Khilafah, Arah Baru Perjuangan Mahasiswa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Syakira (Aktivis Dakwah Muslimah)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur tentang Penyesuaian Pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahasiswa di Tengah Pandemi Covid-19. Nadiem mengatakan, Permendikbud 25/2020 menjadi pedoman bagi perguruan tinggi dalam memberikan keringanan UKT kepada mahasiswa yang ekonominya terdampak Covid-19.

Ia menerangkan, ada beberapa arahan kepada perguruan tinggi terkait ketentuan pembayaran UKT mahasiswa. Pertama, mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil kredit mata kuliah sama sekali. Misalnya, dia hanya menunggu kelulusan, jadi dia tidak wajib membayar UKT di situasi saat ini, ujarnya. Kedua, kata Nadiem, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa. Poin ini berdasarkan kesepakatan majelis rektor PTN pada tanggal 22 April 2020, imbuhnya.

Nadiem menambahkan, bahwa mahasiswa di masa akhir kuliah maksimal diwajibkan membayar 50 persen UKT, jika hanya mengambil 6 SKS atau di bawahnya. Hal ini berlaku untuk sarjana, sarjana terapan, dan mahasiswa diploma semester 7 (fajar.co.id, 20/6/2020). Seolah menjadi angin segar bagi para mahasiswa dan orang tua terkait pembiayaan kuliah di tengah pandemi Covid 19, di mana sangat berdampak pada menurunnya roda ekonomi masyarakat. Patut disyukuri atau direnungikah kebijakan ini?

Indonesia sebagai bagian dari negara penganut ideologi kapitalisme sekuler, tentu menganggap penurunan 50% UKT buat mahasiswa adalah sebuah kebijakan yang “menolong”. Pasalnya sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU PT) disahkan oleh DPR pada 13 Juli 2012, yang kemudian seiring berjalannya waktu, UU PT menyebabkan perguruan tinggi menjadi PTN-BH, di mana perguruan tinggi diberi kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan dananya secara mandiri. Hal ini menyebabkan biaya kuliah semakin tinggi dan juga memunculkan jalur mandiri yang berbiaya selangit. Sehingga pemotongan UKT 50% dengan bersyarat itu wajar dianggap sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap nasib mahasiswa di tengah Pandemi Covid 19.
Inilah wajah asli sistem kapitalisme sekuler dalam meriayah rakyatnya. Setengah hati, karena memang dasar pelayanan mereka kepada rakyatnya adalah sebagai regulator bagi kepentingan para kapital penopang kekuasaan mereka. Karena dibalik penerbitan UU PT dan PTN-BH, ada para korporat pendidikan yang mengambil untung atas komersialisasi pendidikan kampus ini.

Sayangnya, bahkan selevel Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Anggota Istimewa UKM Pengenalan Hukum dan Politik, ketika berupaya untuk menyelesaikan urusan tingginya biaya pendidikan terkhusus level perguruan tinggi hanyalah dengan melakukan langkah judicial review untuk menjadi pilihan mutlak bagi mahasiswa yang tetap menuntut berbagai persoalan yang muncul akibat berlakunya UU PT, yang berefek pada komersialisasi/mahalnya biaya pendidikan. Padahal mereka notabene adalah umat Islam. Miris, kesadaran apalagi yang didorong keimanan bahwa Islam mempunyai solusi tuntas dalam Masalah pendidikan, bukan hanya dalam hal pembiayaan baik di masa Pandemi Covid 19 maupun tidak, termasuk kurikulumnya yang akan mencetak mahasiswa bervisi besar yakni pencetak peradaban gemilang sama sekali tak muncul pada diri mereka.

Paradigma Sistem Pendidikan Islam
Padahal sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai dasarnya. Karena itu, keimanan dan ketakwaan juga akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik. Halal haram akan ditanamkan menjadi standar. Dengan begitu anak didik dan masyarakat nantinya akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaannya.

Dengan semua itu, Pendidikan Islam akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah; mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan. Ketika hal itu disandingkan dengan materi sains, teknologi dan keterampilan, maka hasilnya adalah manusia-manusia berkepribadian Islam sekaligus pintar dan terampil. Kepintaran dan keterampilan yang dimiliki itu akan berkontribusi positif bagi perbaikan kondisi dan taraf kehidupan masyarakat, itu dari sisi kurikulumnya.

Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Daulah Islam/Khilafah wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan. Membangun gedung-gedung sekolah dan kampus, menyiapkan buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta memberikan tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar. Dengan dukungan sistem Islam lainnya khususnya sistem ekonomi Islam, maka hal itu akan sangat mudah direalisasikan.

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari kas negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002). Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990). Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963). Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu, secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya (An-Nabhani, 1990).

Karenanya sejarah mencatat, dalam bidang pendidikan, Khilafah Islam sangat memperhatikan agar rakyatnya cerdas. Anak-anak dari semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar yang terjangkau semua orang. Negara lah yang membayar para gurunya, dengan gaji yang fantastis. Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa, di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar: 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer.

Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan Khalifah Al-Hakam II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus anak-anak miskin. Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim. Dia juga menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup serta satu setel baju untuk musim dingin dan satu setel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.

Seribu tahun yang lalu, universitas paling hebat di dunia ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar khilafah Islam hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibukota China atau di Nalanda, India. Di Eropa Barat dan Amerika belum ada perguruan tinggi. Selain itu dikenal juga dengan istilah kuttab yang menjadi tempat belajar dan dibangun di samping masjid.

Menurut Ibnu Haukal, di satu kota saja dari kota-kota Sicilia ada 300 kuttab, bahkan ada beberapa kuttab yang luas dan mampu menampung hingga ratusan bahkan ribuan siswa. Tidak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan saleh berlevel mendunia. Sebut saja di bidang kesehatan ada Ibnu Sina, Al Khawarizmi penemu algoritma, Ibnu Khaldun yang terkenal sebagai bapak sosiologi Islam, Aljabar, dan masih banyak lagi ilmuwan Islam yang lahir di masa kekhilafahan.
Dan hal itu menjadi suatu keniscayaan, saat biaya pendidikan tak lagi menjadi beban, diberikan gratis oleh negara untuk semua kalangan serta ditopang oleh sarana dan prasarana yang memadai maka bukan menjadi hal mustahil akan tercetak banyak ilmuwan.

Inilah seharusnya yang menjadi arah perjuangan mahasiswa di era sekarang, meski saat Pandemi Covid 19. Karena ketika Khilafah tegak, mereka tidak akan sekedar mendapatkan keringan biaya UKT sebesar 50%, namun akan mendapatkan seluruh haknya yakni layanan pendidikan gratis plus sarana pendukung yang layak. Tidakkah engkau merindukan itu wahai para mahasiswa?

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *