Kebijakan Ambyar Membuat Banyak Rakyat Terus Terpapar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Rina Tresna Sari,S.Pd.I (Praktisi Pendidikan dan Member AMK)

 

Dunia terus berduka, serangan gelombang dua Covid kian mengganas. Alih-alih berlalu, kini serangan varian baru virus Corona memayungi dunia, termasuk negeri ini. Tak salah prediksi para ahli dan pakar kesehatan yang sedari awal pandemi mengatakan bahwa pandemi ini tidak akan berkesudahan jika salah dalam langkah awal penanganannya. Bahkan, banyak ulama yang menyerukan karantina wilayah total untuk memutus rantai penyebaran sejak awal kemunculan kasus virus Corona di negeri ini, sayang sepertinya seruan itu tak pernah diindahkan.

Pemerintah pada faktanya justru menerapkan kebijakan yang cenderung berubah. Terlebih lagi, keberanian pemerintah mengizinkan sejumlah armada transportasi umum beroperasi, terutama membuka bandara dan pelabuhan. Seolah kebijakan yang ditetapkan saling bertolak belakang. Contohnya seperti kebijakan yang melarang adanya kerumunan tidak diikuti dengan penutupan pintu masuk WNA dan pariwisata secara total. Akibatnya saat ini suasana mencekam dan mengerikan kembali menaungi negeri.

Banyak portal media mengabarkan bahwa rumah sakit kian penuh, bahkan banyak pasien yang antre, ambulans kembali kewalahan beroperasi menjemput para pasien Covid-19, serta persediaan kamar atau ruangan di RS tak mencukupi. Tsunami kedua Covid-19 tak bisa dihindari. Bahkan, Bed Occupation Rate (BOR) juga sudah hampir penuh di berbagai daerah di Indonesia. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) menyatakan kondisi RS di Indonesia sudah nyaris penuh (news.detik.com, 20/6/2021).
Lagi-lagi sistem kesehatan di bibir jurang kehancuran. RS tampak tidak mampu bertahan hadapi hantaman pandemi yang melonjak tinggi. Kejumawaan di awal pandemi yang enggan lockdown demi alasan pertumbuhan ekonomi akankah tetap ada? Sementara, cacat sistem kesehatan ini akan memberikan efek domino pada sistem yang lainnya. Cacat sistemik sudah dirasakan dan tak bisa diperbaiki.

Suara sumbang agar berdamai dengan Corona pernah terlontar, bahkan meminta rakyat menganggap Corona seperti istri juga terlontar. Namun, seruan keras lockdown tetap bergulir hingga saat ini. Berbagai tokoh kesehatan dan masyarakat pun turut meminta pemerintah memberlakukan lockdown. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI). Diwakilkan oleh Dr. dr. Erlina Burhan Sp.p (K) M.Sc., Ph.D. mengatakan, terjadi lonjakan pandemi karena dibukanya tempat wisata dan pergerakan masyarakat yang tinggi. Seharusnya pemerintah pusat memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara menyeluruh dan serentak terutama di Pulau Jawa (kompas.com, 19/6/2021).

Sementara Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra meminta pemerintah untuk menerapkan kebijakan radikal. Kebijakan itu ialah lockdown, berkaca pada negara-negara yang sukses atasi pandemi dengan kebijakan tersebut (cnnindonesia.com, 20/6/2021).

Masihkah negara abai dengan pandangan para ahli, pakar, dan tokoh? Sementara mereka satu suara meminta keseriusan negara untuk memutus rantai penyebaran virus Corona dengan lockdown. Apatah alasan ekonomi yang dikedepankan.

Cacat sistemik membuat urusan kian pelik. Sistem kapitalisme membawa kerusakan di setiap lini kehidupan. Sistem kesehatan kian di jurang kehancuran dihantam pandemi yang tak kunjung usai. Sistem ekonomi alih-alih mengatasi persoalan biaya, kondisi yang ada justru semakin sekarat. Faktanya, utang kian bertambah. Adapun sistem pemerintah semakin jelas menelantarkan rakyat.

Sistem kapitalisme yang diadopsi negara ini, hanya mendorong negara melepas jubah tanggung jawabnya terhadap rakyat. Justru, negara didorong menetapkan sejumlah tarif dan biaya. Hubungan negara dan rakyat layaknya penjual dan pembeli. Manfaat menjadi asas yang terhujam kuat. Maka, kesejahteraan rakyat dalam sistem kapitalisme hanyalah khayalan belaka.

Jika peningkatan kasus Covid-19 masih dianggap karena kelalaian dan ketidakpatuhan rakyat pada prokes, maka jelas rakyat dikambinghitamkan untuk menutupi kelalaian pemerintah dalam memelihara urusan rakyat. Jika hal itu terjadi, pemerintah justru menelanjangi diri atas ketidakmampuan menyelesaikan persoalan pandemi. Mereka tampak sibuk menjaga pertumbuhan ekonomi, tetapi mengabaikan kesehatan dan keselamatan jiwa rakyat.

Sudah saatnya pemerintah mengambil solusi dalam masalah sistem kesehatan yaitu solusi yang membawa perubahan sistematis dan mendasar. Dalam konsep sistem kesehatan Islam, negara bertanggung jawab penuh membiayai pengobatan para pasien penderita wabah secara gratis, profesional, dan mudah. Terjaminnya kesehatan rakyat merupakan kewajiban bagi negara. Riset dan pendirian laboratorium akan dibiayai negara, para medis dan tim ahli juga akan diberi gaji dan tunjangan yang memadai.

Lockdown atau karantina wilayah total akan diberlakukan. Siapa pun yang ada di dalam wilayah terdampak wabah tidak boleh keluar, sebaliknya siapa pun yang di luar wilayah terdampak wabah tidak boleh masuk. Dengan demikian, wabah tidak akan menyebar. Wilayah yang bebas dari wabah bisa mobilisasi normal sembari membantu negara dalam pembiayaan kesehatan selama wabah jika harta di baitul mal tidak mencukupi.

Cacat sistemik yang membuat urusan kian pelik membutuhkan perubahan sistem secepat mungkin, yakni perubahan dari kapitalisme menuju Islam tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perjuangan kaum muslim dalam mengubah sistem merupakan konsekuensi keimanan. Selain itu, perubahan sistem untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam akan meraih keberkahan dari langit dan bumi. Saatnya kaum muslim dan penguasa muslim bersatu memperjuangkan penerapan syariat Islam.
Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *