Kebakaran Depo-Plumpang, Bagaimana Solusinya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kebakaran Depo-Plumpang, Bagaimana Solusinya?

Salsabila

(Pegiat Literasi)

Kebakaran hebat terjadi di Depo milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara pada Jumat malam (03/03/2023) sekitar pukul 20.11 WIB. Selain menghanguskan sejumlah bangunan, kebakaran ini juga menyebabkan 17 orang meninggal dunia, lebih dari 50 orang luka-luka, dan ratusan orang lainnya mengungsi. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menanggapi peristiwa kebakaran yang terjadi di Depo milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara. Menurut dia, peristiwa kebakaran itu menjadi yang ketiga kalinya terjadi. Dan kejadian yang berulang ini membuktikan bahwa Pertamina tidak menerapkan sistem tata kelola pengamanannya yakni tidak sesuai dengan standar internasional (sistem keamanannya). Karena aset yang strategis dan berisiko tinggi seperti kilang dan depo itu mustinya memiliki pengamanan yang sangat ketat. Dan harusnya zero acctident. Dia juga mempertanyakan apakah pipa-pipa minyak yang dibangun pada 1971 itu sudah diganti atau belum. Selain itu, pada saat dibangun tahun 1971, daerah tersebut masih sepi, belum banyak perumahan, tapi kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman.

Sejarah Tanah Merah,Plumpang

Kawasan Tanah Merah merupakan sebutan wilayah yang meliputi tiga kelurahan yakni Rawa Badak Selatan, Tugu Selatan di Kecamatan Koja, serta Kelapa Gading Barat di Kecamatan Kelapa Gading. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976, Tanah Merah merupakan milik negara dengan status hak guna bangunan (HGB) atas nama Pertamina. Total tanah negara di Tanah Merah mencapai 153 hektar. Namun pada kenyataannya, area yang digunakan sebagai Depo Pertamina Plumpang hanya sekitar 70 hektar. Sisanya, sebanyak 83 hektar diokupasi oleh warga.

Pertamina memiliki lahan di Tanah Merah sejak tahun 1968 dengan membelinya dari PT Mastraco. Pada tahun 1974 Pertamina mulai memagari tanah tersebut. Namun pada tahun 1980-an warga mulai banyak menghuni kawasan yang belum dimanfaatkan oleh Pertamina. Inventarisasi yang dilakukan pada tahun 1986 mencatat, ada 344 bangunan tumbuh di tanah itu dengan sebanyak 1.284 keluarga tinggal. Jumlah tersebut terus melonjak dari waktu ke waktu.

Seiring dengan pertambahan penduduk, muncul sejumlah permasalahan antara Pertamina dan warga Tanah Merah. Di antaranya rencana penggusuran yang urung dilakukan.

Polemik relokasi kawasan Tanah Merah, Plumpang

Peristiwa kebakaran yang melanda depo Pertamina Plumpang yang merembet ke permukiman menurut Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, lokasi Depo Pertamina seharusnya memiliki zona penyangga selebar 50 meter dari permukiman warga. Namun, di sana jarak antara depo dan permukiman hanya berbataskan tembok. Sehingga, ketika depo mengalami kebakaran kemarin, rumah-rumah warga di Tanah Merah Bawah langsung tersambar api. Meski saat ini status lahan masih sengketa, seharusnya tidak boleh ada permukiman warga yang berada di dekat terminal BBM milik perusahaan pelat merah tersebut.

Hal ini pun, juga menjadi pukulan telak bagi Pertamina dan warga sekitar depo. Selain menjadi pihak yang terpukul, Pemerintah dihadapi dengan pekerjaan besar dalam melihat letak pemukiman yang berada dekat dengan objek vital nasional. Kondisi ini sejatinya telah menjadi polemik berkepanjangan, apalagi jika berbicara tentang kepemilikan lahan. Polemik tentang status kepemilikan lahan antara Pertamina dan warga dapat dimaknai menjadi kontestasi ruang yang bermuara pada pilihan untuk merelokasi warga atau Depo Pertamina.

Kebijakan-kebijakan yang datang dari Pemprov DKI Jakarta, Kementerian BUMN serta Pertamina selaku regulator dalam objek vital nasional dinanti demi untuk mengatur ruang kehidupan masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan objek vital nasional.

Di satu sisi, warga masyarakat memerlukan lahan tinggal di tengah ruang yang makin sempit. Di sisi yang lain, legalitas tanah tempat masyarakat tinggal adalah milik negara, yakni Pertamina. Di dalam dua kondisi ini, yakni masyarakat dan pemerintah maka menarik untuk melihat tentang sebuah pilihan yang sulit ketika mencari solusi atas permasalahan legalitas lahan dan tentunya solusi yang diberikan tidak akan memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.

Solusi Islam

Populasi masyarakat yang setiap hari selalu bertambah banyak, membutuhkan penataan ruang kota agar populasi masyarakat yang selalu bertambah ini bisa hidup dalam keadaan yang optimal dengan lingkungan hidupnya. Hal ini sangatlah penting karena menyangkut hajat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tersebut.

Dalam Islam penataan tata kelola kota dan adanya pemetaan kawasan pemukiman bagi masyarakat dan kawasan vital nasional adalah menjadi tanggung jawab Negara. Sehingga sengketa lahan antar individu satu dengan individu lainnya, atau masyarakat dengan pemerintah bisa diminimalisir bahkan dihilangkan.

Ibnu Ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik menjelaskan tentang enam syarat dalam memilih lokasi kota. Syarat-syarat tersebut adalah sumber daya air tawar yang mencukupi, pasokan bahan makanan, lingkungan dan iklim yang bagus, dekat dengan padang pengembalaan dan pasokan kayu bakar, membentengi pemukiman dari musuh dan pengacau, dan membangun tembok keliling untuk melindungi penduduknya. Bahkan sampai pada skala yang paling kecil yaitu pemukiman. Kota dan ruas jalannya tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari.

Lokasi kota yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, kemudian dibangun berdasarkan sistem tata kota Islam. Dalam membangun kota ini, Islam mengatur tentang penataan bangunan kota. Terdapat sejumlah bangunan wajib yang dibangun, yang menjadi pondasi penting pembangunan kota. Seperti yang dimuat dalam Ahkam Al-Bina, bangunan-bangunan penting penopang kehidupan kota menjadi standar sistem tata kota Islam. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya adalah masjid, ribath atau mushola, benteng, tembok, jembatan, terowongan air atau yang sering disebut kanal, serta bendungan.

Selain itu dianjurkan pula untuk dibangun menara adzan, pasar, tempat tinggal serta kawasan pertokoan. Kemudian sisanya diserahkan kepada para penduduk untuk membangun rumahnya (kawasan pemukiman).

Pemetaan tata kelola kota ini, tentu dapat terwujud ketika hukum-hukum Islam diterapkan secara kaffah oleh individu, masyarakat dan Negara.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *