Keberpihakan Pemerintah Saat Pandemi, Demi Pendidikan atau Investasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Anggraeni

Semenjak diumumkan adanya pasien positif covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020, perlahan seluruh sendi kehidupan ikut terdampak oleh efek virus tersebut. Tidak terkecuali bidang pendidikan. Diawali dari kampus-kampus yang melakukan kegiatan perkuliahan secara online atau daring. Selanjutnya cara pembelajaran tersebut diikuti jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA.

Pembelajaran daring yang dilakukan dengan tujuan mencegah penyebaran covid-19 bukan tanpa menimbulkan masalah baru. Mayoritas siswa merasa kesulitan memahami materi pelajaran.

Kendala lain pun bermunculan. Mulai sulitnya mendapatkan jaringan yang mendukung hingga membengkaknya pengeluaran untuk membeli kuota. Bahkan banyak yang tidak memiliki gawai untuk mengikuti pembelajaran daring.

Hingga kini banyak fakta yang muncul terkait upaya mengatasi kendala pembelajaran daring. Mulai dari membangun rumah pohon, memanjat pohon, hingga naik turun bukit. Semua ditujukan demi memperoleh sinyal. Hal itu menjadi berita yang banyak berseliweran saat ini. Bahkan adanya siswa yang tetap ke sekolah meskipun sendirian karena tidak memiliki gawai untuk mengerjakan tugas sekolah.(https://portaljember.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-16634136)

Hal ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah. Mengingat tugas pemerintah tidak sekedar membuat kebijakan atau peraturan. Lebih dari itu, pemerintah harus mampu menyelesaikan masalah yang muncul dari kebijakan yang diambil. Terlebih urusan pendidikan yang merupakan perkara penting.

Namun jauh panggang dari api, kebijakan yang di ambil pemerintah justru terkesan tidak mempedulikan masalah yang timbul dari pembelajaran daring. Bahkan anggaran pendidikan justru dipotong sebesar 5 Triliun. Anggaran tersebut dipotong dari APBN 2020 yang diterima Kemendikbud dari sebelumnya Rp75,70 triliun menjadi Rp70,72 triliun.(https://nasional.okezone.com/read/2020/07/15)

Sebaliknya sikap pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur justru memberikan dukungan penuh. Pemerintah dengan jelas menyebutkan bahwa pembangunan infrastuktur akan tetap berjalan di tengah pandemi covid-19. Sebut saja pembangunan tol Trans Sumatera yang membutuhkan dana mencapai 500 Triliun(https://nasional.kompas.com/read/2020/07/08).

*Keberpihakan Pemerintah Kepada Pemodal Bukan Kepada Rakyat*

Pembangunan infrastruktur acap kali disebut sebagai wujud peningkatan taraf ekonomi. Namun nyatanya pendanaan infrastruktur di Indonesia mayoritas berasal dari investor swasta bahkan asing. Sebagaimana kita ketahui pemerintah sejak awal telah membuka kran investasi sebesar-besarnya.

Jika pendanaan infrastruktur berasal dari investor bisa dipastikan mereka menginginkan adanya keuntungan yang akan mereka dapatkan dimasa mendatang. Seperti halnya pembangunan tol, ketika sudah beroperasi uang yang dibayarkan pengguna tol akan masuk kantong para investor. Sehingga pembangunan infrastruktur yang di gaungkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat hanyalah isapan jempol semata. Karena nyatanya pembangunan tersebut hanyalah untuk semakin menambah pundi-pundi uang para investor.

Maka sikap pemerintah yang tetap bersikukuh untuk menjalankan pembangunan terlebih saat lemahnya ekonomi rakyat akibat pandemi merupakan bukti nyata keberpihakan hanya kepada pengusaha.

Hal ini sejalan dengan yang di sampaikan Syahrul Aidi, anggota komisi V “Pembangunan infrastruktur tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan bukanlah hal yang dibutuhkan masyarakat saat menghadapi masa-masa sulit ini” (https://nasional.kompas.com/read/2020/06/11).

Sebaliknya pendidikan salah merupakan kebutuhan komunal mendasar bagi masyarakat. Yang keberadaannya dan penunjang-penunjangnya harus senantiasa dipenuhi oleh negara. Namun pemerintah tidak memberikan solusi apapun terhadap masalah yang timbul dari pembelajaran daring. Jangankan memberikan sarana prasana untuk kebutuhan pembelajaran daring di setiap daerah, pemerintah justru memangkas dana pendidikan.

*Islam dan Pendidikan*
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan komunal primer yang wajib disediakan negara. Artinya negara wajib memastikan setiap rakyat dapat mengakses pendidikan. Akses dalam hal ini menyangkut semua aspek, jenjangnya, biayanya, jaraknya, jumlahnya, fasilitasnya, dan lain-lain.

Tentu saja untuk mewujudkan akses pendidikan bagi semua rakyat bukan hal yang mudah dan murah. Aturan Islam juga telah menyokong dengan adanya petunjuk pembiayaan pendidikan.

Pendidikan dibiayai oleh harta Baitul Maal, yaitu pos keuangan yang bersumber dari fai’, kharaj, dan harta kepemilikan umum. Kepemilikan umum dalam Islam meliputi kekayaan alam yang sifatnya tidak dapat dimiliki oleh perorangan. Misalnya hutan, lautan, barang tambang, dan lain-lain.
Sebagaimana sabda Rasul:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Dapat dibayangkan bahwa pemasukan negara dari kekayaan alam ini pasti akan melimpah. Sangat cukup untuk membiayai kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Keseriusan islam dalam pembiayaan pendidikan juga sangat gamblang. Apabila dalam kondisi mendesak kas negara mengalami kekosongan, maka negara berhak menarik pajak dalam rangka tetap membiayai infrastruktur pendidikan yang prioritas dan tetap menunaikan gaji para tenaga pendidikan.

Bahkan guna mempercepat pemenuhan kebutuhan tersebut, negara boleh berhutang kepada orang kaya sembari menunggu selesainya penarikan pajak kepada kaum muslimin. Tentu saja, hutang ini sifatnya sementara dan tidak mengandung unsur riba.

Prinsip inilah yang akan dipegang oleh pemimpin yang takut kepada Allah. Ia menjelankan kepemimpinannya sesuai dengan syariat islam. Pemimpin itu memahami pentingnya pendidikan serta syariat yang mengatur tentangnya.

Semua itu hanya bisa terwujud ketika syariat islam diterapkan secara kaaffah. _Wallahu ‘alam bish shawab._

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *