Oleh: Dede Yulianti (Revowriter Bogor)
Telah nyata malapetaka dunia dalam peradaban kapitalisme sekular. Salah satunya nampak pada lonjakan jumlah penderita penyakit ganas HIV AIDS, yang terus meningkat setiap tahunnya. Ironisnya, di Jawa Barat kalangan ibu rumahtangga menempati peringkat kedua, setelah remaja.
Dilansir dari situs berita online Tagar.id, Komisi Penanggulangan AIDS melaporkan data per 2005 sampai 2019, jumlah kumulatif kasus infeksi HIV di Jawa Barat kurang lebih 36.000. Berdasarkan data tersebut, 10% diantaranya atau kurang lebih 3.600 orang adalah kelompok ibu rumahtangga (IRT). Fakta yang tentu patut disesalkan, sebab menembus angka ribuan bukanlah jumlah yang sedikit. Padahal ibu adalah jantungnya keluarga, yang menopang pengurusan, perawatan, serta pendidikan generasi penerus.
Menurut Ketua Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat, Iman Teja Rachman, dari hasil penelitian di lapangan faktor utama yang menyebabkan trend jumlah kasus infeksi HIV pada kelompok IRT di Jawa Barat terus mengalami peningkatan, akibat perilaku suami yang suka jajan seks. Selain itu, dipengaruhi juga oleh perubahan perilaku suami istri yang suka dan menganggap lumrah atau biasa bergonta-ganti pasangan, termasuk melakukan hubungan seksual yang menyimpang (threesome dan lain sebagainya). Parahnya, ini pun terjadi kalangan remaja atau usia produktif.
Di balik tindakan threesome bukan hanya karena uang saja. Tetapi, gaya hidup, sekedar mencari hiburan dan variasi dalam berhubungan seksual, dan itu terjadi begitu saja. Na’uzubillahi min dzalik. Di satu sisi, ibu menjadi korban, tapi di sisi lain ibu menjadi pelaku penyimpangan seksual.
Kebebasan Berperilaku Akar Penyebabnya
Bencana tatanan sosial yang lahir dari rahim peradaban sekular sungguh nyata. Saat hak Tuhan untuk mengatur manusia dicabut, kebebasan (liberalisme) yang dianut. Prinsip kebebasan inilah pangkal seluruh persoalan. Di mana, manusia menghempaskan perkara halal haram dan pahala dosa. Sehingga tercabut rasa takut terhadap Tuhannya. Nafsu pada akhirnya menggeser kedudukan Sang Maha Kuasa. Konsekuensinya, kerusakan moral dan sosial menghantui kehidupan manusia. HIV Aids sebagai momok penyakit menakutkan tak kunjung lenyap, malah semakin deras penyebarannya.
Bagaimana mungkin bisa musnah, jika akar penyebabnya terus dipelihara. Kebebasan berperilaku tak jua diharamkan. Zina yang ditempatkan Tuhan sebagai perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan, terus dianggap sebagai hak asasi setiap manusia, ranah privasi yang tak perlu diatur negara. Padahal efek pelacuran menyasar kesehatan kaum ibu rumahtangga. Parahnya lagi, penyimpangan seksual semakin menjadi akibat liberalisme ini. Sampai-sampai IRT-pun menjadi pelakunya.
Diperparah lagi oleh negara yang turut menganut sekularisme. Upaya penanggulangan yang dilakukan tidak keluar dari paradigma sekularisme liberalisme. Semata hanya melihat dari aspek kesehatan, bukan agama. Alhasil penanggulangan HIV AIDS jauh panggang dari api. Bukannya padam, justru semakin menyala-nyala.
Islam Mencabut Penyakit Dari Akarnya
Begitu sempurna dan paripurnanya aturan Islam, hukum tidak dibuat sekadar merespon keburukan yang terlanjur terjadi. Justru upaya preventif (pencegahan) sangat efektif mengawal kehidupan manusia agar selalu harmoni. Satu contoh saja, hukum perzinaan. Jauh berabad-abad lamanya, sebelum ditemukan penyakit kelamin menular dan mematikan HIV AIDS, Islam secara tegas telah mengharamkan zina. Tanpa perlu menunggu dampak buruknya benar-benar terjadi.
Di samping itu, seluruh hal-hal yang memicu munculnya syahwat di tengah masyarakat dilarang. Hukum pergaulan laki-laki dan perempuan, ditutupnya semua akses pornografi dan pornoaksi, aktivitas pacaran dilarang, masyarakat pun disibukkan dengan kegiatan yang bermaslahat, bukan diperdaya urusan selangkangan.
Diharamkannya zina serta seluruh perilaku seksual menyimpang, menutup semua pintu masuk terjadinya kerusakan sosial. Termasuk penularan HIV AIDS.
Pelaksanaan hukuman rajam bagi pelaku zina yang tercantum dalam Al-Qur’an, surat An Nuur ayat 2 haruslah diberlakukan oleh penguasa. Hukuman rajam hingga mati pada pelaku yang telah menikah terbukti efektif mencegah penularan penyakit mematikan ini. Hukuman yang layak, bagi orang yang menikmati syahwat tanpa peduli halal haram. Sebab dalam Islam pelaku zina dianggap pelaku kriminal yang melanggar hukum Tuhan.
Inilah aturan yang bersumber dari Allah SWT. Tak butuh uji kompetensi. Sebab pernah nyata-nyata menyelamatkan kehidupan manusia sepanjang 14 abad lamanya. Tentu saja keterikatan pada hukum syariat tak hanya berlaku bagi individu, dengan menjadikan keimanan terhadap aqidah Islam sebagai kontrol diri. Lebih dari itu dibutuhkan penerapan syariat oleh negara yang akan berdampak nyata pada penanggulangan HIV.
Walhasil sudah selayaknya kita mengambil hukum-hukum Allah SWT secara keseluruhan, tanpa kecuali. Hingga Rahmat bagi semesta tercipta. Bukan hanya kaum ibu yang terlepas dari nestapa, tapi setiap jiwa manusia terbebas dari derita. Penanggulangan HIV AIDS pun tak akan menjadi isapan jempol semata.