Ketimpangan Si Kaya dan Si Miskin
Eli Supriatin
Kontributor Suara Inqilabi
Forbes Real Time Billionaire per April 2023 kembali merilis daftar orang-orang terkaya di seluruh penjuru dunia. Berdasarkan data Forbes, di Indonesia Low Tuck Kwong menjadi orang nomor satu terkaya dengan jumlah kekayaan mencapai US$26,9 miliar (Rp 408,23 triliun). Dan Forbes merilis 10 daftar orang terkaya di Indonesia lainnya.
Namun dibalik angka tersebut, terdapat kenyataan yang tidak bisa diabaikan, yakni segelintir pengusaha tajir mendominasi kekayaan di Indonesia sehingga terjadi ketimpangan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Lembaga Keuangan Swiss, Credit Suisse, telah mempublikasikan riset mengenai ketimpangan kekayaan di berbagai negara. Salah satunya adalah Indonesia. Indonesia termasuk dalam 9 besar negara dengan kesenjangan kekayaan antar warga, dan kesejahteraan yang tidak merata.
Menurut riset tersebut, hanya ada 1 persen saja orang terkaya di Indonesia yang menguasai 49,3% kekayaan nasional. Selain itu, jika skala riset tersebut dinaikkan menjadi 10% orang terkaya, maka di Indonesia sendiri tingkat penguasaannya bisa mencapai 75,7% kekayaan nasional. Sementara itu, 50% penduduk termiskin hanya memiliki 5% dari total kekayaan nasional.
Ketimpangan yang terjadi di Indonesia bisa menjadi suatu masalah serius dalam sistem perekonomian dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Jika kita menelisik, penyebab mendasar jurang ketimpangan antara orang kaya dengan orang miskin adalah penerapan ideologi kapitalisme yang meniscayakan individu/swasta bebas memiliki apa pun asal dia memiliki modal besar. Atas nama privatisasi dan swastanisasi, kepemilikan harta milik umum bisa beralih ke individu. Tidak mengherankan jika orang-orang kaya itu memiliki kerajaan bisnis di berbagai bidang. Mulai dari bisnis tambang batu bara, smelter nikel, perbankan, kesehatan, real estate, perkebunan kelapa sawit, ritel, dan media. Tak heran, kondisi ini menyebabkan jurang yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin.
Berbeda dengan Islam yang memiliki prinsip-prinsip pengaturan kekayaan sehingga peredaran harta tidak berputar pada segelintir orang. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 7 yang artinya,
“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Ini artinya negara berkewajiban melakukan pemerataan ekonomi dengan mendistribusikan harta kepada kaum fakir miskin sehingga mereka bisa hidup sejahtera dan harta tidak menumpuk di kalangan orang-orang kaya saja.
Sejatinya kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga, yakni kepemilikan individu; kepemilikan umum; dan kepemilikan negara. Adapun kepemilikan umum seperti barang tambang yang jumlahnya melimpah; sarana dan fasilitas umum yang sangat diperlukan masyarakat, seperti jalan, rumah sakit, sungai, danau, laut, dll. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada individu atau swasta. Negara sebagai pengelolanya, rakyat menikmati dan memanfaatkannya untuk hajat hidup mereka.
Jika kepemilikan umum ini dimiliki atau dikelola individu, bisa dipastikan kekayaan ini hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Inilah perbedaan Islam dengan kapitalisme. Islam sudah menetapkan hukum tentang kepemilikan sejak awal sehingga pendistribusian kekayaan sangat jelas dan pasti.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tugas negara/penguasa adalah menciptakan keseimbangan ekonomi dengan menerapkan sistem syariat Islam secara kaffah yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Wallahu’alam bishshawaab.