Oleh : Imas sunengsih,SE
Mudik merupakan momen yang di tunggu oleh para perantau ketika hari raya lebaran Idul fitri itu tiba. Bisa berkumpul dengan keluarga di hari yang fitri sesuatu yang membahagiakan untuk setiap keluarga. Bagi para perantau bisa bertemu dengan sanak keluarga di kampung sekalipun hanya setahun sekali merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu. Berbagai kegembiraan saat mudik diungkapkan dengan berbagai cara di media sosial.
Namun, tahun ini menjadi lebaran yang berbeda di tengah kondisi pandemi yang melanda Indonesia. Saat ini pemerintah mengambil sebuah kebijakan untuk melarang mudik demi menekan laju penyebaran virus Covid 19. Pemerintah melarang mudik tetapi memperbolehkan pulang kampung. Sebuah kebijakan yang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat khususnya para pemudik.
Menurut kamus KBBI mudik itu ya pulang kampung. Dari sini jelas jika mudik dilarang otomatis pulang kampung pun tidak boleh. Seharusnya ketika tujuan ingin menekan laju penyebaran virus Corona ini seharusnya membuat kebijakan yang tidak membingungkan masyarakat itu sendiri. Pemberian istilah yang simpang siur memberikan indikasi ketidakmampuan dalam berpikir secara jernih.
Dilansir dari Liputan 6.com “Setelah larangan mudik bagi ASN, TNI-Polri dan pegawai BUMN sudah kita lakukan pada minggu yang lalu, pada rapat hari ini saya ingin menyampaikan juga bahwa mudik semuanya akan kita larang,” kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas, Selasa 21 April 2020. (Liputan6.com/23/4/2020).
Pemerintah seharusnya ketika mengeluarkan larangan mudik harus disertai keberanian mengeluarkan anggaran untuk memberikan kompensasi kepada masyarakatnya.
Larangan mudik dituangkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Pemenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19 yang ditandatangani Menhub Ad Interim, Luhut Binsar Panjaitan, pada 23 April 2020 (detik.com/29/4/2020).
Kondisi masyarakat saat ini seperti buah simalakama diam di perantauan tak bisa makan sementara pulang kampung mendapatkan hukuman. Seolah tak ada jalan keluar yang diberikan oleh penentu kebijakan hanya penelantataran yang diberikan. Tak ada jaminan kebutuhan pokok hidup masyarakat semakin gundah gulana. Pada akhirnya hanya menyisakan rasa putus asa yang berkepanjangan saja.
Jikalau mau berpikir jernih untuk memutuskan mata rantai virus ini tentu kedua istilah mudik dan pulang kampung seharusnya sama-sama dilarang karena membawa gelombang massa yang cukup banyak ke perkampungan . Tentu dalam hal ini kebutuhan pokok hidup masyarakat dipenuhi secara maksimal. Mudik dan pulang kampung tidak akan diambil oleh masyarakat bila semuanya nyaman dan dijamin segalanya.
Hal inilah yang menjadikan citra pemerintah dinilai mengalami penurunan. ( katadata.co.id/26/04/2020).
Pandemi covid- 19 yang terus menelan korban serta ancaman kelaparan ikut menghantui para perantau menjadikan mereka nekad untuk pulang kampung atau mudik demi mempertahankan hidup yang kian tidak menentu. Hal ini terjadi akibat kebijakan PSBB yang telah memberatkan sebagian masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak adanya jaminan kebutuhan pokok hidup dari penguasa membuat sebagian masyarakat mengabaikan berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. (vivanews.com/26/04/2020).
Berbagai kebijakan yang diambil selama ini tidak tepat sasaran bahkan menimbulkan masalah bagi rakyatnya. Semua ini akibat sistem Kapitalisme yang diadopsi negeri ini yang mayoritas muslim. Sebuah sistem yang siap menghancurkan manusia hingga ke ranah terkecil.
Begitupun sosok penguasa yang mengadopsi sistem Kapitalisme akan melahirkan penguasa bermental pengusaha yang mengayomi rakyat pada saat ada keuntungan semata. Mengurusi urusan umat hanya pada skala untung dan rugi bukan karena pahala dan siksa. Maka tampillah sosok pemimpin yang tidak memiliki sikap negarawan sejati.
Sungguh miris.
Namun, rasanya mengharapkan sebuah kehidupan yang aman dan damai di negara yang mengadopsi sistem Kapitalisme rasanya sangat mustahil.
Padahal seorang pemimpin bertugas meriayah rakyatnya dengan menjamin kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat. Sebuah kepemimpinan merupakan amanah yang akan di minta pertanggungjawabanya dunia dan akhirat.
نْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu tidak menjalankan urusannya itu dengan penuh loyalitas, kecuali dia tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari).
Sosok pemimpin seperti ini hanya ada dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah Swt. Bulan Ramadhan saat ini menjadi bulan perubahan untuk menjalankan Islam secara sempurna dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari urusan individu sampai urusan negara yang di atur dengan syariat Islam.
Inilah yang dahulu dicontohkan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab ra. Beliau mengantar pulang para urban dari suku Badui hingga selamat sampai tujuan. Kisah berkesan pada tahun ke-17 Hijriyah ini memberi pengajaran mulia bagi para pemimpin di era modern. Setelah sembilan bulan Madinah kedatangan para Urban dari pedalaman Badui, Sang Khalifah memerintahkan mereka untuk kembali, pulang kampung dan melakukan aktivitas di sana sebagaimana sebelum bencana kekeringan melanda.
Umar menerapkan protokol dan prosedur yang sempurna. Mulai dari menunjuk staf khusus untuk mengurus sarana dan prasarana. Menyediakan moda transportasi yang memadai, memastikan stok kebutuhan selama di kampung halaman aman hingga mereka dapat bekerja seperti sediakala.
“Jika Allah tidak menolong kami dari Tahun Abu ini, kami kira Umar akan mati dalam kesedihan memikirkan nasib Muslimin,” kesan penduduk Madinah yang diabadikan sejarah.
Wallahu a’lam bishshawab