Oleh : Tyas Ummu Amira
Akhir – akhir ini beredar kabar menyayat hati, jumlah kekerasan seksual pada anak meningkat drastis di masa pandemi. Semua itu ditengarai lantaran semua aktivitas berjalan via online, sehingga trend kekerasan seksual pun mengikuti berbasis daring.
Dilansir dari laman Lampung, Kompas.com – Kekerasan seksual berbasis daring selama masa pandemi virus corona menjadi sorotan lantaran meningkat secara signifikan.
“Kekerasan gender berbasis online ini memang meningkat, berdasarkan data pengaduan yang masuk ke kami. Tahun lalu (2019) hanya dua kasus selama setahun. Tapi, tahun ini baru enam bulan sudah ada empat kasus,” kata Afrintina saat ditemui, Rabu (1/7/2020).
Dari kejadian fakta diatas jika dikulik lebih rinci, bahwa kasus kekerasan seksual pada anak memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apalagi pada masa pandemi saat ini semua aktivitas dilakukan melalui gadget masing – masing, seakan lebih mudah untuk melakukan interaksi dengan teman bahkan lawan jenis. Hingga pada akhirnya berawal dari kenalan di medsos hingga tertarik antara keduanya sampai dengan menjalin hubungan pacaran. Alhasil yang terjadi semua kegiatan pacaran tadi dilakukan via online sampai- sampai menampakan auratnya didepan pasangan haramnya.
Belum cukup dengan itu saja, saat pasanganya tidak menuruti apa yang diminta sang pacar, maka dia mengacam akan menyebarkan video hasil rekamannya. Dari sini terjadi tekanan dan pelecehan seksual yang semakin beringas. Sehingga korban harus menuruti semua yang diperintahkan sang pacar, tindakan kekerasan verbal pun tak acap kali dilakukan untuk menakuti korban.
Dari sini terlihat jelas bahwa sistem belajar daring memiliki beberapa kelemahan, apabila anak tidak dibekali dengan iman yang kokoh maka akan terseret pada arus yang menyesatkan. Mulai dari tontonan berbau pornografi dan pornoaksi, kemudian aplikasi games yang gambarnya juga membuka aurat, dan banyak lagi lainya.
Sehingga aksi kekerasan seksual via onilne pun semakin marak terjadi serta menjadi trend. Sebab sistem ini memberikan kebebasan di berbagai media untuk menyuguhkan tayangan – tayangan berbau pornografi, sehingga semakin mengugah nafsu para remaja saat ini tanpa dibekali iman serta kontrol keluarga dan masyarakat.
Mengapa itu semua bisa terjadi hingga menjadi trend, serta kasusnya semakin meningkat?
Tidak lain dan tidak bukan karena sistem yang bercokol di negeri ini, menganut asas kebebasan berekpersi, berpendapat, dan bertingkah laku. Semua media difasilitasi untuk merusak generasi penerus bangsa dengan totonan yang membangkitkan sahwat. Memisahkan antara agama dengan kehidupan, jadi setiap perbuatan manusia tidak memandang hukum halal – haram, akan tetapi manfaat semata.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana dalam Undang-Undang tersebut menjelaskan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak, namun ketentuan pidana bagi pelaku pelecehan terhadap anak dalam Undang-Undang tersebut masih sangat lemah sebagai dasar untuk menangani kasus pelecehan terhadap anak. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, memberikan pengertian tentang Pelecehan Seksual pada Bab I ketentuan umum Pasal (1) ayat ke – 27 yaitu: Pelecehan seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja dilakukan seseorang didepan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban.
Dari data hukum yang berlaku di negeri ini, sanksi yang diterapkan masih belum memberikan efek rasa jerah dan kurang tegas bagi pelaku. Sehingga banyak kasus baru yang bermunculan di tengah – tengah masyarakat dengan semakin kreatif mengikuti perkembangan zaman moderenisasi.
Bagaimana agar kekerasaan seksual ini bisa dihentikan?
Pertama, harus ada tindakan preventif ( pencegahan) yaitu dengan penanan akidah secara kokoh. Dengan mengakaitakan akan ada dosa dan pahala pada setiap perbuatan manusia kelak akan dimintai pertanggung jawaban, yang dimana itu diatur oleh hukum syara’. Serta melakukan kontrol lingkungan mulai dari keluarga hingga lingkungan sosial, agar terajdi koneksi yang baik pemahaman tentang perbuatan yang menyimpang dari norma agama dan sosial.
Kedua negara harus hadir dalam memberikan regulasi yang tepat serta sesuai dengan hukum Islam.
Hanya dengan menerapakan hukum Islamlah sehingga bisa membuat efek jerah bagi pelakunya. Sebab hanya sistem Islam yang mampu memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku kejahatan seksual khususnya pada anak – anak. Kemudian sistem hukum Islam adalah bersifat menyeluruh, mampu melindungi serta memberikan sanksi berdasarkan hukum syara’ bersumber pada Al Quran dan As Sunnah.
Sebagaimana dalam aturan hukum Islam sebagai berikut.
1) jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).
Dengan demikian bahwa sanksi bagi pelaku kekerasaan seksual adalah
hukuman ta’zir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Sehingga efek yang ditimbulkan dari sanksi tersebut memberikan efek jerah serta memberikan pelajaran bagi yang lainya untuk tidak melakukanya.
Waallahu’alam bishowab.