkatan seorang imam (Khalifah) dalam bentuk yang telah disebutkan, demi merealisasikan kepentingan yang telah diulas sebelumnya adalah wajib dan mengikat leher kaum muslimin dimanapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit melakukannya demi merealisasikan perintah Allah Azza Wa Jalla, niscaya mereka semua akan tertimpa dosa besar. Karena ia jika dikaitkan dengan kepentingan mendesak agama, sosial, dan politik yang bermacam-macam merupakan syiar terbesar diantara syiar Islam yang wajib ditampakkan dan hidup di negeri-negeri kaum muslimin”.

Karena sesungguhnya kepentingan penegakkan imamah (khilafah) adalah menyatukan kaum muslimin seluruhnya dari berbagai penjuru negeri-negeri Islam dalam rangka menjunjung tinggi penegakkan syariah Allah dan menjadikan Islam sebagai ideologi yang mengikat seluruh kaum muslimin yang pada akhirnya akan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bisshawab. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *