Oleh: Saptaningtyas BFA
Dikutip dari Republika.co.id (18/06), Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman mengatakan, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020, akan menjadi fondasi penting untuk pemilihan umum di masa mendatang. Pelaksanaan pemilu di 270 daerah di tengah pandemik covid-19 ini akan menjadi pelajaran bagi generasi mendatang.
Jika pilkada kali ini berjalan baik dan sukses, berarti telah diwariskan sebuah sistem penyelenggaraan pesta demokrasi dengan berbagai kondisi, termasuk jika situasi bencana non-alam kembali berulang. Tapi kalau pilkada kali ini tidak baik, bahkan mungkin banyak problem, maka generasi yang akan datang dapat mengambil pelajaran untuk mencari referensi dan penyesuaian dalam menghadapi situasi yang sama seperti ini.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya. Apakah hal ini dapat bermakna, bahwa Pilkada tahun ini ajang uji coba? Pilkada tetap digelar di tengah ancaman gelombamg kedua wabah corona, risikonya tentu amat besar. Bukan hanya konsekuensi dana yang menggelembung dengan adanya kebutuhan alat proteksi penyebaran virus. Tapi yang lebih berbahaya adalah potensi penyebaran virus lebih masif, kian banyak rakyat terjangkit. Padahal, obat ampuhnya belum ditemukan. Apakah nyawa rakyat sedang diujicobakan? Betapa mengerikan.
Dengan demikian, benarkah bila dikatakan bahwa pelaksanaan pemilu di tengah pandemi sebagai fondasi bagi pemilu di masa mendatang? Tidakkah selayaknya sebuah fondasi ialah sasuatu yang kokoh, atau di atas landasan yang kokoh?
Memaksakan pemilu di tengah pandemi sejatinya justru menunjukkan kerapuhannya. Pemilu pada kondisi ini seakan menegaskan, bahwa demokrasi akan mati bila pestanya ditunda atau ditiadakan. Alasannya, akan terjadi kekosongan pemimpin bila tidak Pilkada.
Bila ditilik kembali, Pemilu tahun ini sejatinya tidak dapat dijadikan sebagai fondasi. Karena telah berpijak pada asas yang rapuh, yakni demokrasi. Demokrasi dengan semboyan “Suara rakyat suara Tuhan”, telah meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, penetapan peraturan hidup berbangsa dan bernegara berasal dari rakyat, yang diwakili oleh wakil rakyat.
Hal ini kemudin membuka peluang adanya pertarungan kepentingan di antara wakil rakyat. Tak sedikit politik transaksional terjadi. Transaksi yang membutuhkan modal besar, tak jarang membuat para elit kekuasaan tersebut berkolaborasi dengan para pemilik modal. Akibatnya, demokrasi pada akhirnya mengarah pada korporatokrasi.
Tarik-menarik kepentingan ini kemudian menjadikan politik sebagai praktik perebutan kekuasaan. Dan pemilu sebagai arenanya. Karena itu, berikutnya dibuatlah aturan-aturan agar pemilu harus dilakukan secara periodik dengan batasan waktu tertentu. Hingga perebutan kekuasaan tidak terlalu mencolok. Namun, tak ada ubahnya. Sebab hal itu hanya beralih pada pergiliran kekuasaan.
Inilah yang memaksa pemilu tetap digelar meski di tengah pandemi. Walau nyawa rakyat dipertaruhkan dalam menghadapi ancaman gelombang kedua. Sebab pemilu telah dianggap menjadi napas demokrasi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tak tepat menjadikan pemilu di tengah pandemi sebagai fondasi.
Fondasi yang kokoh harus berpijak pada landasan yang kuat, tidak terombang-ambing oleh tarik-menarik kepentingan. Pijakan itu ada pada sistem Islam.
Sistem Islam bersandar pada akidah Islam yang mengharuskan segala sesuatu terikat pada hukum Allah. Tak terkecuali pada penyelenggaraan pemerintahan dan pemilihan umum. Dengan berdasar pada aturan Islam yang jelas dan terperinci, pemilu tidak akan di warnai dengan praktik-praktik kotor, khasnya sistem demokrasi.
Pemilu dalam Islam tidak akan memaksakan kehendak. Apabila kondisi tidak memungkinkan, tentunya tidak akan dilakukan pergantian kepemimpinan. Tidak ada pergiliran kekuasaan sebab pemilu tidak dipaksakan secara periodik. Masa jabatan kholifah (kepala Negara Islam) tidak dibatasi wajib sekian tahun atau sekian periode. Melainkan, pemilihannya dilakukan oleh dan dalam tanggung jawab kholifah.
Kholifah memilih kepala daerah (wali dan amil) dengan berlandaskan pada perintah Allah, atas landasan akidah Islam. Sebagai amanat atas tanggung jawabnya mengurusi urusan rakyat.Karena itu, terpenuhinya perintah Allah dan hak-hak rakyat menjadi alasan pemilihan pemimpin dalam Islam. Inilah sejatinya fondasi yang kokoh bagi pelaksanaan Pilkada.
Rasulullah saw. bersabda,
“Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Dengan demikian, di era pandemi seperti saat ini, keselamatan dan kesehatan rakyat tentu menjadi hal yang lebih utama untuk menjadi perhatian. Khalifah akan lebih serius mengatasi wabah agar segera berlalu dibandingkan pergantian kepala daerah.
Selain itu, jika pun terpaksa dilakukan pergantian kepala daerah di tengah wabah, lantaran pelanggaran dan kezaliman berdasarkan penilaian syariat, maka mekanisme penggantian kepala daerah oleh khalifah tidak akan rumit, apalagi membahayakan rakyat. Demikian luhur dan sempurna syariat Islam. Benarlah bila dikatakan Islam pedoman kehidupan. Mampu memberi solusi atas setiap persoalan. Maka ialah fondasi yang kokoh untuk semua situasi dan kondisi.
Wallahu a’lam.