Ketiadaan Peran Negara, Angka Putus Kuliah Saat Pandemi Meningkat Tajam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Fatih II

 

Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa dampak di sektor kesehatan. Tetapi juga di bidang ekonomi. Termasuk diantaranya banyaknya mahasiswa putus kuliah. Informasinya lebih dari setengah juta mahasiswa putus kuliah di masa pandemi Covid-19 ini. Informasi tersebut disampaikan Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidayah dalam peluncuran Zakat untuk Pendidikan di Jakarta secara virtual Senin (16/8). Mengutip data dari Kemendikbudristek, Sri mengatakan sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang.( Dikutip dari JawaPos.com).

Informasi lain menyebutkan bahwa krisis pandemi covid-19 menjadi penyebab naiknya angka putus kuliah dengan tajam. Hal ini terutama dapat dirasakan oleh mereka yang berada dalam kelas ekonomi menengah kebawah, karena dalam situasi wabah banyak orang tua mereka yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau kesulitan mencari penghidupan.

Tingginya angka putus kuliah ini tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi dipengaruhi oleh serangkaian kebijakan terkait pendidikan sejak awal terjadinya pandemi. Masih segar diingatan kita ketika awal terjadinya pandemi, Mendikbudristek bungkam menyikapi gelombang aksi protes mahasiswa menyangkut uang kuliah tunggal (UKT). Karena di masa pandemi mereka tetap harus membayar UKT full tanpa ada ada potongan sedikitpun. Tak berselang lama setelah itu pemerintah melaui Kemendikbud akhirnya memang memberi penjelasan bahwa:
1. UKT tak ada kenaikan
2. Majelis Rektor PTN sudah menyepakati 4 skema keringanan biaya perkuliahan
3. Mahasiswa yang orang tuanya terdampak akan diberi bantuan sebesar Rp. 400.000 melalui program Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Namun, upaya kebijakan tersebut dianggap masih belum memuaskan, apalagi sejalan dengan otonomi kampus, implementasi diserahkan kepada masing-masing institusi pendidikan. Padahal faktanya kondisi dan kesiapan setiap institusi kampus berbeda tingkatan.

Dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis neoliberal, hal seperti ini memang sangat niscaya terjadi. Kemurahan penguasa selalu disertai syarat dan ketentuan. Faktanya kita lihat, dalam segala hal penguasa selalu berhitung untung rugi. Karena mereka ada bukan untuk mengurus rakyatnya melainkan sebagai penjual jasa atau regulator saja. Jasa layanan publik merupakan sebagian kecil saja. Maka tak heran, jika layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. harus dibeli rakyat dengan harga yang mahal. Yang tak punya uang jangan harap bisa mendapatkan. Fakta ini menunjukkan ancaman kehilangan potensi intelektual generasi di depan mata.

Berbeda jauh dengan sistem Islam. Dalam Islam, pendidikan, kesehatan dan keamanan merupakan bagian dari ikhtiar
untuk membentuk manusia dan umat berkualitas purna sesuai dengan misi penciptaan. Sehingga salah satu hukum turunannya, Islam juga menetapkan ketiga hal tersebut merupakan hak seluruh rakyat yang wajib dipenuhi negara dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana hak dasar seperti sandang, pangan dan papan. Hal ini sejalan dengan ketetapan syariat bahwa fungsi negara atau penguasa adalah mengurus dan menjaga rakyatnya dan atas hal ini kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Dengan demikian sisi ruhiyah dalam sistem Islam begitu kental, dimana para penguasa akan merasa takut jika abai dalam memenuhi hak – hak rakyatnya. Karena mereka paham bahwa amanah kepemimpinan kelak bisa jadi penyesalan. Maka tak heran jika support negara dalam sistem pendidikan begitu maksimal. Termasuk dalam mewujudkan layanan pendidikan gratis dan berkelas bagi seluruh rakyatnya. Hingga terbukti sepanjang belasan abad pendidikan Islam bisa menjadi salah satu pilar peradaban cemerlang. Dalam prakteknya supporting system itu terwujud dalam penerapan Islam kaffah oleh institusi khilafah karena tak dipungkiri bahwa visi pendidikan Islam yang mulia tak mungkin terwujud kecuali ada dukungan sistem Islam yang lainnya seperti sistem pemerintahan Islam yang berbentuk khilafah yang menjadikan akidah dan syariah sebagai landasan dan tuntutan. Bukan sistem sekuler yang tak kenal halal haram, juga butuh sistem ekonomi yang kuat yang membuat negara khilafah memiliki sistem keuangan yang kuat yang digunakan untuk menopang kesejahteraan rakyatnya, termasuk menggratiskan semua layanan publik dengan layanan yang optimal bahkan memberi gaji dan fasilitas pendidik, jaminan fasilitas, dan uang saku pelajar, fasilitas maksimal untuk perpustakaan, support penuh untuk penelitian yang semuanya serba mencengangkan. Inilah khilafah yang akan mencetak pemuda penghasil peradaban Islam gemilang.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *