Kebijakan Ambigu Sekolah di Masa Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nurhayati (Anggota Komunitas Setajam Pena)

Kondisi negeri ini masih belum menunjukkan ke arah yang lebih baik. Pandemi Covid-19 setidaknya memperlihatkan pada kita, bagaimana sesungguhnya pemerintahan ini berjalan tanpa “peta”. Semua masalah tidak mendapat solusi yang menentramkan rakyat.

Dalam masalah pendidikan contohnya, sekolah dibedakan antara daerah zona merah, hijau dan zona kuning dalam menentukan di mana proses belajar akan berlangsung. Mengenai hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan hanya sekolah di zona hijau yang dapat melaksanakan proses belajar dengan system tatap muka. Artinya sekolah tersebut bisa buka kembali untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Siswa boleh kembali ke sekolah dengan penerapan protocol kesehatan yang ketat, jaga jarak, pakai masker, jaga kebersihan, maksimal 15 sampai 18 anak per kelas demikian disampaikan Plt Direktur Jendral PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Hamid Muhammad saat dihubungi (kontan.co.id, 4/6/2020).

Masalah Zona hijau yang dinyatakan oleh pihak pemerintah, apakah sudah betul-betul aman dan steril dari covid 19? Ada 4 (empat) zona dalam pengkategorian penyebaran covid 19. Zona hijau adalah kawasan yang dinyatakan bahwa daerah tersebut sudah tidak ada kasus atau infeksi covid 19. Meskipun daerah tersebut sudah di kategorikan di zona hijau tapi tidak ada jaminan bahwa saat sekolah di buka tidak terjangkit covid. Karena virus ini berjalan saat ada pergerakan manusia. Apakah ada yang menjamin anak-anak akan melaksanakan semua protocol kesehatan dengan displin. Anak belum faham benar tentang protocol kesehatan. Fitrahnya anak di saat bertemu dengan temannya dia akan langsung bergabung dengan temannya. Apakah semua sekolah bisa menyediakan tiap kelas untuk 15 anak. Bagaimana dengan para guru di saat harus mengajar beberapa kali saat tatap muka, karena sekolah di Indonesia rata-rata 20 ke atas. Berarti tenaga yang harus diberikan oleh sang pendidik harus lebih ekstra. Sekolah setiap akan masuk kelas untuk mengadakan proses belajar pihak sekolah harus mengadakan test rapid dahulu, mengukur suhu anak dan tenaga pendidik terlebih dahulu, karena kita tidak tahu bagaimana kondisi tubuh seseorang. Tentu ini akan memerlukan biaya yang lebih banyak lagi. Jadi perlu melakukan pengkajian lebih dalam lagi.

Sedang yang berada di zona kuning dan merah proses belajar mengajar melalui pembelajaran jarak jauh. Proses belajar dari rumah dengan menggunakan sarana internet atau via online. Sayangnya di negeri ini masih ada kesenjangan tentang teknologi ini. Mungkin untuk sekolah yang ada di kota besar, baik sekolah swasta maupun negeri dapat mengakses dengan mudah teknologi ini. Tetapi untuk sekolah yang berada di wilayah lain belum tentu dapat mengaksesnya. Kesulitan yang dialami bisa karena tidak adanya jaringan sehingga mereka harus keluar rumah saat mencari jaringan. Bahkan, mungkin saja yang tinggal di daerah pelosok akan naik pohon, pergi ke tempat yang lebih tinggi dan lain-lain untuk mendapatkan jaringan. Meskipun katanya seluruh pelosok negeri sudah dijangkau jaringan internet, namun faktanya masih banyak yang kesulitan mendapatkan jaringan. Atau bisa juga kesulitan dalam membeli kouta yang disebabkan masalah ekonomi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa si manis Covid-19 sangat memberi rasa pada perekonomian. Dan ada rasa khawatir dalam diri orang tua, apabila dalam diri anak-anak yang tidak bisa mengakses timbul rasa minder atau takut karena tidak bisa menyelesaikan tugas yang diberikan oleh sekolah. Jangan tambah membebani orang tua siswa dengan pembelian kouta, karena mereka sudah memikirkan ekonomi yang berkurang dari sisi pendapatan, listrik naik dan tidak ada subsidi dari negara selama masa pandemi ini. Atau meskipun ada, tapi tidak merata pelaksanaanya di lapangan.

Seandainya dalam negeri ini tidak ada perbedaan dalam kualitas sekolah tentunya akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menangani masalah pendidikan. Pihak negara bisa menggunakan pertelevisian (TVRI) yang nota bene adalah milik pemerintah untuk memberikan proses pembelajaran pada anak-anak sekolah. Hampir semua penduduk memiliki sarana ini. Bukankah ini lebih efisien dalam masalah biaya dan efektif bisa menjangkau semua wilayah. Bukankah lebih baik pemerintah menggunakan sarana ini? Seharusnya iya. Namun, faktanya saat ini televisi tidak digunakan untuk hal-hal yang mendidik. Lebih banyak ke arah mudhorat, makanya tidak heran banyak dari masyarakat “mengharamkan” televisi untuk keluarga mereka.

Negara bisa memberkan pembelajaran yang sama untuk tiap anak-anak yang duduk di tingkat SD di seluruh negeri dan seterusnya. Siapkan tenaga-tenaga pendidik yang benar-benar mengerti teknologi. Apabila masih belum maksimal, bisa menjalin kerjasama dengan televisi swasta membuat program yang lebih berkualitas.

Yang terpenting adalah pembelajaran mengenai tsaqofah dalam hal ini agama, agar kepribadian tidak semakin tergerus oleh teknologi. Memberikan pelajaran agama lewat siaran televisi dari guru agama yang benar. Dan lebih baik lagi pihak sekolah melalui para guru-gurunya untuk mengotrol murid dengan menanyakan kondisinya ataupun keluarganya. Bagaimanapun siswa juga membutuhkan dorongan di saat tinggal di tengah kondisi yang mengkhawatirkan. Wallahua’lam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *