Keterlambatan PSBB, Bukti Tak Serius Tangani Covid-19

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khansa Mubshiratun Nisa (Mentor Kajian Remaja)

Kalimat pepatah “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” sepertinya telah melekat di benak kita sejak dahulu. Mungkin pepatah inilah yang diadopsi oleh pemerintah saat mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang ternyata dinilai terlambat oleh publik. Ya, tak apa terlambat daripada tidak mengeluarkan kebijakan sama sekali terkait wabah Covid-19 ini. Begitu kiranya.

Terkait hal itu, ahli Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI), dr. Pandu Riono mengatakan, jika PSBB diterapkan sejak satu bulan lalu saat virus Covid-19 ini muncul di Indonesia, mungkin pada bulan Mei 2020 pandemi virus Corona ini bisa mereda. (prfmnews.pikiran-rakyat.com, 10/04/2020)

Sebelum memutuskan untuk melakukan PSBB, pemerintah telah mempertimbangkan untuk melakukan darurat sipil terlebih dahulu. Namun rencana darurat sipil ini menuai kritikan dari masyarakat, terutama warganet di media sosial Twitter. Hal ini terlihat dari memuncaknya tagar #TolakDaruratSipil pada 30 Maret 2020. Warganet malah menyeru pemerintah untuk memberlakukan lockdown atau karantina wilayah dalam menghadapi pandemi ini.

Selain itu, pemerintah pun telah mengimbau masyarakat untuk tetap diam di rumah, social distancing hingga physical distancing. Namun hasilnya, langkah-langkah tersebut tidak menghentikan penyebaran Covid-19, malah korban terus meningkat. Pada akhirnya beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) mengambil inisiatif sendiri untuk me-lockdown wilayahnya masing-masing. Ini seharusnya semakin membuka pintu hati dan pikiran kita bahwa ternyata pemerintah terlihat lalai dalam menangani wabah ini, sampai-sampai Pemda malah bertindak sendiri untuk mengatasi wabah di wilayahnya.

Setelah berbagai macam langkah, seruan dan himbauan yang dikeluarkan, akhirnya pemerintah menetapkan kebijakan PSBB. Inipun belum merata diterapkan di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan timbulnya pertanyaan di tengah masyarakat. Mengapa pemerintah seperti tidak serius menangani pandemi ini? Mengapa pemerintah lamban? Padahal korban terus bertambah hingga saat ini.

Ternyata, ada pertimbangan lain yang membuat pemerintah ragu-ragu dan terkesan lamban dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi wabah ini. Apakah itu? Jawabannya adalah ekonomi. Ya, bila negara memberlakukan lockdown, maka semua masyarakat benar-benar diam di rumah karena seluruh aktivitas diberhentikan bak negara mati. Maka dari itu negaralah yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, terutama kebutuhan pangan.

Inilah yang menyebabkan Indonesia tidak berani mengambil langkah lockdown karena tidak adanya dana untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh rakyatnya. Hal ini disebabkan karena salah kelolanya kekayaan melimpah di negeri ini yang malah dijual ke korporat lokal maupun asing.

Begitulah khas dari kapitalisme yang memandang siapa pun bisa menguasai sumber daya alam sekalipun asalkan memiliki modal. Selain itu, kapitalisme juga memandang bahwa ketika negara berhadapan dengan kepengurusan rakyat, maka dilihat untung rugi yang akan didapat. Sementara pelayanan dan support kepada korporat demikian serius. Terlihat ketika Covid-19 merajalela, pemerintah malah lebih memilih untuk meneruskan proyek IKN (Ibu Kota Negara) baru yang notabene investornya dari asing dan aseng. (Lihat inews.id, 29/02/2020)

Akhirnya, jalan keluar dari kebingungan ini adalah dengan menerapkan PSBB yang inti dari isinya yaitu, ada pekerjaan khusus yang boleh tetap beroperasi, kendaraan transportasi pun masih boleh beroperasi namun dengan syarat-syarat yang harus ditaati, sebagian aktivitas yang masih boleh dilakukan asalkan menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain, dan hal-hal lain terkait PSBB ini. Dengan begitu, negara tak perlu menjamin kebutuhan hidup rakyatnya secara menyeluruh. Paling tidak hanya bantuan-bantuan saja yang bisa negara lakukan.

Ini semua tentu sangat berbanding terbalik dengan Islam. Rasullullah saw. telah memberikan contoh pada kita semua bilamana terjadi wabah di suatu wilayah. Beliau bersabda:

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Jauh-jauh hari Islam telah memiliki metode karantina wilayah sendiri. Hal inipun telah dipraktikkan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada saat terjadi sebuah wabah menular di masa kepemimpinannya. Wabah tersebut bernama Thaun. Sejarah mencatat saat seseorang terkena wabah di pagi hari, maka sorenya meninggal. Bila terkena di sore hari, maka paginya meninggal.

Begitu gambaran korban yang terkena wabah thaun.
Umar sebagai pemimpin tentu tidak tinggal diam melihat ini terjadi dimasa kepemimpinannya. Maka dengan sigap Khalifah Umar menunjuk Amr bin Ash (kala itu terkenal sahabat yang cerdas) untuk mencari solusinya. Amr melihat wabah ini seperti api yang berkobar.

Selama masih ada kayu bakar maka akan terus menyala. Akhirnya Amr memerintahkan kepada masyarakat untuk membentengi diri dari penyakit tersebut dengan tidak mengadakan kerumunan dan pergi mengasingkan diri. Pada saat itu ada yang lari ke gunung-gunung, lembah, gua dan tempat-tempat lain. Kebijakan itu terus diberlakukan hingga sejarah mencatat wabah tersebut hilang dalam hitungan jam. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bertindak. Bila tak bisa mengatasi sendiri, maka tunjuklah seseorang yang ahli dalam bidang tersebut. Selain itu, kebijakan karantina wilayah tersebut di support dengan pemenuhan kebutuhan pangan pokok umat sepenuhnya oleh negara
Inilah gambaran ketika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bernegara. Sang Khalifah akan dengan sigapnya mengambil tindakan untuk mencari jalan keluar setiap permasalahan karena itu merupakan kewajibannya sebagai pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas sesuatu yang dipimpinnya itu. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah saw.:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin rakyat, maka dia akan diminta pertanggung jawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi saat ini. Pemerintah yang lamban dan banyak mempertimbangkan hal-hal lain selain keselamatan rakyatnya. Padahal rakyat adalah prioritas nomor satu yang wajib diperhatikan dalam mengemban amanah kepemimpinan negara.

Maka sudah sepatutnya kita kembali pada aturan Islam di semua aspek kehidupan. Semua itu hanya akan terwujud bilamana Islam dijadikan institusi dalam bernegara.
Wallaahu a’lam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *