Khilafah Mewujudkan Swasembada dan Kedaulatan Pangan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Wahyu Utami, S.Pd (Bantul Yogyakarta)

 

Sejak akhir tahun 2021 hingga saat ini harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Mulai dari minyak goreng, tahu, tempe hingga daging sapi. Dimulai dari tingginya harga minyak goreng yang terjadi sejak November 2021. Minyak goreng kemasan bermerek sempat naik hingga sekitar Rp 24.000/kg. Pemerintah pun mengambil kebijakan harga minyak goreng satu harga yaitu 14.000/liter. Tapi tetap saja kebijakan ini belum mampu menyelesaikan problem kelangkaan minyak goreng.

Belum selesai problem minyak goreng, harga tahu dan tempe pun ikut naik. Penyebabnya adalah kenaikan harga kedelai impor. Menurut data Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo), 90% kebutuhan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Tak berapa lama kenaikan ini diikuti kenaikan harga daging sapi hingga muncul rencana mogok pedagang daging sapi.

Penyebab Kenaikan Harga

Mengapa kenaikan dan kelangkaan harga kebutuhan pokok sering terjadi? Kalau kita cermati, pemerintah selalu mengambil kebijakan reaktif bukan kebijakan strategis misal dengan operasi pasar. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai pemadam kebakaran saat kebakaran telah terjadi. Nyaris tak terdengar lagi politik pertanian untuk swasembada dan kedaulatan pangan.

Saat ini kita lihat konversi lahan pertanian subur menjadi pabrik atau perumahan semakin masif terutama di pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan lahan pertanian semakin menyempit. Kalaupun masih ada kualitas jauh berkurang karena tercemar limbah pabrik atau rumah tangga. Keinginan anak muda untuk menekuni bidang pertanian juga semakin langka akibat sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan untuk masa depan.

Oleh karena itu saat ini hendaknya ada kebijakan politik pertanian yang visioner untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan.

Politik Pertanian dalam Khilafah

Dalam Khilafah Islam, kenaikan dan kelangkaan bahan pokok bisa diselesaikan dengan dua cara. Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam Siyasah Al Iqtishodi al Mustla menjelaskan pada dasarnya politik pertanian dijalankan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Hal ini ditempuh dengan dua cara. Pertama, intensifikasi yaitu peningkatan produktivitas misal dengan pengadaan benih unggul dan teknik-teknik pertanian modern. Hal ini tentu membutuhkan modal besar dan berorientasi jangka panjang. Langkah impor barang hanyalah solusi jangka pendek dan justru kontra produktif dengan tujuan kedaulatan pangan.

Kedua, ekstensifikasi yaitu dengan menambah luas area yang akan ditanami. Di dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya.

Rasululloh saw bersabda, “Siapa saja yang memiliki sebidah tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”

Problem para buruh tani yang selama ini selalu hidup miskin karena tidak punya lahan untuk berproduksi akan terselesaikan dengan hukum Islam ini. Mereka akan bersemangat untuk berproduksi dan memenuhi kebutuhan masyarakat karena mengolah lahan milik sendiri.

Kebijakan politik pertanian ini tentu juga harus dibarengi dengan politik industri untuk menjadikan negara mandiri secara alat dan mesin termasuk peralatan pertanian sehingga tidak bergantung pada negara lain. Syekh al Maliki menjelaskan politik industri dijalankan untuk menjadikan negara menjadi negara industri.

Dengan hal ini maka swasembada dan kedaulatan pangan bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Kewajiban negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pokok akan tercapai. Rasululloh sawa bersabda, “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al Bukhari).

Hanya saja semua ini tidak mungkin tercapai dalam sistem saat ini yang berkiblat pada barat dengan ideologi kapitalismenya. Saatnya kita kembali pada syariat Islam di bawah naungan Khilafah. Alloh berfirman di dalam QS Al Anfal yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.”

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *