Kesepakatan yang Membawa Kesengsaraan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Darni Salamah  (Aktivis Muslimah Sukabumi)

 

Indonesia menjadi salah satu negara tujuan  di Asia Tenggara dalam rangkaian kunjungan Menlu AS Mike Pampeo pada 25-30 Oktober lalu. Kunjungan pejabat AS dilakukan di tengah perang dingin antara AS dan China yang kian memanas. AS dalam berbagai kesempatan, gencar melakukan serangan terhadap China, dengan menyalahkan China atas pandemi Covid-19 yang sudah melampaui 44 juta kasus.

Kedatangan pejabat AS ke Indonesia jelas bukan tanpa maksud, tak hanya bertujuan untuk memperkokoh hubungan bilateral. Secara substantif AS pun meminta dukungan Indonesia untuk berada dipihaknya dalam ketegangan Laut China Selatan dan perang dagang AS-China. Disaat  yang sama China juga menempatkan Indonesia berada di pihaknya. Selain soal isu Hankam, isu sospol memanfaatkan kelompok umat untuk kepentingan AS juga membonceng dalam kunjungan ini. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi AS ke Indonesia sebesar 279 juta dolar AS pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek besar pada sektor-sektor yang industri.

Meski kedatangan Menlu AS dengan tujuan mengharmonisasi bilateral dengan Indonesia, tentu hal tersebut akan berpengaruh pada sistem kedaulatan negara. (nasional.okezone.com/read/2020/10/29)

Menlu AS mendatangi kelompok ormas Islam jelas mengarah pada bagian umat untuk bangga pada pandangan sesatnya tentang moderasi Islam. Sejauh ini negara adidaya adalah negara terkuat yang mendukung penjajahan Israel secara nyata. Bukankah sebuah inkonsisten jika negara adidaya itu menjalin hubungan dengan umat Islam.

Menegangnya hubungan AS-China yang melibatkan Indonesia ditengah konfliknya menjadikan Indonesia sebagai tameng di antara dua negara yang sedang berkecamuk.

Dikutip dari  galamedia.pikiran-rakyat.com, tawaran pangkalan di Natuna oleh AS menjadi bukti bahwa tak menutup kemungkinan lagi dan lagi menancapkan asset di Indonesia yang menguntungkan AS itu sendiri.

Indonesia sebagai bilad islamiyah (mayoritas Islam), seharusnya negara berprinsip terhadap kedaulatan negeri dengan tidak melakukan kerja sama dengan negara-negara penjajah Islam. Satu persatu negara-negara Arab bahkan  telah jatuh dalam cengkraman adidaya, penjajahan Islam jelas dirasa, terlebih pada penjajahan ideologi. Bukankah ini sebuah ancaman bagi negara?

Sudah seharusnya negara muslim berprinsip tidak melakukan urusan sosial politik dengan negara-negara penjajah muslim.

Abdurrahman Maliki dalam kitab Politik Ekonomi Islam, mengemukakan sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkan juga jalan untuk menjajah suatu negara.

Di dalam sistem Islam ketika ingin melakukan kerjasama dengan investor selain kafir harbi fi’lan. Artinya negara hanya membolehkan kepada investor yang tidak memerangi Islam yaitu dengan memperhatikan beberapa poin

1) Investasi tidak pada sektor strategis,

2) tidak membahayakan umat, yakni bukan bidang yang vital bagi kehidupan umat,

3) Barang yang dikelola dan diproduksi merupakan barang halal,

4) Tidak mengelola kepemilikan umum negara Islam.

Itulah prinsip pengelolaan dan tata cara bermuamalah dengan negara kafir.

Hal ini sangat diperhatikan agar tidak membawa kesengsaraan bagi umat. Bahkan Al-quran jauh-jauh hari memperingatkan dalam QS Ali Imran: 28.

“Oleh karenanya, hentikan kerjasama dengan negara adidaya kembali ke sistem azza wazalla.”

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *