Kasus Novel Baswedan, 3 Tahun Mencari, 1 Tahun Dibui, Adilkah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Evi Sulistiani

Kasus penyiraman air keras Novel Baswedan kembali viral setelah jaksa menuntut 2 terdakwa penyiraman air keras yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis hanya dituntut dengan pidana 1 tahun. Kenapa hukumannya sangat ringan?

Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.

“Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen,” ujar jaksa saat membacakan tuntutan.

Ketika dimintai keterangan seusai persidangan, jaksa mengatakan alasan selanjutnya memberikan tuntutan ringan adalah terdakwa mengakui perbuatannya. Selain itu, kedua terdakwa telah meminta maaf kepada Novel dan keluarga. (news.detik.com,11/06).

Mengetahui ringannya tuntutan jaksa menjadikan masyarakat emosi dan banyak yang meluapkan emosinya di media sosial dan mereka menganggap apa yang menjadi alasan jaksa tersebut tidak masuk akal. 2 terdakwa mengaku tidak sengaja menyiram Novel dengan air keras, karena pengakuan itu kata #gaksengaja sempat viral di Twitter dan merajai tranding topic.

Banyak artis dan tokoh masyarakat yang turut berkomentar soal tagar #gaksengaja, diantaranya komika Bintang Emon dan Rocky Gerung. Lewat akun pribadinya @bintangemon menyindir hasil tuntutan. “katanya nggak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka? Kan kita tinggalnya di bumi. Gravitasi pasti kebawah, nyiram badan nggak mungkin meleset ke muka, kecuali pak Novel Baswedan emang jalannya handstand bisa lu protes” Ujarnya dalam video yang berdurasi 1 menit 43 detik tersebut. Sindiran bintang emon ini seolah mewakili suara hati banyak orang sehingga ratusan ribu warganet menyukai dan me retweet video tersebut.

Sementara itu, pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya. Hal ini disampaikan oleh Rocky Gerung pasca menyambangi kediaman Novel Baswedan bersama sejumlah tokoh lainnya di Jalan Deposito T8, RT 03/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Minggu, 14 Juni 2020.

“Saya sengaja datang ke sini, sengaja untuk melihat apa di balik butanya mata Pak Novel ini. Kita tahu Pak Novel sendiri sudah tidak peduli dengan butanya mata dia karena sudah bertahun-tahun. Jadi yang bahaya hari ini adalah tuntutan jaksa ini sebagai air keras baru buat mata publik dan mata keadilan,” jelas Rocky, Minggu 14 Juni 2020.

Rocky menilai tuntutan 1 tahun oleh jaksa penuntut dalam persidangan merupakan tuntutan yang irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai “New KPK” untuk menghalangi mata public dibutakan oleh air keras kekuasaan. (liputan6.com, 14/06).

Masyarakatpun merasa sangat geram karena sejak awal kasus ini ditangani secara tidak serius oleh aparat dan banyak ketidakadilan yang nampak secara terang-terangan pasalnya aparat penegak hukum memberikan keputusan yang berbeda untuk jenis kasus yang sama . banyak Kasus penyiraman air keras pada kasus-kasus sebelumnya yang hukumannya lebih berat, rata-rata vonis hukuman 10 tahun keatas. Peradilan terhadap Novel Baswedan dinilai irasional dan sekedar memenangkan kemauan penguasa.

Lantas bagaimanakah keadilan dalam sistem Islam ?

Mencari keadilan dalam sistem demokrasi sangatlah mustahil, kasus ini menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan demokrasi (legislatif, eksekutif dan yudikatif) telah menunjukkan kegagalannya dalam memberantas tuntas korupsi dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
Perjalanan kasus novel lebih berat karena 3 tahun mencari pelaku hanya 1 tahun dibui. Sistem peradilan dalam sistem Demokrasi saat ini sangat menunjukkan ketidakadilan karena system ini merupakan produksi akal manusia, sedangkan akal manusia sangatlah terbatas. Hukum yang diciptakan manusia akan cenderung untuk memenuhi hawa nafsu si pembuat hukum tersebut. Alhasil hukum yang dihasilkan tidak memberi solusi, namun justru melindungi kepentingan kelompoknya saja. Hal ini Sangat berbeda sekali dengan sistem Islam yang berasal dari Sang Maha Pencipta yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia lah satu-satunya yang berhak membuat hukum.

Dalam sistem islam, sanksi (uqubat) di dunia pelaksanaannya adalah tanggung jawab imam (khalifah) atau yang di tunjuk mewakilinya. Jadi negaralah yang melaksanakannya. Sanksi didunia menjadi pencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan criminal, sekaligus sebagai penebus dosa yakni menggugurkan sanksi akhirat bagi pelaku kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ubadah bin Shamit ketika menuturkan ihwal tesk Baiat Aqibah I yang diantaranya menyebutkan :

“ Siapa di antara kalian yang memenuhinya maka pahala di sisi Allah. Siaoa yang melaggarnya, lalu diberi sanksi, maka itu sebagai penebus dosa baginya. Siapa yang melanggarnya namun (kesalahan itu) ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, jika Ia menghendaki, Dia akan mengadzabnya.” (HR. Al-Bukhari).

Bentuk sanksi dalam Islam akan digolongkan menjadi 4, yaitu Hudud, Jinayat, Ta’zir dan Mukhalafat. Masing-masing memiliki kriteria dan sanksi sendiri. Tekait kasus Novel Baswedan yang mengakibatkan cacat permanen maka dalam pandangan Islam merupakan tindakan kriminal dengan sanksi Jinayat. Jinayat merupakan tindakan pencederaan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa. Sanksi yang akan diberikan adalah hukuman Qishash, namun jika keluarga korban memaafkan hakim tidak bisa memberikan sanksi dan pelaku diwajibkan membayar Diyat yaitu sejumlah harta yang dibayarkan sebagai kompensasi atas pencederaan badan atau timbulnya kematian. Diyat untuk nyawa yaitu 100 unta atau seribu dinar sementara untuk pencederaan badan nilainya disesesuaikan dengan kerusakan fungsi organ serta jenis anggota badan yang dicederai sebagaimana banyak diterangkan dalam hadits.

Konstitusi dalam Islam diadopsi dari ketentuan bahwa Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas merupakan sumber hukum yang diakui oleh Syara’.

Mahzab Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hambali menjadi referensi penting dalam mengadili dan membuktikan perkara. Oleh karena itu Hakim selain wajib merujuk Al-Quran dan As-Sunnah juga perlu merujuk pada kitab-kitab ulama klasik, memperhatikan pandangan dan Ijtihad ulama mazhab agar tidak keliru menjatuhkan vonis. Karenanya dalam sistem Islam, hakim (Qadli) harus berderajat ulama yaitu orang yang alim (mengetahui) akan syariah penerapan hukum Islam dalam ranah praktis. Yakin masih mau mempertahankan sistem saat ini??

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *