Kebijakan Abnormal, Tanpa Melibatkan Sains dan Suara Rakyat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Pemerintah Indonesia, pada awal Juni 2020 mulai memberlakukan kebijakan yang disebut new normal atau tatanan kehidupan baru. New normal merupakan kebijakan untuk membuka tempat publik seperti sekolah, perkantoran, pelabuhan, bandara, tempat ibadah dan lain-lain dengan syarat tetap menjalankan protokol kesehatan.

Kebijakan new normal yang diterapkan saat ini, dirasa sangat terburu-buru untuk direalisasikan di tengah masyarakat. Pasalnya kasus Covid-19 di Indonesia saja masih cukup tinggi, dan grafik pasien positif Corona belum melandai. Seperti yang diutarakan Eijman Pradiptaji Kusuma (Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler (LMB)), kasus Covid-19 di Indonesia semakin bertambah jumlahnya, tercatat jumlah kasus konfirmasi mencapai 23.165 orang. Ditambah lambannya penanganan wabah yang dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan belum tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai untuk melakukan tes secara masif bagi masyarakat (Cncbindonesia, 25/5/2020)

Apabila penerapan new normal dipaksakan pada masyarakat, akibatnya sangat berbahaya. Di masa pandemi yang belum nampak adanya penurunan angka penderitanya, pemerintah melajukan diri melompati fase dalam penanganan kasus ini. Pada fase pertama saja Indonesia belum menunjukkan hasil yang baik, dikarenakan kasus Covid-19 tak dapat diatasi dengan penanganan dan pelayanan kesehatan yang memuaskan. Namun pemerintah malah bersikeras untuk masuk fase kedua yakni menjalankan roda perekonomian meski pandemi ini belumlah usai. Bahkan Indonesia belum masuk pada puncak pandemi, akan tetapi kebijakan new normal harus dijalankan (Kanalkalimantan.com, 28/5/2020)

Di beberapa negara new normal memang telah diterapkan, salah satunya adalah Singapura yang memberlakukan new normal karena kasus Covid-19 sudah di bawah belasan per harinya. Ditambah kesadaran masyarakat yang cukup tinggi kedisiplinannya serta adanya sanksi tegas dari pemerintah, sehingga jumlah kasus Covid-19 grafiknya semakin menurun.

Lain hal dengan Indonesia, ketika kasus Corona belum menurun bahkan cenderung naik setiap harinya. Dengan percaya diri memberlakukan new normal tanpa menyandarkan pada sains sebagai acuan data yang falid. Solusi dari pakar pandemi dianggap angin lalu. Suatu kebijakan yang tak berbasis data akurat, maka dapat dipastikan langkah kebijakannya akan menimbulkan masalah. Mengingat pergerakan kasus positif baru terus naik. Bahkan pemerintah bersiap menjalankan mekanisme new normal dengan bantuan serta dukungan TNI dan Polri dalam mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di lapangan, padahal hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah dan menyebabkan masyarakat berada pada posisi yang tidak nyaman.
Ketidaksabaran pemerintah dalam menentukan kebijakan bagi masyarakat, khsusunya di masa pandemi yang melanda bukanlah hal yang asing. Berbagai kebijakan yang pernah diterapkan tak membuahkan hasil yang diharapkan malah membuat masyarakat kebingungan dan dilanda rasa khawatir. Arah kebijakan yang dibuat pemerintah dengan prioritas menjalankan roda ekonomi dibandingkan keselamatan dan nyawa rakyatnya adalah hal yang tak bisa dibantah.. Semua kebijakan tersebut bersumber dari satu pangkal yang keliru yakni paham kapitalisme. Paham inilah yang tak banyak disadari telah mengalihkan arah pandang serta aktivitas bangsa dan negara. Sistem yang lahir dari ideologi bathil hanya mementingkan urusan keuntungan secara materi/kapital.

Perhatian pemerintah terpusat pada gerak laju ekonomi serta para pemilik modal saja, sedangkan untuk pencegahan dalam mengatasi wabah Corona bukanlah sebagai pusat perhatiannya. Sehingga masyarakat dipaksa untuk memulai kehidupan meski berada di tengah jurang wabah yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya.

Berbeda dengan Islam, sebagai agama sempurna dan paripurna. Islam dengan seperangkat aturannya mempunyai gambaran yang unggul dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, termasuk dalam situasi krisis Islam mampu mengatasinya. Ketika wabah melanda, khalifah sebagai pembuat kebijakan mengambil langkah cepat dan tepat yang harus dijalankan masyarakat. Wabah yang tengah menimpa saat itu diatasi dengan pemberlakuan lockdown yang artinya masyarakat berdiam diri di rumah tanpa adanya aktifitas di luar, kecuali dalam kondisi darurat. Masyarakat mengikuti aturan yang diberlakukan dengan penuh ketaatan, dan tanpa rasa khawatir. Sebab pemerintah dalam kepemimpinan Islam menjamin seluruh kebutuhan pokok masyarakat tanpa terkecuali. Aturan yang diberlakukan tak lepas dari tuntunan hukum syariat, sehingga khalifah dan masyarakat bersinergi saling bahu-membahu mengatasinya.

Islam pun memberikan porsi bagi para pakar dalam mengambil kebijakan negara untuk menyelesaikan masalah masyarakat yang rumit dan membutuhkan analisis mendalam yang disandarkan pada sumber hukum yakni Alqur’an, as-sunah, ijma sahabat dan qiyas. Sehingga khalifah tak akan salah menentukan kebijakan dan terburu-buru dalam menerapkannya. Dengan syariat Islam sebagai aturan, wabah akan lebih mudah dikendalikan. Tentu tanpa menganggu syiar Islam dan ibadah kaum muslim, nyawa manusia pun bisa terselamatkan dan roda ekonomi terus berjalan. Menerapkan karantina merupakan tuntunan syariah Islam saat wabah tengah melanda di suatu wilayah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu.” (HR Bukhari)

Tindakan karantina atas wilayah yang terdampak wabah tentu memiliki tujuan agar wabah tidak menyebarluas ke daerah lain. Karenanya suplay berbagai kebutuhan untuk daerah terdampak harus terjamin. Sedangkan daerah yang aman dalam artian tidak terdampak wabah, bisa tetap berjalan normal dan tetap produktif. Daerah-daerah produktif dapat menopang daerah yang terjangkit dalam pemenuhan kebutuhan maupun penanggulangan wabah. Dengan begitu perekonomian secara keseluruhan tidak terdampak.

Masyarakat akan taat dengan aturan yang diberlakukan dalam pencegahan wabah agar tidak meluas. Dengan cara menjaga jarak antar orang, dengan physical distancing seperti yang diterpakan Amr bin ‘Ash dalam menghadapi wabah Tha’un di Palestina. Kemudian harus mengetaui siapa yang sakit dan yang sehat.

Adapun cara mengetahuinya dilakukan 3T (test, treatment, tracing). Dilakukan tes yang akurat secara cepat, masif dan luas. Lalu dilakukan tracing kontak orang yang positif dan dilakukan penanganan lebih lanjut. Mereka yang positif dirawat secara gratis ditanggung oleh negara. Jadi, dengan menerapkan langkah ini akan mudah diketahui siapa yang sakit dan sehat. Mereka yang sehat akan tetap beraktivitas seperti biasanya.

Dengan prosedur sesuai syariah, nyawa dan kesejahteraan rakyat tetap terjaga. Agama, harta tetap terpelihara. Pemerintah yang berjalan di bawah aturan Islam tak dikendalikan oleh para pengusaha. Kebijakan yang diterapkan semata hanya untuk memelihara dan mengayomi rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Sehingga wabah yang melanda suatu wilayah akan mudah dikendalikan dan kebijakan yang dikeluarkan khalifah pun tidak bertentangan dengan akurasi data sains sebagai bahan pertimbangan. Sehingga wabah yang melanda segera teratasi dengan bimbingan syariah yang dikombinasikan dengan sains.

Wallahu a’lam bi ash shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *