Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
Pemerintah Arab Saudi sedang melakukan pengaturan pelaksanaan ibadah haji sebagai respon adanya pandemi Covid-19. Jumlah jamaah haji yang diperkenankan untuk menjalankan ibadah di Baitullah pada tahun ini dibatasi. Selain itu pelaksanaan haji pada tahun 2021 ini juga dibatasi oleh Pemerintah Arab Saudi hanya bagi penduduk lokal dan ekspatriat. Menurut Duta Besar RI untuk Saudi Agus Maftuh Abegebriel tidak ada haji internasional, adapun jumlah jamaah maksimal 60 ribu orang dengan rentang usia 18 hingga 65 tahun (cnnindonesia.com,13/06/2021).
Pertimbangan pembatasan jumlah jamaah haji konon untuk meredam persebaran virus Covid-19 dan munculnya virus mutasi baru. Melalui adanya pembatasan diharapkan dapat menjamin keamanan serta keselamatan jiwa para jamaah haji. Pemberian vaksinasi juga menjadi perhatian Pemerintah Arab Saudi. Beberapa jenis vaksin yang diterima dan disetujui untuk para jamaah haji hanya Pfizer, Astrazeneca, Moderna dan Johnson & Johnson (merdeka.com,13/06/2021). Melalui adanya gelaran ibadah haji ini telah mendatangkan pemasukan bagi Pemerintah Saudi. Jika sebelum terjadi pandemi pemasukan yang diperoleh Pemerintah Saudi melalui sektor haji dan umrah mencapaI SEKITAR USD 12 miliar per tahun.
Membahas seputar pembatalan ibadah haji ternyata bukanlah kali pertama pada tahun ini, Dalam sejarah pelaksanaan haji pernah terjadi beberapa kali pembatalan haji yang disebabkan beberapa faktor. Mengutip data The Saudi King Abdul Aziz Foundation forResearch and Archives, pembatalan haji pernah terjadi setidaknya 40 kali dalam sejarah peradaban manusia (suara.com,03/06/2020). Beberapa latar belakang dibatalkannya haji pada masa tersebut adalah karena adanya wabah penyakit, konflik, serta pertimbangan keamanan dari aksi kejahatan.
Pelaksanaan ibadah haji membutuhkan support system atau sistem pendukung. Pelaksanaan ini haruslah tegak pada asas haji sebagai bagian dari perintah Allah dan merupakan kewajiban atas kaum Muslimin. Melalui konsep ini akan terbentuk sistem yang memastikan seluruh aspek penyelenggaraan haji berjalan, dengan mengedepankan profesionalitas dan kemudahan dalam birokrasi. Perwujudan sistem penopang pelaksanaan haji hanya mungkin terwujud dengan adanya peran negara. Namun tentunya negara yang dimaksud disini haruslah menginternalisasi apa kepentingan mereka menyelengarakan haji. Disinilah kita butuh keberadaan cara pandang khas atau ideologi yang shahih.
Dalam pandangan ideologi kapitalisme dorongan terbesar dalam amal adalah teraihnya manfaat berupa materi. Bertolak dari sudut pandang ini kapitalisme menjadikan pertimbangan untung dan rugi sebagai asas pembuatan kebijakan. Seperi halnya pada perkara penanganan pandemi, kebijakan yang dilahirkan lebih condong pada upaya mengakomodir kepentingan korporasi di atas keselamatan masyarakat. Jika kita cermati, misal, pada konsep new normal atau memberlakukan aktivitas di luar rumah dengan kondisi pandemi masih masif melingkupi ruang hidup masyarakat.
Penanganan pandemi versi ideologi kapitalisme lebih mengedepankan urusan bisnis. Efektivitas dalam menuntaskan wabah Covid-19 sulit terwujud, bahkan persebarannya semakin luas. Ironisnya, mayoritas negeri Muslim saat ini turut mengadopsi konsep kebijakan ala kapitalisme. Negeri seperti Arab Saudi misalnya mengambil keputusan untuk membatasi jumlah jamaah haji karena mengikut pada arah kebijakan global. Alhasil syiar dan pelaksanaan kewajiban haji menjadi tidak optimal dengan adanya pembatasan kuota.
Berbeda halnya dengan ideologi islam yang menempatkan persoalan haji sebagai bagian kewajiban atas kaum Muslimin. Melalui cara pandang ini, negara mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki untuk memfasilitasi kemudahan berhaji bagi setiap Muslim. Bagaimana halnya ketika kondisi sedang terjad wabah? Negara berprinsip ideologi Islam akan serius menjalankan protokol kesehatan, memperhatikan pelaksanaan 3T, dan jika diperlukan akan memberlakukan vaksinasi guna melindungi jamaah dari peluang terpapar wabah. Tentu ini semua telah didahului oleh kesungguhan negara dalam memberantas wabah melalui mekanisme karantina atau lock down.
Berbicara pelaksanaan ibadah haji di masa pandemi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sistem kehidupan yang sedang diterapkan. Ibadah di dalam pandangan Islam ada perkara yang wajib tertunaikan dan negara berkontribusi besar dalam mewujudkannya. Pandemi tidak lantas membuat negara berpangku tangan dan akhirnya menjadi minimalis dalam menunaikan kewajiban atas rakyatnya. Inilah gambaran bagaimana negara berideologi memberikan perhatian yang sangat besar pada persoalan ibadah. Negara menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk memudahkan kaum Muslimin menunaikan kewajiban mereka dengan pelayanan yang terbaik.
Wallahua’lam bishawab.