Khilafah, Antara Fiqih dan Sejarah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Hj. Tia Damayanti, M. Pd  (Praktisi Pendidikan)

Pernyataan Menteri Agama tentang wacana perubahan materi Khilafah dalam buku pelajaran Agama Islam, perlu ditanggapi dengan seksama. Bukan semata karena terkesan mengada-ada. Melainkan banyak hal yang sebetulnya perlu dikhawatirkan. Bagaimana tidak? Khilafah sebagai ajaran Islam yang Haq, akan tersisih dengan alasan kepentingan politik tertentu. Akibatnya siswa tidak akan mengenal lagi sistem pemerintahan Islam yang shahih. Muaranya adalah lahirnya generasi Islami yang sudah terkooptasi dengan politisasi dari sejumlah kepentingan atas nama kekuasaan.
Berikut kutipan pernyataan Menteri Agama.

Ndak. Takutnya nanti anak-anak jadi rancu pemikirannya. Jadi seolah-olah kita mengangkat itu dari aspek fikih. Padahal kita mengangkatnya dari level bawah, ya dari sejarah Islam saja, kata Menag (detikNews, 10/12/2019).

Dari pernyataan di atas ada beberapa hal yang patut kita cermati. Hal pertama terkait kerancuan pemikiran para siswa. Sangat mengherankan, menggelikan bahkan sungguh sukar dipahami.

Bagaimana mungkin para siswa akan rancu pemikirannya, jika sebuah materi pelajaran diberikan dalam ranah kajian yang memang semestinya. Kerancuan pemikiran, hanya dapat terjadi jika aspek didaktik metodiknya tidak tepat. Karena aspek didaktik metodik itulah sarana untuk menyampaikan materi pelajaran secara pas.

Hal kedua adalah kalimat “Jadi seolah-olah kita mengangkat itu dari aspek fikih. Padahal kita mengangkatnya dari level bawah, ya dari sejarah Islam saja.”

Kalimat pernyataan ini jelas mengandung satu unsur penting, bahwa ada wacana pemindahan ranah materi pelajaran Khilafah. Selain itu ada pernyataan tegas, bahwa materi pelajaran Khilafah tidak akan diangkat dari aspek Fikih, melainkan hanya dari aspek Sejarah Islam, yang juga dikatakan beliau sebagai level bawah. Ada semacam politisasi dari pemilik kekuasaan dengan muatan kepentingan tertentu. Bagaimana kongkritnya? Fakta dan perjalanan waktu lah yang akan menjawabnya. Namun, sampai pada titik ini, Khilafah menjadi tercerabut dari ranah yang semestinya, hanya sekedar catatan faktual belaka. Dan ini sebuah permasalahan yang sangat besar.

Sudah sepatutnya kita dan khususnya saya sebagai praktisi pendidikan turut andil memberi masukan yang membangun pada rezim yang berkuasa saat ini. Karena bagaimana pun kita tentunya ingin negara ini menjadi lebih baik lagi. Perlu dijadikan opini umum, bahwa Khilafah Islamiyah adalah bentuk Siyasah Islamiyah atau Politik Islam. Dan jelas, hal semacam itu adalah ranah dari Fiqih. Fiqih secara literatur dari berbagai khasanah perpustakaan, bahkan dalam versi yang sangat anti Islam pun mengandung pengertian sebagai berikut :

Fiqih berkenaan dengan pengertian manusia terhadap Hukum Syariah. Yakni pengejawantahan Hukum Islam sebagaimana dimaksudkan dalam Alquran dan As-sunnah. Fiqih meluaskan dan mengembangkan Hukum Syariah berdasarkan penafsiran atau Ijtihad dari Ulama. Dan menerapkannya dalam bentuk Fatwa.

Hukum Syariah bersifat tetap, sedangkan Fiqih bisa berubah. Yang penting adalah bahwa Fiqih merupakan ranah Islam yang berkenaan dengan aspek ritual, moral, kehidupan sosial dan politik. Dengan demikian, jelas bahwa konsep Khilafah seharusnya berada dan diajarkan dalam semua tatanan Fiqih.
Lalu bagaimana dengan Sejarah? Sebetulnya sah saja membahas Khilafah sebagai fakta Sejarah. Hanya saja HISTORY BECOME HIS STORY. Sejarah rentan sekali diselewengkan. Tuturan sejarah sangat bergantung pada siapa yang menuliskannya. Tentu Sejarah juga sangat rentan terhadap manipulasi fakta berdasarkan kepentingan kekuasaan. Jika kita cermati media sosial dan kanal video Youtube, banyak sekali perdebatan tentang fakta sejarah yang sebetulnya. Yang paling terkenal adalah komentar Budayawan Betawi, babe Ridwan Saidi. Beliau secara menohok memaparkan beberapa history fake fact. Termasuk Kerajaan Sriwijaya dan Legenda Si Pitung. Terlepas dari kontroversi mana yang benar, fenomena tersebut menunjukkan bahwa Sejarah rentan terhadap pemalsuan. Jika Khilafah dimasukkan dalam ranah Sejarah, bukankah malah berisiko bagi para siswa mengalami kerancuan pemikiran?
Idealnya Khilafah dimasukkan dalam dua ranah tersebut. Fiqih dan tinjauan fakta sejarah sekaligus. Jadi, dengan demikian, penyelewengan dan bahkan pemalsuan fakta sejarah terhadap Khilafah menjadi sangat kecil kemungkinannya. Karena senantiasa ada pendampingan kajian Fiqih. Sehingga para siswa memiliki pemikiran yang holistik dan relatif aman dari penyesatan logika.

Lebih menarik lagi jika coba dibuat hipotesa tentang apa maksud skenario dari semua ini. Bisa jadi ini merupakan Islamphobia. Khilafah dicap sebagai upaya pemberontakan. Khilafah dicap sebagai sebuah penindasan terhadap kaum minoritas, non Muslim. Bahkan ada yang secara ekstrem menyatakan, bahwa akan terjadi ‘sunat massal’ besar besaran jika Khilafah menjadi sistem dan Ideologi negara. Padahal dalam esensinya, Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan, Ideologi, politik yang mampu membawa kejayaan dan kemakmuran serta memelihara harkat dan martabat manusia. Khilafah Islamiyah sudah terbukti mampu bertahan selama kurang lebih 12 abad. Sementara Komunisme Russia hanya 80 tahun dan Liberalisme Kapitalistik Amerika, baru 1,5 abad pun sudah mengalami kegoncangan hebat dan nyaris runtuh.

Jadi, sudah saatnya rezim saat ini menempatkan konsep Khilafah pada ranahnya dan menjadikannya sebuah role model yang akan membuat umat sejahtera dan dirahmati oleh Allah SWT. In sya Allah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *