Oleh : Mesi Tri Jayanti (Mahasiswa FH UNIB)
Pembahasan Omnibus Law, RUU cipta kerja atau RUU yang dianggap membawa celaka bagi para buruh Indonesia kini telah mencapai puncaknya. Meski sempat ditunda sebab menuai banyak kontroversi tanpa memperhatikan aspirasi publik, pada Senin malam (05/09/2020) lewat Sidang Paripurna oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) akhirnya ketok palu.
Akibatnya belum lama disahkan, gelombang penolakan terhadap UU Ciptaker terus berdatangan. Menanggapi hal ini, pimpinan dan anggota DPR RI belakangan meminta agar publik terlebih dahulu membaca UU Ciptaker. Namun, hingga Kamis (8/10) ini, draf yang dianggap resmi belum juga dibagikan ke publik.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Partai Golkar Firman Soebagyo menyebut draf RUU Cipta Kerja belum final, ia justru mengatakan bahwa RUU yang sudah disahkan di rapat paripurna pada Senin (5/10) lalu itu masih dirapikan. Setelah dirapikan, RUU itu akan dimintakan tanda tangan pada Presiden RI Jokowi.
Melihat hal ini, proses finalisasi draf hingga akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pun perlu dipertanyakan. Sebetulnya final dulu baru disahkan, atau disahkan dulu baru difinalkan? Sebab dalam suatu dokumen hukum, titik, koma, spasi, typo itu semua akan mempunyai konsekuensi dalam implementasinya.
Untuk diketahui, Presiden RI Joko Widodo mempunyai waktu 30 hari untuk menandatangi UU kontroversial yang diusulkan pemerintahannya itu. Namun, tanpa adanya tanda tangan Jokowi pun, UU yang dianggap merugikan buruh dan mengancam lingkungan itu otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan di paripurna.
Dilansir dari Republika.com, (Jumat, 08/10/2020) Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zainal Arifin Mochtar juga menilai, UU Ciptaker dibuat dengan cara tidak transparan. Publik dan sebagian lembaga negara tidak mendapatkan naskah RUU Ciptaker, tapi tiba-tiba RUU itu sudah ada di DPR. Padahal, partisipasi dan sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari konteks penyusunan suatu aturan.
Zainal juga menilai, penyusunan UU tersebut, sama sekali tidak melibatkan publik. Mengingat bahwa Omnibus Law Cipta kerja memuat 79 UU dan lebih dari 1.200 pasal dari belasan klaster. Dengan 11 klaster yang ada memiliki logika dan paradigma yang berbeda kemudian digabung dalam satu konteks dan dilakukan secara cepat.
Melalui UU Ciptaker ini kedzaliman secara sistematis akan semakin mudah dilakukan oleh rezim kapitalis demokrasi. Pasalnya, sejak awal RUU Ciptaker memang sudah kontroversial karena ingin menghapus atau merevisi lebih dari 70 UU atau regulasi yang dianggap menghambat investasi. Mulai dari pemangkasan hak-hak para pekerja hingga potensi besar kerusakan lingkungan demi memuluskan invertasi.
Selama ini, pemerintah terus berupaya menggalang dukungan rakyat untuk menerima UU Ciptaker dengan cara pandang bahwa negara membutuhkan sebuah UU yang memudahkan pembangunan Ekonomi. Tapi disisi lain pemerintah tidak mempedulikan bahwa ada kedaulatan ekonomi dan politik negara yang terancam akibat ketergantungan pada persepsi pembangunan yang berlandas pada utang dan liberalisasi investasi.
Jika ditelaah, ruh dari UU Ciptaker hakikatnya adalah liberalisasi ekonomi. Liberalisasi akan makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Hal itu jelas menyalahi Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda:
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka (HR Muslim).
Semua konflik kepentingan yang melandasi lahirnya UU Cipta Kerja ini semakin memperjelas struktur esensial dari negara demokrasi kapitalis yang tidak melayani kepentingan publik. Dengan demikian, telah terjadi pengkhianatan terstruktur melalui penyanderaan institusi publik dan regulasinya, sehingga keduanya berubah menjadi alat untuk memenangkan kepentingan segelintir orang dan para korporasi.
Negara ini sedang menghadapi masalah krusial. Sistem yang ada tidak dapat menopang permasalahan kehidupan yang terus semakin kompleks. Sementara rezim hanya memikirkan diri dan kelompoknya serta abai terhadap nasib rakyat. Tanda-tanda otoritarianisme muncul lagi, terlihat lebih nyata. Rezim kuasai parlemen dan parlemen pun tak mampu mengontrol pemerintah. Yang tampak, parlemen sedang berselingkuh dengan penguasa dan pengusaha untuk menghasilkan berbagai peraturan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Pada dasarnya, ketidakjelasan landasan filosofis dan ideologis merupakan akar permasalahan suatu produk hukum sehingga menjadi kontroversial. Selama ini pembentukan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir manusia yang lemah dan terbatas. Seharusnya pembentukan suatu produk hukum berpedoman pada syariah Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT. Apabila pembentukan suatu produk hukum berlandaskan filosofi dan ideologi Islam, maka tidak sulit untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia. Wallahua’lam bish-shawwab[]