Oleh: Ifa Mufida (Pemerhati Masalah Sosial)
Publik Indonesia kembali dikejutkan munculnya sejumlah “kerajaan” baru. Ada Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Sunda Empire-Earth Empire (SE-EE) di Bandung, hingga Kesultanan Selacau Patrakusumah di Tasikmalaya.
Dengan memakai kostum ala raja-raja zaman dahulu beserta selir dan pasukannya, dengan penuh percaya diri mereka mendeklarasikan ajaran mereka dihadapan publik. Anehnya, tidak sedikit masyarakat yang terpengaruh dan mengikuti ajaran ini. Mereka tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan belaka.
Kasus yang demikian bukanlah kali pertama terjadi. Sebelumnya pernah ada ajaran yang ketuanya mengaku nabi hingga ada yang menyebut kerajaan ubur-ubur. Bagi masyarakat yang bisa berpikir jernih pasti aneh mendengar istilah ini. Namun faktanya kondisi saat ini tak sedikit manusia yang kehilangan akal sehatnya.
Di dunia, data pengidap gangguan jiwa makin meningkat tiap tahun. Diperkirakan sekitar 300 juta orang mengidap depresi di seluruh dunia. Bahkan, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia yang diakibatkan oleh depresi.
Untuk Indonesia sendiri, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr Eka Viora, SpKJ, mengatakan untuk di Indonesia terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi. Sayangnya hanya 8 persen yang mencari pengobatan ke profesional (detikHealth.com).
Melihat kondisi ini bukanlah kasuistik per individu, maka layak jika ini dikatakan sebagai stress atau depresi sosial. Depresi sosial ini pun sejatinya tidak mungkin terjadi tanpa ada etiologi. Sebagaimana penyakit yang lain juga dipastikan ada faktor penyebab terjadinya penyakit tersebut. Begitu juga tidak ada asap jika tidak ada api.
Untuk beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, nampaknya mereka berkhayal tinggal di sebuah kerajaan dengan sebuah kesejahteraan. Dipimpin oleh pemimpin yang adil dan mendapatkan pengurusan yang memadai. Meski itu adalah khayalan namun bisa jadi mereka sangat menikmati berada di dalamnya. Kondisi yang berbeda dengan fakta yang ada di masyarakat, bahkan di negeri ini.
Masyarakat saat ini dibebani dengan pungutan dan iuran yang mencekik. Melambungnya biaya hidup sejak awal 2020 ini, mulai dari BPJS, tarif listrik, tol cukup menambah beban rakyat. Terlebih pemerintah memastikan bahwa satu per satu subsidi akan dicabut tahun ini.
Di sisi lain, kasus bancakan dana rakyat semakin merajalela. Kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda, Pelindo, dll, cukup membuat rakyat terperangah. Terlebih sistem peradilan hanya tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Mengkritik penguasa justru berbuah pidana. Seolah kebebasan bersuara rakyat berada dalam penjara.
Sejumlah kepala daerah pun tertangkap akibat korupsi. Terheboh adalah terungkapnya salah satu komisioner KPU selaku lembaga yang kredibilitasnya harusnya berada di pihak rakyat. Semua ini benar-benar membuat masyarakat jengah.
Jangan heran jika mungkin sebagian orang jadi lebih cenderung percaya dengan para pendiri kerajaan baru tersebut. Yang mana bagi pengikutnya, iming-iming harapan baru dari para pendiri kerajaan itu dirasa lebih “realistis” bagi mereka. Kendati pada akhirnya tindakan kerajaan baru itu berujung pidana. Pantas memang mereka berlaku tanpa dasar. Yang jelas bisa jadi hal tersebut adalah sebagai bentuk “denial” atas kondisi kenyataan yang ada.
Kalau di Indonesia marak dengan kerajaan-kerajaan, di Korea ada yang disebut “Don’t Worry Village”. Sebuah program yang dibuat oleh pengusaha muda Dongwoo karena melihat angka depresi di negeri ginseng yang sangat tinggi. Inovasi ini dibuat untuk mereka yang lelah dengan kehidupan kota besar yang begitu padat dan persaingan yang ketat. Dikatakan, kebanyakan masyarakat Korea yang menderita depresi disebabkan mereka tak mampu berbagai permasalahan yang mereka hadapi, ditambah tekanan lingkungan sekitar.
Nampaknya memang kondisi stress sosial menjadi salah satu ancaman dan tantangan yang harus tersolusikan. Tak bisa dipungkiri, rakyat benar-benar rindu sistem di mana para penguasanya bekerja keras untuk memikirkan urusan rakyatnya. Rakyat rindu dengan penguasa yang peka terhadap penderitaan mereka. Pemimpin yang secara riil bekerja untuk rakyat bukan sekedar pencitraan. Apalagi suara mereka hanya diperah saat tahun politik, namun setelah penguasa terpilih rakyat dilupakan. Habis manis sepah dibuang.
Namun yang pasti, rakyat butuh terapi. Agar tidak terus muncul depresi sosial yang menjangkiti. Mereka membutuhkan obat untuk mengobati jiwa-jiwa yang terluka. Obat jiwa-jiwa tadi bukanlah dari sebuah khayalan tetapi seharusnya berasal dari wahyu semata. Maka landasan terapi yang sesungguhnya adalah mengembalikan kepada tata aturan Sang pemilik jiwa. Depresi sosial yang sangat tinggi sejatinya buah kehidupan kapitalisme-sekuler yang nyata menyengsarakan dan menjadi stressor yang tinggi. Sistem yang layak ditinggalkan dan diganti dengan sistem yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Wallahu A’lam bi Showab.