Kebijakan Pajak : Rakyat Tercekik, Selamatkan dengan Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Farizatul Ilmi (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)

 

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan berita tentang pemerintah yang akan memungut pajak dari sembako, tak hanya itu pendidikan yang seharusnya gratis pun dikabarkan juga akan dipungut pajak.

Dikabarkan rencana ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU.
(https://www.cnncnnindonesia.com, 12/06/2021)

Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari mengatakan pemerintah masih fokus terkait pemulihan ekonomi dikarenakan Covid-19 yang belum juga usai. Sehingga kebijakan ini masih berupa wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini, pugkasnya dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan.
(https://www.antaranews.com, 13/06/2021)

Di sisi lain, ketua MPR RI tidak setuju dan meminta pemerintah untuk tidak mengesahkan kebijakan tersebut. Karena menurutnya kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan pancasila terutama sila-5 yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Beliau juga katakan pengenaan pajak otomatis akan membuat bahan sembako dan pendidikan naik tajam. Akibatnya akan terjadinya kenaikan inflasi di Indonesia.
(https://www.antaranews.com, 13/06/2021)

Sungguh miris dan kecewa disaat pandemi ini, rakyat bagaikan dicekik, dipalak kekayaannya, demi untuk bertambahnya pemasukan, alih-alih negara yang seharusnya bertugas meri’ayah tapi malah kebalik, rakyat terus dipaksa untuk memenuhi segala kekurangan yang dialami oleh negara.

Segala aktivitas yang dilakukan oleh rakyat hampir semuanya dikenakan pajak baik itu penghasilan, penjualan, bumi dan bangunan, kendaraan, parkir, penerangan jalan umum dan juga transaksi elektronik. Tak hanya itu, pemerintah pun akan memperluas objek kena pajak, berupa barang termasuk sembako, juga berupa jasa, seperti jasa pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Lagi-lagi negara kehabisan ide bagaimana caranya agar utang negara bisa diatasi. Kita semua tahu, kondisi keuangan negara saat ini memang sangat memprihatinkan. Jumlah utang pemerintah semakin hari semakin tak bisa dikendalikan. Lihat saja per april 2021 Kementerian Keuangan mencatat jumlahnya sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. Sangat fantastis bukan?

Hampir seluruh kebijakan tak ada satupun yang pro rakyat, yang mementingkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang muncul hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uang, tanpa memikirkan apakah rakyat mampu atau tidak dengan kebijakan tersebut.

Begitulah negara yang menerapkan sistem kapitalisme, mereka cenderung memihak pada segelintir orang, misalnya pemilik modal (kapitalis) dibandingkan dengan rakyat kecil. Dan akhirnya rakyat miskin akan semakin miskin, sedangkan pemilik modal dan antek-anteknya yang kaya semakin kaya. Terlihat dengan jelas bahwa sistem kapitalisme sangatlah zalim.

Faktanya, di negeri ini telah lama menjadikan sistem kapitalisme neoliberal sebagai ideologinya, yang tegak atas dasar sekularisme yang mana dengan gamblangnya memisahkan agama dari kehidupan, serta menganut paham kebebasan yang tak kenal halal haram. Oleh karena itu, selama negara ini terus menerapkan sistem kapitalisme neoliberal maka selama itu juga tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Boro-boro memikirkan kesejahteraan rakyat, mengeluarkan kebijakan saja tidak melihat halal dan haramnya suatu perbuatan. Padahal dalam Islam pajak haram secara syar’i, dikarenakan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dikutip dari tulisan KH. Hafidz Abdurrahman, MA, istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].

Dalam Islam, pajak dikenakan ketika negara dalam keadaan darurat, adapun jika pajak ingin diambil dalam negara khilafah tentu memiliki syarat. Pertama, pajak diambil ketika adanya kekosongan kas negara di Baitul Mal. Akan tetapi ketika kas Baitul Mal sebagai sumber APBN negara khilafah ada anggarannya, maka haram bagi khalifah untuk mengambil pajak.

Kedua, pajak diambil ketika adanya kebutuhan syar’i seperti memberi makan fakir miskin, menangani bencana alam dan membayar gaji para pegawai, namun haram jika pungutan pajak untuk membangun infrastruktur, bandara, pabrik dll.

Ketiga, pajak hanya diwajibkan bagi yang berwarga negara khilafah yang beragama Islam. Sedangkan Ahludz Dzimmah (orang kafir yang berada di wilayah negara khilafah), tidak dikenakan pajak, kecuali jizyah yang ditetapkan setahun sekali.

Keempat, pajak hanya diambil bagi mereka yang kaya, sedangkan orang miskin yang hanya bisa mencukupi kebutuhan primernya tidak boleh dikenakan pajak.

Begitulah Islam, segala kebijakan yang diberikan tidak lain hanya untuk kemaslahatan umat, memberikan penghidupan yang layak, tentram dan damai. Hidup dalam nauangan khilafah umat akan sejahtera, umat hanya akan mementingkan beribadah kepada Allah, sehingga umat tidak lagi memikirkan dengan keras bagaimana caranya agar mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Wallahu a’lam Bish-showwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *