Kekerasan anak, kapan berakhir?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Penulis: Dian Handayani ( pendidik dan aktivis muslimah PPU)

 

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), mencatat sejak Januari 2020 hingga Oktober bulan berjalan saat ini, terdapat 24 anak yang menjadi korban kekerasan yang ditangani pihaknya.

Sejak Januari hingga Oktober 2020 bulan berjalan jumlah kasus korban kekerasan terhadap anak yang kami tangani total sebanyak 24 orang dengan 24 kasus, sementara tahun 2019 terdapat 23 orang dengan 14 kasus,” ujarnya Kepala DP3AP2KB PPU, Firmansyah melalui  Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nurkaidah, kepada IDN Times.( Jumat ,9/10/2020 di Penajam.)

Adapun pencegahan yg dilakukan oleh pihak DP3AP2KB sosialisasi peran ortu dan penanganannya yaitu dengan pendampingan terhadap korban.

Kasus serupa ini bukan hanya terjadi di PPU saja. Namun  seluruh daerah di indonesia bahkan seluruh dunia. Ragam kekerasan terhadap anak baik secara seksual maupun fisik dirumah tangga maupun peperangan terjadi setiap harinya. Apa yang terjadi di PPU ini , sebagi daerah calon IKN  hanya satu sampel data. yang bahkan belum tentu menunjukkan data yang sesungguhnya. Karena kasus seperti ini ibarat gunung es. Kasus sebenarnya jauh lebih besar dan banyak dibandingkan yang terdata. Disebabkan hanya berdasarkan laporan dan aduan masyarakat.

Telah terjadi peningkatan kasus dari  tahun ke tahun membuktikan solusi yg diberikan tidak tuntas. Sifatnya masih individualistik dan parsial.

Karena bukan hanya peran orang tua yang dibutuhkan,  sehingga yang dilakukan adalah sosialisasi agar orangtua melakukan pengawasan dan pendampingan ekstra bagi anak. Tetapi peran negara yg cukup besar untuk melakukan pencegahan dengan menciptakan lingkungan yang aman dan menghilangkan pemicu kekerasan terhadap semua pihak dalam hal ini khususnya perempuan dan anak.

Jika kita kaji lebih dalam, kekerasan pada anak bisa terjadi karena adanya kurangnya pemahaman orangtua tentang tumbuh kembang anak sehingga kurang sabar dalam menghadapi proses belajar dan perkembangan fisik maupun mental anak. Apalagi jika kurang iman. Yang memandang bahwa anak adalah amanah sekaligus Investasi dunia akhirat.

Rendahnya pemahaman terhadap anak juga membuat orangtua kurang peka terhadap apa yang berbahaya bagi anak dan mana yang tidak. Salah satu fakta ynag bisa kita saksikan saat ini adalah banyaknya berbagi kajian tentang bahaya penggunaan gawai yang berlebihan pada anak. Namun orang tua saat ini malah banyak  yang memfasilitasi anak, bahkan sejak balita dengan gawai. Sungguh memprihatinkan.

Jadi, sosialisasi saja agar mengawasi anak secara lebih ketat pun tidak cukup, tanpa adanya proses edukasi dan pembinaan pada orang tua secara kontinyu dan komprehensif baik dari sisi ilmu tumbuh kembang anak maupun agama. Dan ini harus berlangsung terencana dan  massif sehingga butuh strategi yang jitu.

Mengingat era globalisasi era digitalisasi saat ini membawa arus deras informasi dan teknologi yang begitu cepat dan gampang diakses oleh siapapun termasuk anak-anak kita. Anak-anak calon pemimpin dan pengisi masa depan. Siapa yang memungkinkan melaksanakannya? Tentu saja negara, sebagai institusi yang membawahi berbagai aspek kebijakan dan memiliki kewenangan yang besar.

Kemudian ditambah lagi pada situasi Pandemi covid19 ini, begitu banyak informasi fakta yang beredar yang menunjukkan bahwa ini adalah situasi yang membawa dampak pula bagi anak. Seperti stress orangtua yang ditumpahkan ke anak selama pembelajaran daring. Entah dari ketidakmampuan orangtua secara ekonomi, pengetahuan untuk diajarkan ke anak. Ditambah lagi kurikulum yang sering bergonta-ganti. Hal ini memicu adanya kekerasan pada anak.

Begitupun mudahnya akses internet, menjadikan orang tua Maupun anak-anak mengakses konten pornografi termasuk el- ge-be-te. Ini juga yang relevan dengan data kekerasan pada anak paling tinggi adalah angka kekerasan seksual. Budaya yang individualistik dan pemissive serta serba hedonis.

Adanya resesi ekonomi pun cukup memberikan tekanan tersendiri sebagai pemicu kekerasan pada anak. Yang kebanyakan juga justru dari orang terdekat mereka.

Sehingga, bagi korban pun jika berlaku pendampingan pun tidak cukup. Akan bermunculan korban lain. Bahkan kejadian serupa bisa menimpa korban yang sama. Ditambah lagi sangsi yang tidak tegas pun memenuhi ras keadilan bahkan hukum pun saat ini mudah dibeli. Dan itu buka rahasia dalam sistem saat ini.

Maka wajar  kekerasan pada anak terus meningkat jumlahnya bahkan akan terus bertambah dan bertambah. Semua kjaian ini menunjukkan bahwa butuh solusi yang sistemik. Bukan dibatasi pada sosialisasi pada orangtua untuk mengawasi anak atau pendampingan saja. Namun mencakup berbagai aspek mulai dari pemerintahan sebagai pokoknya. Yaitu sebagai pemegang kebijakan ekonomi, pendidikan maupun pertahanan keamanan. Bahkan harus mampu mengendalikan situasi agar kondusif secara sosial sehingga budaya yang disebarkan adalah budaya positif bukan negatif.

Karena anak-anak butuh orangtua yang teredukasi dengan baik dan mengerti kebutuhan mereka baik dari sisi fisika maupun mentalnya. Begitupun orangtua  butuh memahami tanggung jawab terhadap amanah anak yang dititipkan sang pencipta pada mereka. Butuh situasi ekonomi yang stabil, keamanan Yang baik sehingga rasa aman untuk melepas anak diluar rumah tanpa rasa takut. Bukan hanya aman dari rasa aman dari kriminalisasi didunia nyata namun juga didunia maya. Karena anak butuh bersosialisasi. Serta didukung oleh sangsi dan sistem peradilan yang tegas dan bersih.

Belum lagi ketersediaan dan keterjangkauan segala kebutuhan sehari-hari dengan tersedianya lapangan pekerjaan dengan gaji yang memadai.   Bukankah ini semua butuh peran negara? Tidak cukup dengan gerakan organisasi apalagi kepedulian individu semata.

Namun kenyataannya, orientasi hidup saat ini begitu sekuler, materalistik dan kapitalistik. Kebahagiaan dan kemapanan dinilai dari sudut pandang kepada siapa kepemilikan terhadap harta.karena disanalah letak kekuatan dan  kekuasaan sesungguhnya. Sehingga bis mengubah kebijakan yang salah dna tidka berpihak pada kepentingan masyarakat menjadi kebajikan.

Inilah kapitalisme, harta keuntungan lebih penting dari nyawa. Peraturan yang dihasilkan sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah terbukti gagal melindungi rakyatnya.

Kapitalis hanya menganggap negara sebagai regulator yang mengatur kepentingan rakyat. Yaitu bagaimana mengkompromikan antara mau pemilik kekayaan dengan maunya masyarakat. Jika sudah berbicara untung-rugi dan kondisi terpepet, pemenuhan materi atau ekonomi selalu dikedepankan. Bukan pemenuhan kebutuhan rakyat yang didahulukan. Anggaran penanganan masalah anak pun akhirnya seadanya. Solusi kapitalisme jauh panggang dari api. Wajar masalah kekerasan anak  tak kunjung selesai.

Solusi yang selalu hadir dan komprehensif dari islam selalu sekedar jadi alternatif. Padahal Islam sebagai ideologi dengan ajarannl dna syariatnya yang kaffah mampu menjaga dan menjamin rasa aman bagi seluruh warga negara dan anak yang merupakan bagiannya. Ini dilakukan dengan mekanisme yg solutif yg terintegral dengan sistem yg lain. Solusi yang membutuhkan peran seluruh aspek kehidupan. Tidak cuma pendidikan dan hukum namun juga ekonomi juga sosila budaya bahknan pemerintahan.

Masalah anak bukan sekedar dipandang Masalah individu tanggungjawab orangtua. Namun permasalahan generasi dan penerus masa depan bangsa. Tidak cuma aset dunia namun akhirat.

Bahkan terbukti sistem Islam mampu mencetak generasi berkualitas terkenal sepanjang masa ketika sistem Islam diterapkan. Masih jadikan sistem Islam sekedar alternatif( pilihan terakhir)?(DH)

 

Allahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *