KDRT dan Monsterisasi Syariah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)

 

Pembahasan soal kekeasan dalam rumah tangga (KDRT) sempat mengemuka kembali. Isu KDRT menjadi perbincangan hangat tatkala ada penceramah yang juga seorang artis mengangkatnya dalam salah satu konten tausiyahnya. Secara singkat dalam tausiyah tersebut dikisahkan tentang seorang istri yang memilih tidak menceritakan kepada orangtuanya tentang perbuatan suami yang telah memukulnya. Kondisi tersebut akhirnya membawa keridhoan suami kepada istri. Namun tanggapan yang diterima oleh khalayak tidak semuanya mengarah pada resolusi dalam rumah tangga melainkan lebih mengarah pada opini untuk menormalisasi KDRT.

Tanggapan bermunculan dari beberapa pihak terkait opini normalisasi KDRT dalam salah satu konten ceramah. Menurut Ketua Tanfidziyah PBNU Alissa Wahid, KDRT merupakan persoalan yang tidak boleh ditutupi karena dipandang sebagai aib. Bahwa KDRT seharusnya dilihat sebagai salah satu bentuk kekerasan dan itu harus diselesaikan (tribunnews.com, 05/02/2022). Tanggapan senada juga disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan, Utang Ranuwijaya. Menurutnya, KDRT merupakan perbuatan yang terkatagori penganiayaan dan mrugikan orang lain terlebih itu tidak pernah diajarkan dalam ajaran Islam.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah terminologi yang hari ini lekat dengan kehidupan rumah tangga. KDRT memberi peluang untuk terjadinya penganiyaan dan kerusakan fisik yang dialami oleh suami atau istri. Tentu KDRT jelas mendatangkan  mudharat jika dibiarkan dan diberi pembenaran untuk dilakukan. Karena dengan adanya kekerasan berarti meniscayakan penganiayaan hingga dapat berujung pada kerusakan. Hanya saja ketika istilah KDRT ini juga diidentikkan dengan penerapan hukum syariat dalam hal perkawinan maka tentu perlu ditelaah lebih lanjut. Hal ini penting agar tidak ada pihak yang keliru dalam memahami syariat Islam secara utuh.

Syariat Islam telah memberikan pengaturan yang sempurna dalam seluruh aspek kehidupan. Syariat Islam memberikan seperangkat aturan yang tentu dibutuhkan manusia dalam menyelesaikan problematika kehidupan mereka. Karenanya jika manusia mengambil hukum Islam maka pasti akan menuntaskan setiap persoalan hingga ke akarnya. Sebaliknya, ketika manusia enggan dan berpaling dari aturan Islam maka sejatinya mereka tidak akan pernah menemukan jalan keluar. Justru dengan menjauh dari syariat Islam akan semakin menambah pelik persoalan yang ada, termasuk dalam perkawinan.

Islam memberikan tuntunan yang jelas kepada suami dan istri dalam membangun biduk rumah tangga. Syara’ telah menetapkan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban suami serta istri. Penetapan hak dan kewajiban ini bersumber langsung dari Asy-Syari’, Allah SWT. Ketika dalam pelaksanaannya kedua belah pihak mampu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka masing-masing maka niscaya akan terpenuhilah haknya, begitupula sebaliknya. Hubungan yang terjalin diantaran suami dan istri juga didasarkan pada dorongan persahabatan atau muasyarah bil ma’ruf sebagaimana firman Allah dalam QS An-Nisa ayat 29.

Kehidupan rumah tangga yang merujuk pada syariat Islam tentu diliputi dengan kehangatan, Kedua belah pihak, baik suami maupun istri saling memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing. Adanya kebolehan bagi suami untuk memukul istri adalah persoalan yang tidak dapat dilihat sepihak ketika pemahaman akan hak dan kewajiban ini belum terbentuk. Karena itu memaknai kebolehan suami memukul istri haruslah dengan sudut pandang hukum Islam yakni dalam rangka ta’dib atau memberikan pengajaran. Kebolehan memukul dalam pandangan syara’ tidak boleh menimbulkan bekas dan sakit. Tentu kondisi semacam sangat bertolak belakang dengan realitas KDRT.

Umat Islam haruslah menyadari setiap upaya menjauhkan mereka dari pemahaman Islam yang benar. Mengaitkan isu KDRT dengan penerapan syariat Islam adalah bentuk monsterisasi agar umat menjadi takut dan khawatir menyuarakan Islam. Hukum Islam adalah solusis bagi kehidupan manusia ketika ditegakkan secara integral oleh institusi negara. Persoalan interaksi antara suami dan istri juga tidak luput dari peran besar negara dalam melakukan riayah terhadap individu rakyatnya. Sehingga segala bentuk kewajiban yang tidak tertunaikan dan hak yang tidak terpenuhi akan dikawal secara berkesinambungan oleh negara. Inilah gambaran kesempurnaan sistem Islam.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *