Oleh : Nurul Afifah
Kemenangan keluarga pertahana dalam pilkada 2020, menegaskan bahwa demokrasi mengindikasi adanya politik dinasti.
Seperti dilansir dari katadata.com , Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.
Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.
Menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.
Sebuah riset yang dilakukan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat Yoes C. Kenawas menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015 lalu.
Pada 2015 lalu, Yoes mengatakan hanya ada 52 peserta pilkada yang memiliki kekerabatan dengan pejabat. Di Pilkada 2020, ada 158 calon yang memiliki hubungan dengan elite politik.
“Ini tentu mengkhawatirkan bagi demokrasi Indonesia, karena ada peningkatan yang sangat drastis dari Pilkada 2015 ke 2020. Peningkatan lebih sedikit dari 300 persen atau tiga kali lipat lah penambahannya,” kata Yoes dalam acara yang disiarkan secara daring, Rabu (16/12).(CNNindonesia.com 17/12/2020).
Politik dinasti dinegeri ini bukanlah hal yang baru dan semakin mengakar, sebab tak ada aturan baku yang melarang. Dinasti politik sudah dijumpai sejak era Soeharto, Megawati, SBY hingga sekarang.
Tak bisa dipungkiri kekuasaan yang didominasi oleh satu garis keluarga adalah berbahaya, menimbulkan kecenderungan tertutupnya orang lain sebagai penguasa. Kondisi tersebut akan mengakibatkan penguasa tak terkontrol dan tak memiliki batasan pada penguasaanya, sehingga nepotisme, kolusi dan korupsi terjadi dan rakyat menjadi korban keserakahan penguasa.
Kita tau politik demokrasi identik dengan kepentingan dan kekuasaan yang seakan tidak terbatas. Dalam politik demokrasi pasti terjadi kompromi sesuai kepentingan masing-masing baik person maupun parpol.Kedaulatan ditangan rakyatpun hanya ilusi, karena hanya doktrinya tidak terealisasi .
Dalam politik demokrasi rakyat hanya memiliki otoritas untuk memilih para wakil yang sudah disaring parpol dan proses politik. Otoritas itupun dibatasi dan diarahkan oleh kapital melaui partai politik yang ada, bukan murni pilihan dari rakyat sendiri. Hal tersebut memuluskan upaya mendirikan politik dinasti dan mengaburkan syarat-syarat calon.
Berbeda dengan sistem pemerintahan islam. Kedaulatan ditangan syariah dan kekuasaan ditangan umat, itulah landasan pemerintahan islam. Seseorang akan jadi pemimpin jika diberi mandat kekuasaan oleh rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Disini perlu adanya akad antara rakyat dan calon khalifah untuk jadi khalifah atas dasar ridha, bukan paksaan. Akad tersebut adalah baiat.
Metode pengangkatan khalifah adalah baiat. Prosedur praktis pengangkatan khalifah sebelum dibaiat boleh dengan cara yang berbeda. Tata caranya, pada saat jabatan khalifah kosong, Mahkamah Mazhalim mengumumkan kekosongannya . Amir sementara bertugas melaksanakan tugasnya dan mengumumkan pembukaan pintu pencalonan . Kemudian Mahkamah Mazhalim menyeleksi calon khalifah dan memetapkan siapa yang memenuhi syarat in’iqod dan yang tidak. Calon khalifah yang memenuhi syarat in’iqod diserahkan pada Majelis Umat untuk dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, lalu diserahkan kepada umat untuk dipilih. Sedangkan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh khalifah. Itulah prosedur yang ditentukan syariat.
Wallahu’alam bishawab