Oleh: Lily suryani (Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) mencatat terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Sepanjang 2019, komnas mencatat terjadi 2.341 kasus atau naik 65 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.
Komisioner komnas perempuan Mariana Amiruddin mengatakan kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang paling banyak terjadi adalah inses, yakni sebanyak 770. Menyusul berikutnya kasua adalah kasus kekerasan seksual sebanyak 571 kasus dan kekerasan fisik sebanyak 536 kasus.
Kategori kasus inses diartikan kekerasan seksual di dalam rumah dengan pelaku yang memiliki hubungan darah , yakni ayah kandung, ayah tiri, dan paman. Sedangkan kasua kekerasan seksual terjadi dan dilakukan oleh pihak luar rumah, yaitu tetangga atau lingkungan terdekat. Komnas perempuan mencatat inses menjadi salah satu bentuk kekerasan seksual yang sulit di laporkan oleh korban karna menyangkut relasi keluarga. Jika korbannya anak perempuan, ibu korban sulit menyoal pelaku yang notabene adalah suaminya.
Dilihat dari kategori pelaku, tercatat ada 469 kasus dimana pelaku kekerasan adalah ayah tiri dan ayah angkat, dan 618 kasus yang pelakunya ayah kandung. (Tempo.co)
Terlepas dari itu semua, tak bisa dipungkiri maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan menunjukkan gambaran bahwa masyarakat saat ini sakit dan rusak. Kekerasan seksual juga mencerminkan bahwa regulasi yang ada tidak ditakuti, meski sudah ada berbagai ancaman dan pemberatan hukuman. Akan tetapi, hukuman bagi pelaku tidak setimpal dengan perbuatannya. Lihat saja, beberapa kasus bahkan pelakunya hanya dihukum 3-10 tahun saja, lebih parahnya jika pelaku masih di bawah umur, bisa dipastikan hanya sekedar direhab atau wajib lapor saja.
Bahkan, solusi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kejahatan seksual terbaru yakni hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. Jika diteliti lebih jauh solusi ini tidak cukup untuk menuntaskan masalah ini. Merebaknya kejahatan seksual juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Pengaruh media yang sarat pornografi dan pornoaksi, narkoba, minuman keras dan perilaku kebebasan yang merajalela dalam masyarakat adalah beberapa contoh yang menjadi pemicu terjadinya kejahatan seksual.
Jika penegakkan hukum menjadi acuan utama, kita tidak mungkin terlepas dari berbicara mengenai aparaturnya. Upaya penegakkan hukum tentu saja harus ada aktornya. Sejauh ini, kita menemukan dan merasakan fakta adanya penegakkan hukum yang terus-menerus dilakukan outputnya tidak memberikan keadilan kepada masyarakat. Kenapa ?
Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakkan hukum yang dilakoni oleh rezim selama ini. Salah satu penyebab utama nya adalah integritas penegak hukum yang rendah. Sekulerisme ini jelas berbahaya karena merupakan asas dari ideologi kapitalisme yang bobrok. Inti ide ini adalah menyingkirkan peran dan fungsi agama dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.
Pada hakikatnya peran negara tentu paling besar dalam penanganan kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, negara memiliki kemampuan untuk membentuk kesiapan individu, keluarga serta masyarakat. Namun, fenomena kekerasan seksual terhadap anak yang semakin memprihatinkan dapat ditafsirkan sebagai kegagalan negara dalam menjamin rasa aman dan perlindungan terhadap anak-anak. Negara telah melakukan “Pembiaran” munculnya kekerasan seksual disekitar anak-anak.
Berbeda halnya dengan sistem kapitalis-sekuler, islam yang menjadikan aqidah islam, Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas, wahyu Allah sebagai pijakannya. Islam memiliki aturan yang sangat rinci dan sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan.
Islam telah menetapkan bahwa “keselamatan anak” bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi keluarganya, melainkan menjadi tanggung jawab masyarakat dan juga negara. Benar, bahwa islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga tamyiz serta pendidikan anak kepada ayah ibunya akan tetapi, hal ini belum cukup.
Pembentukan lingkungan yang kondusif ditengah-tengah masyarakat juga menjadi hal penting bagi keberlangsungan kehidupan anak. Dan hal ini tidak lepas dari peran masyarakat serta negara. Lingkungan masyarakat yang baik tentunya ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Budaya beramar ma’ruf nahi mungkar ditengah masyarakat pun akan menentukan pula sehat tidaknya sebuah masyarakat.
Karenanya upaya pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak hanya akan terwujud dengan 3 pilar, yaitu ketaqwaan individu dan keluarga yang akan mendorongnya senantiasa terikat dengan aturan islam secara keseluruhan. Keluarga, dituntut untuk menerapkan aturan di dalam keluarga, seperti memisahkan tempat tidur anak sejak usia 7 tahun, membiasakan menutup aurat, tidak berkhalwat dan sebagainya. Aturan ini lah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dan bekal ketaqwaan yang dimiliki, seseorang hadir mencegah dirinya dari melakukan dari perbuatan maksiat.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Ia akan menguatkan apa yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga, sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai rangsangan di lingkungan masyarakat. Jika masyarakat beramar ma’ruf nahi mungkar , tidak memberikan fasilitas dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, tindakan asusila, pornoaksi dan pornografi, niscaya rangsangan dapat di minimalisir.
Begitu juga islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya.
Dalam pandangan islam negara adalah satu-satunya institusi yang daapt melindungi anak dan mengatasi persoalan kekerasan terhadap anak secara sempurna. Rasulullah saw bersabda :” Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR.Muslim).
Dalam hadist lainnya, ” Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya,” (HR.Muslim dan Ahmad).
Disamping itu, negara sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat islam, maka ia pun berwewenang untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak. Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki.
Hukum islam demikian sempurna. Ia mencegah terjadinya pelecehan dan kejahatan seksual terhadap anak perempuan dan menyelesaikannya. Hukum islam menekan kan pada aspek preventif, dan tidak mengedepankan solusi kuratif. Sifat ini tidak akan di dapati pada agama dan ideologi lain. Celah terjadinya cacat perilaku pada manusia ditutupi dengan kesadaran terikat pada hukum syariah serta penegakan sanksi bagi si pelaku. Karna itu mari kita mengembalikan segala macam persoalan pada syariat islam yang secara paripurna diterapkan oleh institusi negara islam, yakni Khilafah islamiyah ala minhaj in nubuwwah.