Kekeringan yang Selalu Berulang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Hilda Yulistiyanita (Pegiat Literasi)

Indonesia adalah negara dengan iklim tropis yang mengalami dua musim, musim penghujan dan kemarau. Namun menjadi ritual rutin adanya ketidaksiapan masyarakat menghadapi setiap musim, baik hujan maupun kemarau.

Beberapa bulan terakhir terutama bulan September dengan intensitas curah hujan yang rendah masyarakat telah mengeluhkan kekeringan. Beberapa wilayah Jawa Barat saat ini, baik Kabupaten Bandung, Bogor atau yang lainnya kesulitan mendapatkan air bersih karena kekeringan (kemarau basah).

Dilansir dari detik.com (1/9/2020), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung mencatat sudah ada 3 kecamatan yang mengalami kekeringan. Penurunan debit air tersebut terjadi karena wilayah Bandung memasuki musim kemarau basah.

Kepala BPBD, Akhmad Djohara menyatakan 3 wilayah tersebut adalah Baleendah, Cicalengka dan Rancaekek. Namun tidak merata di wilayah tersebut, hanya wilayah yang berada di lokasi cukup tinggi yang kekeringan serta beberapa langkah pemerintah yang dirintis yang dilaksanakan oleh disperkimtan (Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman dan Pertahanan) seperti dibuatkannya sumur dangkal atau pipanisasi pada yang dulunya sangat sulit air membuat kekeringan dapat teratasi.

Dalam laman yang sama, diberitakan bahwa Kabupaten Bogor mengalami kekeringan yang luas. Sebanyak 47.250 jiwa yang tersebar di 9 Kecamatan dari total 40 kecamatan di Kabupaten Bogor terdampak kekeringan dan membutuhkan pasokan air bersih untuk keperluan air minum. Menurut kepala seksi kedaruratan BPBD Kabupaten Bogor, Muhammad Adam menyatakan upaya memasukkan air setiap hari telah dilakukan ke beberapa titik di desa-desa yang membutuhkan air bersih, 5000 sampai 15000 liter setiap hari.

Kekeringan sesungguhnya adalah fenomena alam yang sering terjadi saat pergantian musim yang cukup panjang. Meski demikian, seharusnya secara geografis pergantian musim tidak berkepanjangan sebagaimana terjadi setahun terakhir ini.

Kekeringan yang terjadi tak hanya sekali ini seharusnya sudah memiliki solusi yang tepat. Dengan belajar dari tahun-tahun sebelumnya agar penderitaan masyarakat tak terus berulang. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti saat ini pasti menambah beban derita masyarakat.

Bukan tentang kondisi alam yang selayaknya disalahkan atas problem ini, namun keseimbangan alam yang tidak dijaga dan tindakan preventif yang tak dijalankan. Tangan jahil, keserakahan, pengaturan tata letak bangunan yang tak pandang bulu ikut andil di dalamnya. Daerah-daerah yang seharusnya menjadi resapan air, di tangan penguasa dan korporat kapitalis liberalis menjadi hilang, dialihfungsikan menjadi area beton.

Kita dapat melihat setiap tahun permasalahan ini terus berulang, meski bantuan pemerintah turun, namun tak menjadi solusi yang hakiki karena solusi yang ditawarkan tak menyeluruh dan maksimal baik untuk jangka pendek maupun panjang.

Musibah atau bencana alam yang menimpa masyarakat, apalagi yang terus berulang, seharusnya menjadi PR besar bagi negara. Agar optimal dan maksimal memberikan solusi, bukan sekadar mengirim pasokan air bersih, membuat sumur baru atau yang lainnya. Dimana hal ini merupakan upaya tambal sulam tanpa menyentuh pada penyelesaian yang mengakar.

Sekalipun pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi dan mencegah dampak yang lebih buruk karena kekeringan, namun semua berupa solusi tambal sulam dan hasil aksi reaksi semata. Pemerintah baru akan bekerja ketika telah terjadi bencana, namun tidak ada tindakan preventif dan kuratif agar masalah yang sama tidak berulang.

Hal ini bermuara ketika prinsip kapitalis demokrasi dianut di negeri ini. Ia telah nyata membabat habis tanpa kendali daerah-daerah resapan air. Sehingga keseimbangan alam terganggu. Mereka mengutamakan kemajuan ekonomi tanpa pandang akan dampak yang akan ditimbulkannya.

Prihatin, sedih dan sangat disayangkan, negeri yang dikatakan penduduk muslim terbesar di dunia ini seakan lupa bawa solusi telah Sang Khalik berikan agar kita menjalani hidup penuh kebaikan. Tapi nyatanya menjadi negeri yang terpuruk dengan berbagai masalah tak terselesaikan. Dibarengi masa pandemi saat ini semua lini kehidupan terbilang makin terabaikan karena tak ada riayah atau kepengurusan dari pemimpin.

Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman melalui Rasulullah Muhammad saw. kepada seluruh umat sampai akhir zaman. Islam memberikan solusi teknis dan non teknis, untuk bisa dijalankan oleh para pemimpin masyarakat dalam sistem Islam.

Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dalam sistem pemerintahan Islam bersama para ahli berkumpul melakukan kajian secara menyeluruh, cermat dan akurat mengenai pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas dan hujan, dampak dan pemanfaatan keduanya. Serta tak lupa siasat jika sewaktu-waktu muncul kondisi ekstrim atau luar biasa. Memikirkan masalah-masalah kala terjadi pada jangka panjang maupun pendek.

Kepemimpinan Islam bukan untuk meraih kekuasaan semata namun tugas utamanya adalah mengurusi urusan rakyat. Inilah wujud kecintaan pemimpin karena ketundukan dan ketaatan kepada Allah bukan karena ketundukan dan ketaatannya kepada pemegang kekuasaan ataupun pemodal yang notabene hnya manusia biasa yang hrsnya tunduk pada Allah sebagai Sang Khalik.

Kekeringan yang berulang dan makin parah bisa saja merupakan ujian dan peringatan atau bahkan azab dari Allah agar kita introspeksi diri sejauh mana kita berlaku di bumi Allah ini. Apakah kita termasuk orang yang bermaksiat, mendiamkan kemaksiatan atau memerangi kemaksiatan.

Perubahan iklim yang tak biasa, kerusakan alam serta bencana alam, itu semua akibat ulah tangan manusia. Allah Swt. Berfirman dalam Al-Qur’an surah Ar-Rum ayat 41,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Tentulah firman Allah ini mengajak kita berpikir kembali agar taat kepada Allah, jauhi maksiat, melakukan shalat istisqa, berdoa serta bergantung hanya kepada Allah.

Rasulullah saw telah mencontohkan ketika Madinah mengalami kekeringan, masyarakat datang menghadap nabi sebagai kepala negara untuk berdoa kepada Allah agar segera diturunkan hujan. Nabi pun mengajak masyarakat shalat istisqa di lapangan. Tak berapa lama setelah itu, hujan turun tak henti-hentinya. Sampai masyarakat datang kembali kepada nabi untuk berdoa agar hujan berhenti.

Di sisi lain hanya pemimpin yang bertanggung jawablah yang benar-benar akan meriayah atau mengurus terhadap masyarakatnya. Juga tersebab apa yang diembannya berupa sistem kehidupan (ideologi) Islam yang akan memberi solusi mengakar atas semua problem kehidupan termasuk kekeringan yang terus berulang.

Hanya Islam dan aturannya yang mampu memberikan solusi terbaik atasi musibah/bencana alam yang menimpa masyarakat. Bukan saja dengan menjaga area resapan, hutan lindung/suaka, membatasi alih fungsi lahan tapi juga tidak akan memberi akses kepada korporat asing dan kapitalis masuk wilayah negeri Islam dengan maksud merusak serta menguasai sumber daya alam dan manusianya.
Wallahu a’lam bish shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *