Oleh: Ummu Rufaida
(Kontributor Media dan Praktisi Homeschooling)
Sebagaimana fenomena gunung es, kasus kekerasan seksual selalu menjadi “trending topic” yang tak berujung. Fakta yang terungkap di media hanyalah secuil, sedangkan yang terjadi di masyarakat bagai gelompang tsunami yang siap melahap habis semua pertahanan keluarga. Bahkan kasus ini, merebak di masyakat NTT, hingga ke pelosok desa. Jika sudah begini, bagaimana nasib generasi penerus bangsa?
Seperti dilansir pada laman timex.kupang.com (15/10), kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) meningkat secara signifikan. Bahkan, kasus tersebut sudah menjadi trending topik tahunan dengan urutan pertama di Bumi Biinmaffo.
Sekertaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten TTU, Robert Tjeunfin kepada Timor Express, Kamis (15/10) menyebutkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 18 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, 14 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan, 2 kasus membawa lari anak, dan 1 kasus penelantaran.
Di tahun 2020, jumlah itu meningkat secara signifikan di tahun 2020 hingga bulan Oktober menjadi 27 kasus.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur masih dominan di TTU. Kasus ini terus bertambah setiap tahun,” ungkap Robert.
Menurutnya, mayoritas kasus terjadi akibat pengaruh minuman keras beralkohol. Ironisnya, pelaku pun merupakan orang terdekat korban. Bahkan, ada kasus, yang pelaku merupakan orang tua kandung korban.
Berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka kekerasan, termasuk dengan melakukan upaya pendampingan hukum yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Mereka berharap tidak ada lagi kasus yang diselesaikan secara kekeluargaan apalagi berdamai. Minimal pelaku harus merasakan hukuman 15 tahun penjara atau 20 tahun jika pelaku merupakan orang tua korban.
Mengapa kasus ini terus meningkat?
Kasus serupa tentu akan terus berlanjut bahkan meningkat tajam mengingat kebijakan Gubernur NTT yang telah melegalkan minuman keras. Bahkan melakukan produksi secara masif dengan dalih melestarikan kebudayaan. Alih-alih mampu meningkatkan perekonomian masyarakat NTT, nyatanya efek negatif miras jauh lebih besar.
Kebijakan ini dinilai akan membawa masyarakat ke gerbang kehancuran. Hancurnya masa depan korban tak mampu terelakkan. Belum lagi, traumatik yang akan terus menghantui. Bukankah nasib generasi bangsa lebih berharga daripada sekadar peningkatan ekonomi masyarakat?
Selain itu, sanksi hukum yang dijatuhkan kepada pelaku ternyata tak membuat efek jera. Terbukti, mendekamnya pelaku tak lantas membuat masyarakat sadar akan tindakan asusila tersebut. Bagi pelaku, setelah keluar penjara, apakah ada jaminan bahwa dia tidak akan mengulangi tindakan biadabnya?
Tinggalkan Kebijakan Kapitalisme
Pemerintah tahu betul efek dilegalkannya miras. Bukan hanya meningkatkan kreatifitas masyarakat mengolah miras lokal dan pendapatan daerah. Tetapi akan berpengaruh juga terhadap tingkat kriminalitas, kecelakaan, pembunuhan, kekerasan seksual bahkan hilangnya nyawa. Bukankah justru kebijakan ini berpotensi menyengsarakan rakyat?
Jika nyatanya pengaruh miras sangatlah berbahaya bagi keamanan di masyarakat. Mengapa tetap saja dilakukan komersialisasi miras? Bukahkah tanpa dilegalkan pun penjualan miras sudah merebak. Lantas jika kebijakan ini terus dilanjutkan, akan ada berapa lagi kasus serupa?
Sehingga pelaku kekerasan seksual yang mayoritasnya akibat pengaruh miras, tentu tak bisa dihindari. Bagaikan mata rantai yang saling bersambung satu sama lain. Tak akan selesai sebelum akar permasalahannya dibabat tuntas.
Selama kebijakan disandarkan kepada sistem kapitalisme, yang selalu ingin mendapatkan keuntungan materi, selama itu pula kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur akan terus subur.
Akibatnya generasi muda bangsa akan selalu terancam, meski di dalam rumahnya sendiri. Sudah saatnya kita meninggalkan sistem yang tak memanusiakan manusia. Beralih kepada sistem yang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia. Namun, maukah para pejabat menerapkan sistem ini?
Allahu a’lam.