KDRT Terus Berulang, Kapitalisme Gagal Lindungi Keluarga
Ruji’in Ummu Aisyah
(Pegiat Opini Lainea Konawe Selatan)
Tidak terlepas dari permasalahan kekerasan rumah tangga (KDRT) yang selalu berulang dan tak kunjung usai. Sebuah pernikahan yang suci yang seharusnya terbangun dengan penuh kasih sayang dan keharmonisan namun harus berganti dengan kegelapan yang penuh duri. Sangat disayangkan jika memang kedua insan tidak dipupuk dengan fondasi akidah agama yang kuat maka akan mudah tergoyahkan, selain itu penegakkan hukum kasus KDRT masih belum teratasi dan bahkan bisa dibilang tidak terwujud dengan optimal.
Seperti dilansir Rmol.id Polsek Gunung Agung, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Provinsi Lampung, mengamankan HS (33), pelaku dugaan Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (9/9/2024).
Juga dikutip Jurnalpantura.id, Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) Kabupaten Kudus mengungkapkan bahwa kasus kekerasan di Kudus didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketua JPPA Kabupaten Kudus, Noor Haniah, menginformasikan bahwa dari total 31 kasus kekerasan yang tercatat sejak Januari hingga awal September 2024, sekitar 30 persen di antaranya adalah laporan KDRT yang berkaitan dengan judi online dan perselingkuhan (4/9/2024).
Maraknya kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) menunjukkan rusaknya bangunan keluarga. Keluarga yang seharusnya memberikan ketenangan, ketentraman dan tempat ternyaman bagi keluarga, namun kini keluarga tidak lagi memilikinya. Mestinya laki-lakilah atau kepala keluargalah yang menjadi pelindung dan mampu menghadirkan sakinah, mawadah dan warahmah di dalam rumahnya. Sedangkan istri yang mengatur rumah tangga dengan memahami tugas-tugas sebagai ibu dan tidak menuntut di luar batas kemampuan suami. Namun faktanya kini tak mampu berperan sebagaimana semestinya. Hal ini tentunya dilatarbelakangi berbagai faktor. Terutama himpitan ekonomi dan minimnya pemahaman agama.
Sudah seharusnya laki-laki dan perempuan sebelum menjalani mahligai pernikahan atau berumah tangga untuk menyiapkan diri terlebih dahulu dengan banyak belajar tentang persoalan rumah tangga, kewajiban-kewajiban antara suami dan istri, hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami dan istri, bagaimana mengelola hati, dan paling penting adalah menanamkan bahwa pernikahan itu untuk ibadah kepada Allah SWT. Jika disandarkan pada semua ini, tentu tidak akan terjadi seperti kasus-kasus yang ada.
Selain itu, negara juga harus hadir untuk menjadi penjaga kewarasan dari keluarga ini. Jika keluar sudah hancur maka negara juga hancur. Mengapa demikian? Karena sejatinya ibu adalah tiang negara. Merekalah pembentuk generasi dan generasi adalah pelanjut estafet kepemimpinan ke depan. Sudah bisa dipastikan jika seorang ibu sudah tidak dilindungi lagi bagaimana dengan anak-anaknya?
Akan tetapi lagi-lagi tidak bisa kita berharap sama negara hari ini. Karena sistem hari ini mengadopsi sistem kapitalisme sekularisme. Sistem kapitalisme dengan cara yang sekuler, sangat mempengaruhi sudut pandang masyarakat. Kususnya dalam hubungan keluarga. Adanya dorongan para suami dan istri untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga hingga tak tersisa waktu tuk merawat keharmonisan dalam keluarga. Masing-masing sibuk mengejar kebahagiaan semu yang berhias gemerlap duniawi yang mengagungkan materi dan mengorbankan rasa cinta itu kepada Allah SWT, sehingga tidak heran jika hasilnya mengecewakan dan membuat suami dan istri tak bisa lagi mengendalikan ego dan amarah yang selalu diselingi dengan pertengkaran bahkan KDRT.
Sekulerisme kapitalisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang hari ini diterapkan, faktanya tidak hanya memakan korban tetapi juga sampe mengakibatkan kerusakan tatanan pondasi keluarga. Berbagai virus yang berhasil dicekokkan oleh kapitalisme kepada masyarakat, nyatanya telah membuahkan kerusakan akidah. Beginilah ketika agama tidak dipakai dalam mengatur negara juga kehidupan. setiap langkah, perbuatan, ucapan pada akhirnya menjadi rusak karena hanya bisa dikendalikan oleh hawa nafsu. Mirisnya kekerasan saat ini yang terjadi dianggap sebagai ekspresi kebebasan bagi siapapun termasuk para suami kepada istrinya. Adanya UU P-KDRT yang sudah disahkan sejak 20 tahun lalu nyatanya sama sekali tidak memberikan solusi.
Dalam Islam, negara bertanggung jawab terhadap setiap warganya. Selain itu mengedukasi tentang pernikahan yang sesuai dengan Islam. Landasan yang dijadikan fondasi utama adalah akidah, di mana fondasi akidah ini akan terus ditanamkan pada umat. Karena akidahlah yang menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi berbagai ujian termasuk dalam pernikahan.
Jika kesejahteraan saja d jamin dalam Islam, akidah pun terus ditingkatkan di lingkungan masyarakat Islam, aktivitas amar makruf berjalan maka tentu peluang KDRT dalam pernikahan akan tersingkirkan. Maka sebagai muslim, tidak ada pilihan lain selain kembali kepada way of life (cara hidup) yaitu Islam. Yang tentu saja memiliki solusi komprehensif (global) atas seluruh masalah kehidupan.
Waallahu’alam Bish-shawwab