Kenaikan Harga Berulang secara Rutin, Kemana Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: S. Maftukhah, SE. (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

 

Kenaikan harga bahan pangan seolah menjadi tradisi menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, tahun baru dan beberapa kondisi lainnya. Seolah ‘wajib’ bagi si harga beberapa bahan pangan ini menjulang tinggi.

Menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengatakan, hari-hari saat ini ritmenya memang merangkak naik dengan persentase yang berbeda untuk setiap bahan pokok yang dijual.

“Beberapa komoditas ada yang (naik) sampai 50%. Daging ayam naik dari Rp 39.000,- ke Rp 45.000,-. Itu yang terlihat sangat mencolok (kenaikannya),” katanya kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Minggu (11/4/2021).
Termasuk harga minyak goreng, daging sapi dan telur ayam juga mengalami kenaikan.

Masih menurut Abdullah, kenaikan ini karena supply dan demand. Kenaikan hampir pasti terjadi di 10 tahun terakhir. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20210411144243-4-236933/buibu-jangan-kaget-jelang-ramadan-harga-bahan-pokok-meroket)

Negeri yang kaya dan harusnya mampu menyediakan bahan pangan yang cukup untuk rakyatnya ini ternyata tak mampu memberikan jaminan kepada rakyat untuk bisa mengakses pangan ini dengan harga yang bisa dijangkau.

Memang secara stok/persediaan, stok pangan menjelang Ramadhan masih aman/cukup. Sebagaimana disampaikan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebagai penjaga gawang soal stok bahan pangan, yang menjamin bahan pokok itu cukup dan harga pun terkendali menjelang Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini.

“Kalau ada kenaikan di sana-sini itu sporadis, tetapi kami pastikan bahwa stok ada, stok terjamin dan kita akan melihat penurunan harga. Baik antara hari ini sampai puasa, dan mudah-mudahan juga akan terjaga selama Idul Fitri,” katanya, Senin (15/3/2021). (https://indonesia.go.id/kategori/feature/2612/stok-pangan-jelang-ramadan-dijamin-aman)

Inilah yang terus akan berulang, selama negeri ini menganut sistem Kapitalis (Kapitalisme) dalam mengatur ekonominya. Dalam Kapitalisme, yang menjadi fokus adalah ketersediaan alat pemuas -dalam hal ini adalah bahan pangan- dan cenderung mengabaikan distribusi dan keterjangkauan harga bagi seluruh rakyat. Negara akan melepas harga bahan pangan pada pasar. Artinya, tergantung pada hukum permintaan dan penawaran.

Meski stok pangan melimpah, namun jika sistem distribusi tak baik maka rakyat juga tak akan bisa atau sulit menikmatinya/mengaksesnya.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, yang sangat memperhatikan terjaminnya rakyat mendapat kebutuhannya dengan harga terjangkau. Memang negara tak akan mengintervensi harga di pasaran, namun negara akan memastikan bahwa distribusi bahan pangan akan merata dan rakyat mampu untuk membelinya. Penguasa akan berusaha menjalankan tanggung jawabnya sebagai pihak yang harus mengurusi urusan rakyatnya. Tidak mendudukkan dirinya sebagai regulator semata.
“Seorang imam adalah raa’in pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ada beberapa mekanisme yang dilakukan oleh negara, seperti membuka lapangan kerja seluas-luasnya sehingga para wali memperoleh pendapatan sehingga bisa membeli bahan pangan.
Negara juga akan melarang penimbunan terhadap bahan pokok yang dibutuhkan rakyatnya. Termasuk melarang adanya permainan dalam distribusi bahan pokok tersebut. Seperti adanya tengkulak yang mempermainkan harga di pasaran.

Itulah beberapa langkah yang akan diambil oleh penguasa dalam sistem Islam untuk memastikan bahwa rakyat akan mendapatkan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasarnya dengan harga yang terjangkau atau wajar. Wallahu a’lam bishawab[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *