Ketika Tenaga Honorer Dianggap Beban

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md (Pendidik Generasi, Member AMK)

Miris. Melihat nasib tenaga honorer dianggap sebagai beban anggaran pemerintah. Padahal mereka sudah menjalankan tugasnya dengan maksimal.

Dilansir oleh finance.detik.com, pada tanggal 25 Januari 2020, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo menceritakan anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, setiap kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik.

Terutama, dikatakan Tjahjo di pemerintah daerah (pemda). Dia bilang kehadiran tenaga honorer lebih banyak di pemda dan biasanya tidak direncanakan dengan penganggaran yang baik, sehingga banyak kepala daerah yang meminta anggaran gaji tenaga honorer dipenuhi oleh pusat.

Penghapusan tenaga honorer sendiri sudah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Ke depannya pemerintah juga mengimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer.

Apalagi larangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), yang dimaksud ASN adalah PNS dan PPPK. Di luar itu maka tidak dianggap.

Negara telah gagal mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Dengan melempar tanggung jawab masalah tenaga honorer antara pemerintah pusat dan daerah. Pada awalnya rekrutmen tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus pemerintah mendapatkan tenaga kerja yang mau dibayar rendah, sebab belum berpengalaman atau karena janji direkrut jadi ASN. Dan kini, tenaga honorer dihapuskan. Rakyat kembali terzalimi.

Di dalam sistem kapitalisme yang saat ini bercokol di negeri ini, cara pandang pemerintah terhadap rakyatnya hanya dipandang secara ekonomis belaka, menghitung untung dan rugi, sehingga menganggap rakyat sebagai beban anggaran negara. Hal ini berbeda di dalam sistem Islam.

Islam memandang bahwa menjadi kewajiban negara menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Semua digaji dengan akad ijarah dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan.

Misal pada masa Khalifah bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara mencapai 300 dinar (1.275 gram emas) atau setara Rp114.750.000. Nominal yang luar biasa. Bagaimana tidak sejahtera para pegawai negara.

Gaji pegawai negara berasal dari baitul mal, yang bersumber dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara, kharaj, dan jizyah. Bila kas baitul mal tidak mencukupi, maka bisa ditarik dlaribah/pajak yang bersifat temporer.

Di saat terbukanya lapangan kerja, maka menjadi ASN bukanlah satu-satunya pekerjaan yang dikejar oleh rakyat untuk mendapat beragam jaminan hidup layak dan tunjangan hari tua, seperti dalam pandangan kapitalisme. Karena dalam Islam, tidak menjadi ASN pun bisa sejahtera hingga hari tua.

Islam datang sebagai solusi segala problematika kehidupan. Hanya dengan Islam yang diterapkan secara kafahlah, yang mampu memberikan solusi terhadap problematika tenaga honorer.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *