Khilafah, Sebuah Keniscayaan di Tengah Maraknya Narasi Kebencian

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dwi Putri Ayu. R. A. L, S.S (Praktisi Pendidikan Kendari)

Khilafah kembali menjadi isu yang hangat diperbincangkan, tidak hanya di tanah air tapi juga di luar negeri, dimulai dengan kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid umat Islam di Turki setelah 85 tahun diubah menjadi Museum oleh Mustafa Kemal. Jumat, 24 Juli 2020 menjadi hari bersejarah bagi umat Islam di Turki, dan dunia Islam. Sekitar 1.000 orang diizinkan untuk masuk ke Hagia Sophia melalui pemeriksaan keamanan, sementara yang lainnya melakukan salat di seputar masjid.

Khilafah juga menjadi isu hangat di tanah air pasca dikeluarkannya proyek film bertajuk “Jejak Khilafah di Nusantara.” Berbagai opini miring pun kembali bergulir dengan menjadikan Khilafah dan pengemban ideologi Islam sebagai “antagonis” dan seolah parasit bagi negeri ini.

Stigmatisasi Khilafah, Ketakutan Kaum Kafir akan Kebangkitan Islam
Sejak era 50-an, ide Khilafah memang menjadi momok menakutkan bagi berbagai rezim sekuler di dunia. Awalnya, ide ini masif didakwahkan secara terbuka oleh gerakan yang didirikan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di al-Quds Palestina, untuk menantang ideologi batil kapitalisme-sosialisme dengan segala dampak buruk penerapan hukum-hukumnya.

Lalu, pelan tapi pasti, ide dan gerakan ini berkembang ke berbagai negara di dunia, termasuk ke Indonesia. Di era 90-an, ide menegakkan kembali Khilafah ini seolah mendapat momentum terbaiknya. Kondisi konstelasi internasional mulai kehilangan perimbangannya setelah sistem yang tegak di bawah ideologi sosialisme -dan direpresentasi negara adidaya Uni Soviet- hancur lebur. Di saat sama, kapitalisme mulai tampil sebagai satu-satunya ideologi yang menjadikan negara pengusungnya bebas menghegemoni dunia termasuk dunia Islam, hingga sekarang. Maka saat itulah, kampanye menentang ide Khilafah -yang merepresentasikan geliat kebangkitan Islam-, menjadi agenda bersama negara-negara adidaya pengusung kapitalisme bersama antek-anteknya.

Islam dan Khilafah dinarasikan sebagai musuh bersama dengan sebutan “bahaya hijau baru” (a new green peril). Bush Junior menyebutnya sebagai “evil ideology” alias ideologi setan. Rupa-rupanya, mereka sangat paham, Islam dengan Khilafah sebagai institusi penegaknya, memang satu-satunya ideologi atau sistem hidup yang bisa menjadi musuh potensial dan dipastikan mampu melawan hegemoni kapitalisme global.

Apalagi mereka melihat ide penegakan Khilafah ini makin lama makin mendapat dukungan dari berbagai kalangan umat Islam. Menyusul kian tampaknya borok-borok sistem kapitalisme dengan watak imperialismenya sebagai penyebab kesengsaraan umat manusia di seluruh dunia.

Gerakan War on Terrorism yang masif dilakukan pascaperistiwa 11 September 2001 dan disusul dengan Gerakan War on Radicalism, sesungguhnya menunjukkan hal demikian. Demi suksesnya agenda ini, AS sebagai pemegang tongkat komando, melakukan strategi stick and carrot untuk mendapatkan dukungan secara global. Targetnya adalah memonsterisasi sekaligus mengalienasi perjuangan penegakan Khilafah dengan menampilkan sisi buruk pergerakan kaum jihadis, termasuk ISIS dengan berbagai drama terornya di berbagai negeri muslim.

Di tanah air, upaya mendiskreditkan Khilafah yang tampak lewat ujaran kebencian petinggi partai penguasa, klarifikasi pembacaan sumpah setia NKRI di DPRD Cirebon, ataupun ulangan kalimat Wapres Ma’ruf Amin yang menyatakan paham Khilafah melanggar kesepakatan masyarakat Indonesia bakal terus dideraskan. Ancaman terhadap siapa pun yang memperjuangkan Khilafah, termasuk pemecatan aparatur sipil negara (ASN) akan menjadi tupoksi yang terus dimainkan para penguasa, para penghasut rakyat yang siap menjual agama demi mempertahankan kekuasaan yang direstui tuan-tuannya: para penjajah dunia Islam.

Tentu tak bisa mengubah narasi kebencian atas Islam dari dalam sistem demokrasi yang terlahir dari rahim sekularisme. Sistem ini pasti melahirkan penguasa hipokrit yang hanya melahirkan kebijakan pro-Islam jika momentumnya tepat.

Demikian pula di Indonesia. Sepak terjang partai-partai (berbasis) Islam dalam pembelaannya atas umat, antara ada dan tiada. Kerap terjadi, partai-partai Islam baru bereaksi setelah umat berteriak menuntut keadilan.

Khilafah adalah sebuah keniscayaan
Hari ini, nyaris 96 tahun umat hidup tanpa Khilafah. Banyak di antara mereka yang masih belum paham kewajiban dan urgensi menegakkan syariah kaffah dalam naungan Khilafah. Dan sebagiannya justru menolak dan berdiri di pihak penentang penegakan syariat dan Khilafah.

Perang antara hak dan batil terus terjadi. Di tengah situasi kritis seperti ini, dakwah Islam ideologi terus menyeruak di tengah umat. Situasi ini seakan menjadi lonceng kematian bagi negara adidaya dan semua rezim antek yang menopangnya.

Allah SWT berfirman di dalam Surat An Nuur ayat 55:

“Allah telah menjanjinkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana dia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhoi. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Oleh karena itu, jalan satu-satunya untuk menghilangkan stigmatisasi dan fitnah atas ajaran Islam dan umatnya adalah melalui perlawanan. Perlawanan tanpa senjata, hanya dengan dakwah via lisan dan tulisan dengan menggunakan segala platform media.

Mungkin banyak umat yang tak sabar dan terus mempertanyakan efektivitas dakwah seperti ini. Namun hendaknya mereka mengerti, dakwah seperti inilah yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Kendati lama menuju garis finish, namun itulah kesejatian ittiba’, meneladani semua yang dituntun Muhammad ﷺ dalam perkara yang kita diwajibkan mengikutinya tanpa . Apa yang dialami umat hari ini, yang menjadi sasaran narasi kebencian, tak jauh beda dengan yang dialami Rasulullah ﷺ dan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka melalui kehidupan dakwahnya dengan menghadapi kebencian kaum kafir Jahiliyah. Kafir Quraisy menggunakan berbagai propaganda seperti berdebat, menggugat, mencaci, melemparkan berbagai isu dan tuduhan. Propaganda itu juga digunakan untuk menyerang akidah Islam dan para pemeluknya, membusuk-busukkan dan menghina esensi ajaran Islam. Persis kondisi hari ini.

Menghadapi semua itu, mereka tetap sabar menjalaninya dan tak berhenti mendakwahkan ajaran Islam kaffah, tanpa menyembunyikan satu pun atau menyesuaikan ajaran itu demi mendapatkan ridha musuh Allah.Sunnatullah  dakwah adalah kesediaan menanggung risiko perjuangan. Karena hanya dengan cara seperti itu, musuh-musuh Islam makin gentar dan kian kacau dalam menyusun langkahnya.

Percayalah, kebangkitan, kemenangan Islam, dan kejayaan Khilafah adalah keniscayaan. Bila masanya tiba, hanya penyesalan saja yang dirasakan para pembenci Allah, Rasulullah ﷺ, dan kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan umat Islam tentang kembalinya Khilafah.

“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu, Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim; ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya (no.18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no.439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796)).
Wallahu ‘alam bi ash shawwaab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *