Kebijakan Redenominasi, Perlukah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah, SE. (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Wacana pengurangan angka nol di rupiah atau redenominasi kembali bergulir. Penyederhanaan angka Rp 1.000 menjadi Rp 1 ini tercantum dalam RUU Redenominasi yang masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. (https://m.detik.com/finance/moneter/d-5090649/daftar-negara-yang-sukses-dan-gagal-pangkas-angka-nol-di-mata-uang)

Secara resmi RUU Redenominasi Mata Uang sudah digulirkan tahun 2017 oleh Kementerian Keuangan bersama BI. Namun tidak pernah terealisir. Kini wacana itu muncul kembali.

Menurut KBBI, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang.

Ada sejumlah manfaat redenominasi. Misalnya mempermudah perhitungan dalam praktik-praktik akuntansi seperti pembukuan hingga laporan keuangan sehingga mudah dibaca.

Redenominasi juga terkait tingkat kepercayaan terhadap mata uang rupiah. Nilai tukar mata uang rupiah saat ini dinilai terlalu mahal. Misalnya pencantuman nominal rupiah di hadapan dollar AS dianggap terlalu banyak sehingga tidak praktis.
Sebelum redenominasi 1 dollar AS adalah Rp 14.400, maka setelah redenominasi menjadi hanya Rp 14,4.
(https://money.kompas.com/read/2020/07/10/080200626/yang-perlu-diketahui-tentang-redenominasi-rp-1000-jadi-rp-1)

Sistem keuangan negara Indonesia memang ditopang oleh kebijakan moneter dan fiskal. Terkait mata uang, ia adalah bagian dari kebijakan moneter. Mata uang yang ada dalam sistem saat ini adalah mata uang yang rapuh karena tidak distandarkan pada sesuatu yang bernilai. Nilai uang tidak sama dengan nilai yang tertera. Lagian, mata uang negara ini tidak berdiri sendiri, karena terkoneksi dengan mata uang dollar AS. Rupiah terhegemoni dollar AS.

Sistem kapitalisme telah menjadikan negeri ini tersandera dalam banyak hal, termasuk sistem keuangannya. Maka wacana redenominasi tidak akan terjadi jika negara ini keluar dari sistem yang mengungkungnya.

Redenominasi itu hanyalah solusi tambal sulam dari buruknya sistem Kapitalis dalam mengatur kehidupan negeri mayoritas Muslim ini. Hanya pengalihan opini, seolah kondisi negeri ini tidak bermasalah. Padahal negeri ini sebenarnya di ambang kehancuran akibat penerapan Kapitalisme.

Bahkan itu adalah pembodohan publik, karena masyarakat akan menilai keadaan baik-baik saja, karena dollar AS ternyata tak mahal, hanya Rp 14,4 misalnya.

Maka saatnya, negeri ini memberlakukan sistem ekonomi dan keuangannya serta sistem-sistem yang lain dengan syariat Islam, termasuk masalah mata uang. Mata uang dalam islam akan distandarkan pada emas dan perak (sesuatu yang bernilai), sehingga memiliki nilai. Mata uangnya pun tidak distandarkan pada mata uang negara lain. Tidak dihegemoni oleh negara lain. Sehingga cenderung stabil. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *