Kesepakatan RI-AS: Ancaman Kedaulatan dan Perpecahan Umat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Lili Suryani (Aktivis Dakwah Lubuklingau)

 

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk investasi di Kepulauan Natuna. Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo saat berkunjung ke Indonesia.

“Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Natuna,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis 29 Oktober 2020 lalu.

Seperti diketahui, kapal patroli Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China  kerap mengganggu Indonesia dengan memasuki zona maritim NKRI di Kepulauan Natuna. Aparat militer Indonesia tak bisa berbuat banyak karena Beijing menyatakan wilayah tersebut masuk dalam zona bebas terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line).

Kapal penjaga Indonesia hanya bisa berupaya mengusir mereka. Sepertinya Pemerintah Indonesia ingin menuntaskan masalah tersebut tanpa harus berkonflik langsung dengan Beijing.

AS memang merupakan salah satu investor utama Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi AS ke Indonesia sebesar 279 juta dola AS pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek. Dengan jumlah tersebut, AS menempati posisi ke-7 negara dengan investasi terbesar.

Kepulauan Natuna tengah terancam dampak dari konflik Laut China Selatan (LCS). Konflik memanas usai China mengklaim sepihak 90 persen dari perairan LCS.

Terkait hal tersebut, Retno mengatakan menolak berbagai klaim maritim di wilayah perairan tersebut. Ia mengatakan konvensi PBB tentang hukum laut atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan acuan hukum yang harus diterapkan dan dihormati semua negara.

Sikap tersebut sejalan dengan upaya AS menentang klaim China tersebut. Bahkan, kedua negara telah sepakat bekerja sama untuk melindungi ketahanan LCS.

“Oleh karena itu, klaim apa pun harus didasarkan tentang prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal termasuk UNCLOS 1982,” tegasnya.

Selain mengundang investasi AS ke Natuna, Retno juga menyinggung pemberian perpanjangan fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Ia mengatakan pemberian fasilitas tersebut dapat memperkuat rantai pasokan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.

“Berkaitan dengan hal tersebut, saya kembali menggarisbawahi pentingnya fasilitas GSP, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi Indonesia tapi juga bagi bisnis AS,” ucapnya.

GSP adalah sebagai fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang. Selama ini, Indonesia mendapatkan keringanan tersebut dari AS. Namun, awal tahun lalu AS sudah mencoret RI dari daftar negara berkembang. Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil tinjauan ulang yang dilakukan pemerintah AS melalui United States Representative (USTR) terkait pemberian fasilitas GSP(Galamedianews.com).

Dalam sudut pandang Islam hubungan kerja sama dengan negara non-Muslim dilakukan dengan perjanjian (mu’ahid). Arah kebijakan kerja sama ditentukan oleh butir-butir perjanjian antarkedua belah pihak. Perjanjian dijalankan berdasarkan pemenuhan hak dan kewajiban. Semua hak dan kewajiban non-Muslim yang telah dijabarkan dalam perjanjian akan dihormati dan dijaga sepenuhnya. Soal, perlindungan misalnya.

Pada dasarnya kegiatan kerja sama antar Negara merupakan sebuah kegiatan yang dianjurkan di dalam islam. Karena, sebagian ulama menganggap kegiatan ini adalah wajib sebagian pula menganggapnya sunah.

Dalam islam, hubungan kerjasama politik luar negeri yang dilakukan oleh seseorang maupun suatu lembaga atau negara wajib hukumnya terikat kepada syariat islam.

Oleh karena itu, seseorang yang ingin terlibat dalam kegiatan investasi seperti halnya indonesia saat ini yang telah mengundang investor asing haruslah memahami terlebih dahulu hukum-hukum syariat dengan seksama, bukan hanya memahami ilmu kerjasama pilitik luar negeri secara kacamata kapitalisme saja. Dengan begitu maka, indonesia akan terhindar dari kegiatan kerjasama yang haram apalagi harus kehilangan kekayaan alam indonesia secara perlahan efek dari gagal faham akan pemahaman investasi yang sesungguhnya.

Sebagaimana yang ditulis oleh Al-Kattani, beberapa khalifah dan ulama salaf telah mengingatkan agar pelaku bisnis memahami ilmu agama sebelum terjun dalam bisnisnya. Diriwayatkan bahwa khalifah Umar bin khattab ra. Pernah berkeliling ke pasar dan memukul sebagian pedagang yang tidak memahami syariat dan berkata, ” Janganlah berjualan dipasar kami, kecuali orang yang telah memahami agama. Jika tidak, maka ia akan memakan riba, sadar atau tidak”.

Maka dari itu, selayaknya pemerintah bertanggung jawab atas investasi yang dilakukan oleh negara yang ia pimpin agar dapat berjalan sesuai koridor islam, selain menerapkan aturan islam secara kaffah, termasuk dalam hal investasi ia juga harus mengawasi pelaksanaannya. Seperti halnya Nabi muhammad Saw dan para khalifah telah mencontohkan sebagaimana mereka. Misalnya, mengawasi kegiatan perdagangan dipasar .

Pemerintah juga harus mengelola harta milik umum dan milik negara secara optimal dan penuh amanat,  sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi rakyat.

Akan tetapi faktanya dalam sistem kapitalisme, penerapan hukum-hukum islam mengenai investasi, baik itu secara individual maupun secara negara ataupun korporasi sangatlah sulit untuk diterapkan secara sempurna. Hal ini disebabkan secara individual masyarakat banyak tak memahami hukum-hukum syariat dalam berinvestasi dengan benar bahkan buta sama sekali.

Sementara itu pemerintahnya pun pada dasarnya menganut ideologi kapitalisme bukan ideologi islam. Sehingga memberikan kebebasan dalam berinvestasi kepada pihak asing dan aseng tanpa memperdulikan kesesuaian pelaksanaannya pada hukum islam.

Akibatnya, pelanggaran syariat islam merajalela. Kebijakan pemerintah yang mengizinkan investor asing untuk berinvestasi secara bebas juga telah menimbulkan mudorat bagi negara indonesia dan masyarakatnya saat ini secara luas.

Maka dari itu, untuk mewujudkan investasi secara islami dan paripurna hanya dapat dilaksanakan jika negara ini menerapkan risalah islam secara kaffah di dalam bingkai khilafah islamiyah.

Wallahua’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *