Oleh: Anita Ummu Taqillah (Komunitas Setajam Pena)
Kebijakan demi kebijakan pemangku negeri kian ngeri. Ditengah wabah yang masih meninggi, tak segan pemerintah mengganti kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang belum berjalan maksimal, harus berganti dengan adanya relaksasi PSBB. Dengan dalih untuk mengurangi stress masyarakat, nyatanya relaksasi PSBB tidak diberlakukan kepada seluruh warga masyarakat. Ketika bandara Soeta (Soekarno-Hatta) dibuka, nyatanya para pemudik di kampung yang menggunakan kendaraan sedanya harus rela bersembunyi dari kejaran aparat kepolisian. Tentu hal ini memicu polemik dan kritik dari berbagai kalangan.
Akhirnya muncul kegeraman dari kalangan tenaga kesehatan (tenakes), hinggal muncul taggar “Indonesia Terserah” di jagat per-twitter-an. #IndonesiaTerserah muncul tak lama setelah terungkapnya keramaian calon penumpang di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu. Banyak yang menilai potret tersebut seperti menafikan physical distancing yang terus digaungkan pemerintah demi memutus rantai penyebaran COVID-19. Netizen yang mengaku terus berdiam diri di rumah selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menganggap #IndonesiaTerserah juga terkesan tak menghargai perjuangan tenaga medis yang terus menerus menangani pasien virus SARS-CoV-2 ini. (Detik.com, 19/05/2020)
Munculnya tagar ini adalah sebuah kewajaran, karena tenakes sebagai garda terdepan harus bekerja lebih keras lagi ketika masyarakat tidak mau stay at home karena pemerintah juga memberlakukan relaksasi secara kebablasan. Selama pandemi ini, tenakes sudah “tersiksa” dengan penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) yang berlapis, pengap, harus tahan haus, tahan lapar, tahan buang air dan lain-lain selama beberapa jam.
Belum lagi resiko besar yang harus dihadapi ketika berinteraksi langsung dengan korban. Apalagi sempat terjadi kelangkaan APD yang tentu semakin membuat tenakes harus bekerja dalam kekhawatiran. Namun, karena kemanusiaan mereka rela mengorbankan waktu, tenaga bahkan nyawa mereka untuk tetap bekerja. Bahkan tak hanya resiko fisik yang dihadapi tenakes, tapi dilapangan banyak juga tenakes yang menjadi korban sosial. Diusir dari kos-kosan, kontrakan, bahkan ditolak jenazahnya oleh masyarakat.
Para ahli juga menyayangkan kebijakan relaksasi PSBB. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra memprediksi relaksasi bisa memicu terjadinya gelombang kedua dan ketiga penyebaran Covid-19. Dari data korban Covid-19, menunjukkan gelombang pertama penyebaran Covid-19 belum bisa diselesaikan dengan baik. Apalagi jika terjadi gelombang kedua atau ketiga. Karena pada prinsipnya relaksasi ini variabelnya sangat dinamis. Dan jika orang dibiarkan terbuka, maka harus siap-siap menyebut tahun ini dengan istilah die year with Covid-19. (Merdeka.com, 17/05/2020)
Tagar “Indonesia Terserah” juga dianggap sebagai bentuk kekecewaan masyarakat akan kebijakan pemerintah yang plin-plan dan penuh ambigu. Disatu sisi ada pemberlakuan PSBB, tapi disisi lain kebijakan pembukaan kembali moda transportasi umum juga dilaksanakan. Belum lagi gerakan kurva landai yang berusaha mengaburkan banyaknya korban Covid-19.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia, dr.Pandu Riono, menilai kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi membuka kembali moda transportasi umum untuk penumpang berpotensi memicu penyebaran kasus Covid-19. Yang dikhawatirkan, menurut Pandu, sebagian daerah tujuan mudik ini memiliki fasilitas kesehatan maupun sarana penanganan Covid-19 yang terbatas. Akibatnya bisa saja pasien terlambat mendapat penanganan, dan berakibat fatal. Selain itu, pergerakan orang akan menyebabkan penyebaran Covid-19 gelombang kedua. Orang-orang dari zona merah seperti DKI Jakarta dan daerah lain di Pulau Jawa akan membawa virus ini ke daerah tujuan mudik. Kemudian waktu arus mudik balik, DKI Jakarta yang sudah turun kasusnya berpotensi naik kembali. (Beritasatu, 10/05/2020)
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi juga menilai viralnya tagar ‘Indonesia Terserah’ di jagat maya lantaran banyak elemen masyarakat yang kecewa terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dia mengingatkan, akan fatal bila kebijakan yang plin-plan terus berlanjut. Semua elemen masyarakat kecewa dengan kebijakan ambigu pemerintah dan kelambanan bertindak dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Adalah kesalahan fatal jika kebijakan plin-plan dan kontradiktif terus dipertahankan. (republika.co.id, 17/05/2020)
Sistem kapitalisme yang diemban negeri ini dengan kebijakannya yang plin-plan adalah sebuah kewajaran. Karena sistem ini adalah buatan manusia yang tak pernah merasa puas, sehingga merubah aturan sesuai hawa nafsu semata. Dan yang lebih parah lagi, sistem ini juga menganut ekonomi neo-liberal yang memandang dan menyelesaikan permasalahan ekonomi berdasar pesanan asing dan aseng. Tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang kian sekarat. Dengan alasan ekonomi, moda transportasi umum dibuka, tapi ancaman Covid-19 tak dihiraukan.
Sistem kapitalis memang sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam seorang pemimpin adalah perisai. Menjadi pelindung sekaligus pengayom bagi rakyatnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).
Pemimpin harus mengutamakan nyawa rakyat diatas segalanya. Bukan mementingkan kepentingan korporasi dan kroni-kroni. Karena Islam mengajarkan sebuah negara haruslah menjadi negara yang mandiri. Segala kebijakan adalah disesuaikan dengan hukum syara’ yang bersumber dari Sang Pencipta, bukan dari manusia yang terbatas dan lemah. Wallahu’alam bishowab.