Kepentingan Menarik Cuan Dibalik Sertifikasi Halal

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Ummu Fatih

 

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama meresmikan label halal Indonesia yang baru. Label itu akan menggantikan label halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang lama secara bertahap. Dalam akun Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, disebutkan jika penetapan label halal tersebut dituangkan dalam keputusan BPJPH. “Penetapan label halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal,” kata Menag seperti yang dikutip dari akun Instagram pribadinya @gusyaqut, Minggu (13/3/2022).

Setelah logo label halal tersebut diluncurkan, beragam respons muncul dari masyarakat. Salah satunya yang menilai logo tersebut baru sulit dibaca dan dipahami. Masyarakat kadung akrab dengan dengan label halal bundar dengan tulisan “Majelis Ulama Indonesia” dan di tengahnya disertai kaligrafi berbahasa Arab. (kumparan.com, 12/03/2022)

Selain itu kritik pun muncul karena kebijakan ini dianggap tidak relevan dengan permasalahan. Terlepas dari aturan sertifikasi, konsumsi sesuatu yang halal adalah wajib bagi seorang muslim. Halal juga meliputi cara dan proses sebelum mengkonsumsi suatu materi, serta berbagai aspek dalam kehidupan seseorang yang beragama Islam. Jaminan halal tentu bukan hanya adanya cap halal. Akan tetapi, juga tentang pengurusan dan perlindungan kepentingan umat Islam oleh pemerintah. Dimana umat Islam merupakan mayoritas yang jumlahnya sekitar 87%.

Bukan hanya logo, otoritas sertifikasi produk halal juga beralih dari MUI kepada BPJPH di bawah Kemenag berdasar UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Sejak itu, perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH. Ditambah ketika UU Omnibus Law atau UU Ciptaker disahkan pada 5/10/2020, UU JPH pun mengalami perubahan signifikan. UU JPH dimasukkan dalam klaster Permudahan Perizinan Usaha. Salah satu perubahan UU JPH dalam UU Ciptaker ini adalah adanya pelibatan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) lain selain MUI dalam penetapan fatwa halal yang menjadi dasar sertifikasi oleh BPJPH. LPH ini bisa dibentuk dari ormas berbadan hukum, perguruan tinggi, dan atau lembaga lain yang diakreditasi oleh MUI.

Ketetapan lainnya adalah soal penghapusan syarat bagi auditor. Adapun yang dihapus adalah persyaratan tentang keharusan mendapat sertifikat dati MUI. Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk. (timesindonesia.co.id, 8/10/2020 ). Tentu hal ini akan membuka ruang yang lebih lebar bagi siapa pun untuk menjadi seorang auditor halal, asal mengikuti pelatihan. UU Ciptaker juga memangkas jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal menjadi maksimal satu hari kerja terhitung sejak Fatwa kehalalan produk. Sementara untuk Fatwa MUI diberikan waktu tiga hari untuk menentukan halal atau haram dari produk tersebut. Jika tidak ada ketetapan dalam tiga hari, BPJH akan menerbitkan sertifikat halal. (ruangguru.com, 11/05/2021) .Pemohon dalam hal ini cukup melengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.

Diketahui pada pasal 4A ayat 1 dan 2 UU Omnibus Law, dinyatakan pelaku usaha mikro kecil wajib untuk bersertifikasi halal. Berdasarkan pernyataan tersebut pelaku usaha boleh mendeklarasikan sendiri bahwa produknya halal (self declare) . Sungguh sebuah kebahayaan ketika Undang-Undang Omnibus Law menetapkan regulasi tentang self declare Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hal ini memungkinkan peluang banyaknya produsen melakukan deklarasi mandiri bahwa produknya halal tanpa melakukan sertifikasi melalui lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau auditor halal lainnya. Maka suatu produk akan semakin tidak jelas kehalalannya, walaupun terdapat label halal. (arrahma.id,2/11/2020)

Dari semua catatan ini, tampak jelas bahwa spirit sertifikasi halal ala UU Ciptaker bukan semata demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar iman. Bukan pula demi mengakomodasi kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merebut ceruk pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi target menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global.

Terlebih, saat ini pemerintah sedang mendorong pertumbuhan UMKM yang 99 persennya disebut-sebut telah memberikan kontribusi utama dalam struktur ekonomi Indonesia. Begitu pun dengan sektor pariwisata yang juga disebut-sebut sebagai primadona pembangunan ekonomi Indonesia. Semuanya berkelindan dengan segala bentuk produk halal, mulai dari makanan, fesyen, farmasi, dan kosmetika. Pun saat ini pemerintah tengah menyiapkan Kawasan Industri Halal (KIH) sebagai salah satu upaya untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia. (arrahma.id,2/11/2020)

Wajar jika banyak pihak yang berminat mengajukan diri untuk terlibat dalam industri baru bernama sertifikasi halal. Termasuk berebut proyek meraup uang dengan menjadi salah satu lembaga pemeriksa halal atau auditor halal.

Sebuah hal yang lumrah dalam sistem kapitalis sekuler ketika urusan agama dinafikan dan peran ulama ditiadakan. Segala sesuatu dibisniskan untuk meraup untung yang besar, walhasil pihak korporasi selalu menjadi pihak yang diuntungkan sementara rakyat terus dikorbankan. Maka tak heran regulasi yang dihasilkan dari sistem ini hanya mengejar keuntungan semata. Atas nama kemudahan investasi sangat mudah mengorbankan standar halal sesuai syariat Islam sehingga urusan halal pun cukup dinyatakan mandiri bahkan tidak lagi melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam Islam, persoalan halal-haram bukan perkara main-main karena menyangkut barang yang dikonsumsi ratusan juta muslim di negeri ini. Untuk merealisasikan perkara penting ini diperlukan sinergi anatar individu, masyarakat dan negara. Sebagai seorang muslim, individu muslim harus mempunyai kesadaran akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Sertifikasi halal tak bermanfaat jika umat Islam sendiri tidak peduli dengan kehalalan produk yang dikonsumsi.

Selain itu dibutuhkan juga partisipasi masyarakat untuk mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar. Kemudian partisipasi negera yang harus mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan barang. Karena merupakan hajat publik yang vital maka negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram juga dikenai sanksi sesuai nash syariat.

Di samping itu, proses sertifikasi kehalalan wajib dilakukan secara cuma-cuma, bukan dijadikan ajang bisnis. Negara wajib melindungi kepentingan rakyat dan tidak boleh mengambil pungutan dalam melayani masyarakat.

Islam telah menjadikan perhatian utama kebijakan adalah kesesuaian dengan syariat dan berikutnya kemaslahatan umum. Sebab Islam diturunkan kepada manusia untuk menyebarkan Rahmat ke seluruh alam, garansi kemaslahatan penerapan Islam langsung dari Allah Rabb semesta alam.  Maka harus yakin hanya hukum Allah saja yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan. Sementara hukum buatan manusia sarat kepentingan yang saling bertentangan. Karenanya sudah selayaknya manusia mengambil hukum Allah semata dalam segala urusan. Allah Swt. berfirman :

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al-Maidah: 50).

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *