Oleh : Being Ulinnuha
Baru-baru ini viral beredar di media sosial, seorang anak lelaki yang tengah belajar dipinggir jalan, di samping sebuah gerobak sampah. Setelah dengan penelusuran, seorang anak yang duduk di bangku SMP itu bertempat tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Hal serupa pernah juga terjadi dalam kesempatan lain, di Jawa Barat, Bocah pemulung 10 tahun (SD) yang ibunya tengah sakit, konsisten belajar meski ditemani gerobak sampah dan suasana trotoar jalan yang ramai lagi tak layak.
Selain kedua siswa ini, masih banyak disudut pertiwi, anak bangsa yang belum terpotret kamera, namun semangat menggapai asa dan meraih citanya sangat tinggi, bukan karena keterpaksaan. Keterbatasan harta dan fasilitas tidak menjadi penghalang sebab kemauan sudah setekad baja.
PENDIDIKAN HAK SELURUH ANAK BANGSA
Setiap tahun memperingati hari Anak Nasional, dengan harapan membawa perubahan baru bagi anak bangsa, namun realitanya, seakan hanya slogan dan seremonial tahunan. Padahal, jelas persoalan ini sudah diatur oleh undang-undang negara, bahwa pendidikan seluruh anak bangsa adalah bagian dari pelayanan negara.
Tertuang dalam UU no. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 no.1-5 :
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. (4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Hari ini kita saksikan, dalam prakteknya deret aturan itu belum terlaksana. Jika benar terlaksana, sudah pasti tidak akan dijumpai problem-problem anak bangsa hari ini seperti siswa yang putus sekolah karena alasan ekonomi yakni mahalnya biaya melanjutkan pendidikan.
Selain itu, kondisi pandemi yang juga mengubah tatanan pendidikan, mengharuskan segala aktivitas dilakukan melalui daring (dalam jaringan internet). Kendalanya, tidak semua siswa memiliki gawai sendiri, dan masih sulitnya akses jaringan bagi daerah-daerah terpencil. Selain itu, bagi yang ekonomi keluarganya kurang berkecukupan, alokasi biaya untuk membeli paket data untuk sekolah sudah terpakai biaya makan sehari-hari.
KAPITALISME TAK MAMPU MELINDUNGI ANAK
Dalam sistem kapitalisme, yang menjabat adanya keuntungan di segala lini, pendidikan turut menjadi bidikan keuntungan tersebut. Pendidikan swasta yang begitu melangit, menyebabkan sulit menjangkau. Adapun pendidikan negeri yang ditopang oleh negara, fasilitas dan pelayanan yang diberikan tidak memadai.
Tak heran bila pendidikan tidak mencapai tujuan utamanya : mencerdaskan anak bangsa dan membentuk budi pekerti. Walhasil, sekolah hanya layaknya rutinitas transfer ilmu dari guru kepada murid, namun tidak membentuk pemahaman dan implementasi dalam kehidupan nya.
Ini sungguh berbeda dengan tata kelola dalam sistem pendidikan Islam (negara Khilafah). Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Sebab dari pendidikan, akan lahir generasi-generasi berkeimanan kuat, cerdas akal, dan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan umat manusia.
Dari tujuan pendidikan itulah, pendidikan diberikan secara gratis bagi seluruh anak negeri tanpa memandang status ekonomi nya. Mereka boleh melanjutkan pendidikan setinggi mungkin dengan cuma-cuma. Bahkan jika mereka berhasil membuat buku, maka negara memberikan hadiah berupa emas seberat ukuran timbangan buku tersebut. Setiap riset dan penemuan yang dihasilkan, mendapat penghargaan agung dari negara Khilafah. Tidak hanya itu, mereka diberikan uang saku oleh negara, dan kebutuhan hidupnya ditanggung sepenuhnya. Inilah bentuk kemuliaan dari negara kepada para pencari ilmu.
Wallahua’lam bishawab.