Kekerasan Seksual Pada Anak Masih Membayang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah, SE. (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Hari anak yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, masih menyisakan problem. Selama pandemi, angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan meningkat.

Di Jawa Timur, jumlah kasus kekerasan terhadap anak nyaris mencapai angka 700. Kasus pelecehan seksual mendominasi dari angka 700 tersebut. Angka yang hampir sama dengan tahun sebelumnya.

Bahkan yang miris adalah di Lampung Timur, Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung justru menjadi tersangka tindak pencabulan anak usia 13.

Padahal P2TP2P adalah lembaga yang didirikan untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan. (https://www.kompasiana.com/kompasiana/5f1987ab097f365c7846d132/lingkaran-setan-kekerasan-seksual-terhadap-anak)

Problem kekerasan seksual pada anak tidak akan tuntas terselesaikan dengan aturan dari sistem Sekuler Kapitalis saat ini. Aturan buatan manusia yang memiliki keterbatasan akan menghasilkan problem lanjutan.

Sebenarnya akar masalah kekerasan seksual pada anak adalah kebebasan yang diagungkan dalam sistem Sekuler Kapitalis. Sistem yang tidak ‘membolehkan’ agama itu masuk dalam kehidupan. Agama tidak boleh mengatur kehidupan manusia.

Maka masyarakat bebas untuk bertingkah laku. Cara mereka berpakaian, bergaul dan lain sebagainya. Ditambah dengan media yang terus menerus menayangkan tayangan-tayangan yang berbau porno, mengumbar aurat dll semakin membangkitkan naluri ‘suka lawan jenis’ ini.
Karena pada dasarnya naluri ‘suka lawan jenis’ ini rangsangannya berasal dari luar.

Bisa dibayangkan jika penyaluran dari naluri ini tidak pada tempatnya, maka yang terjadi adalah kekerasan seksual. Apalagi, kekerasan seksual ini biasanya antara pelaku dan korban adalah saling mengenal atau orang terdekat. Anak dan perempuan adalah yang paling rentan terhadap kekerasan seksual ini.

Jika sumber masalah kekerasan seksual adalah pada sistem yang melahirkan aturan yang meniadakan campur tangan agama, maka solusinya adalah membuang sistem yang menjadi sumber masalah tersebut. Menggantinya dengan sistem yang memberi ruang pada agama untuk mengatur kehidupan, yaitu sistem Islam.

Dalam Islam, celah untuk terjadinya pelecehan seksual diperkecil bahkan sebisa mungkin ditiadakan. Tayangan umbar aurat dan tak pantas tidak diberi ruang untuk tampil.

Didikan keluarga dengan suasana keimanan, dan kontrol dari masyarakat akan mempersempit ruang terjadinya kekerasan seksual. Apalagi negara pun memberlakukan kebijakan yang tidak memberi ruang bagi media untuk mempertontonkan tayangan yang merangsang naluri ‘suka lawan jenis’.

Dalam Islam, orang tua harus mengajari anak untuk mengenal dan menjaga auratnya/menutup aurat terhadap orang yang tak berhak. Termasuk pendidikan tentang pergaulan, yaitu terpisahnya laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum kecuali pada kondisi tertentu seperti pasar, menundukkan pandangan dll.

Masyarakat pun juga memiliki budaya saling mengingatkan jika ada penyimpangan. Suasana keimanan dibangun sehingga individu yang ada di masyarakat berusaha untuk sesuai syariat.

Negara mendukung langkah keluarga dan masyarakat dengan kebijakannya, termasuk memberlakukan sanksi atas para pelaku kekerasan seksual. Sanksi yang membuat jera dan mencegah yang lain untuk melakukannya.

Maka sinergi individu, masyarakat dan negara harus ada untuk mencegah munculnya kekerasan seksual. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *