Oleh: Ummu Haura
Ketegangan antara dua negara adikuasa (China dan AS) yang terjadi di Laut Cina Selatan masih berlanjut sampai saat ini. Bahkan ancaman meletusnya perang diantara 2 negara besar ini mulai dirasakan sejumlah negara di Asia Timur dan Asia Tenggara. Oleh sebab itu, China dan Amerika hingga saat ini masih menahan diri. Sebab jika sampai timbul insiden kecil yang melibatkan militer kedua negara, bukan tak mungkin perang bakal pecah.
Laut China Selatan bisa jadi medan pertempuran mahadahsyat antara China dan Amerika, jika kedua belah pihak yang terlibat perseteruan tak sama-sama menahan diri.
Yang terbaru, media China yang didukung Partai Komunis China (CPC), Global Times, kembali mewakili sikap pemerintah terkait langkah yang akan diambil di Laut China Selatan. Dalam laporan yang dikutip VIVA Militer, China akan langsung melakukan serangan balasan langsung jika terlibat insiden dengan militer Amerika.
Namun, benarkah negara-negara ASEAN yang secara geografis berada di sekitar LCS tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan ketegangan yang terjadi? Bahkan Menteri Luar Negeri, Retno Lestari Priansari Marsudi, mengatakan Indonesia tetap konsisten menghormati Konvensi Hukum Laut Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) sebagai panduan dalam sengketa di Laut China Selatan (LCS). Pernyataan sikap dari Menlu tersebut menunjukkan sikap kelemahan menjaga kedaulatan karena terkurung oleh konversi internasional buatan negara penjajah. Seharusnya sebagai negara merdeka dan berdaulat Indonesia berperan aktif melakukan mobilisasi kekuatan negara ASEAN menentang pelanggaran kedaulatan lautnya. Akan tetapi kata kemerdekaan dan berdaulat hanya akan menjadi ilusi semata selama sistem yang dianut oleh negara ini sama seperti sistem yang dipakai oleh negara-negara penjajah yaitu sistem kapitalisme. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan sikap untuk tidak ikut campur pada kasus ini padahal secara geografis pelanggaran yang dilakukan telah nyata terjadi. Sudah menjadi suatu kelaziman ketika sebuah negara menganut sistem kapitalisme maka negara tersebut akan bertekuk lutut dihadapan pemilik modal.
Maka jika ingin Indonesia sebagai negeri dengan penduduknya mayoritas muslim memiliki kemerdekaan dan kedaulatan yang hakiki maka haruslah beralih kepada sistem Islam yang sempurna dan paripurna dalam segala sisi.
Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sejak hijrah ke Madinah kemudian dilanjutkan oleh penerus yaitu para khulafa ar-rasyidin kemudian dilanjutkan oleh para khalifah sesudahnya. Sejarah mencatat banyak prestasi maritim gemilang kaum Muslimin.
Salah satunya yang paling awal terjadi pada bulan Ramadan 53 H di era Bapak Maritim Islam –Khalifah Mu’awiyah – yakni penaklukan Pulau Rhodes di Laut Mediterania. Pulau Rhodes adalah pulau terbesar dari kepulauan Dodecanese, dan pulau utama paling timur negara Yunani [saat ini] di Laut Aegean. Di masa Mu’awiyah juga untuk pertama kalinya pasukan Islam melakukan ekspedisi penaklukan kota konstantinopel. Mu’awiyah berhasil memosisikan diri sebagai salah satu pemain maritim yang diperhitungkan, bukan sekadar penonton seperti hari ini.
Kondisi tersebut sangat jauh dari kondisi kita sekarang yang seperti harimau kehilangan taring dan cakarnya sehingga hanya sekedar menjadi penonton tanpa bisa berbuat apapun. Maka marilah kita sebagai umat Islam mulai sekarang harus bangun dari tidur panjang ini. Ingatlah bahwa keutamaan jihad di lautan dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
غَزْوَةٌ فِي الْبَحْرِ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ فِي الْبَرِّ، وَمَنْ أَجَازَ الْبَحْرَ فَكَأَنَّمَا أَجَازَ الأَوْدِيَةَ كُلَّهَا، وَالْمَائِدُ فِيهِ كَالْمُتَشَحِّطِ فِي دَمِهِ
“Satu kali berperang di lautan itu lebih baik dari sepuluh kali berperang di daratan. Orang yang berlayar di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang telah mengarungi seluruh lembah [daratan]. Dan orang yang mabuk di lautan [dalam jihad] adalah seperti orang yang bersimbah darah [dalam jihad].” (HR Al-Hakim no. 2634 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir.